Pelaku Pedofilia Bersembunyi di Balik Keramahan

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pedofilia terus terjadi di Indonesia, ada kemungkinan erat kaitannya dengan fenomena gunung es
Ilustrasi

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - “Tukang Tambal Ban di Majalengka Pemangsa Anak Kecil.” Ini judul berita di “Tagar” (7 Oktober 2019). Sepintas berita ini biasa saja sebagai berita kriminalitas di media, dalam hal ini media online.

Berita tsb. juga hanya menceritakan sekilas awal kejadian sampai ke polisi. Lagi-lagi berita ini tidak menunjukkan apakah ada sesuatu di balik kejadian itu. Kasus-kasus kriminalitas, seperti pencurian, perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan seksual, dll. jadi salah satu topik di media massa.

Bak Dewa

Banyak berita kriminalitas, seperti berita yang terjadi di Majalengka, Jawa Barat (sekitar 187 km arah timur laut Kota Bandung), tidak memberikan gambaran riil tentang latar belakangan perisitiwa dari aspek seksualitas.

Padahal, pelaku ES, 52 tahun, melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak perempuan berumur 9 tahun. Dari aspek seksualitas perilaku ES merupakan bentuk parafilia yaitu menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain. Terkait dengan perbuatan ES ini perilaku itu disebut pedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7 – 12 tahun.

Kasus-kasus pedofilia yang ditangani polisi tidak menggambarkan kejadian riil di masyarakat karena berbagai alasan, misalnya, keluarga malu. Itu artinya kasus pedofilia seperti fenomena gunung es. Kasus yang ditangani polisi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak dilaporkan ke polisi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Pelaku pedofilia sering berlaku seperti ‘dewa’, misalnya, mereka jadi orang tua angkat, jadikan anak sebagai keponakan angkat, bahkan jadikan korban sebagai istri melalui prosedur perkawinan.

Banyak orang yang tidak memahami gelagat pedofilia karena kemampuan mereka menyebunyikan orientasi seksual sebagai parafilia. Di salah satu daerah tujuan wisata (DTW), misalnya, pedofilia menawarkan kurus bahasa asing gratis. Lalu membantu orang tua anak-anak yang akan dijadikan sasaran secara ekonomi.

Maka, tidaklah pemandangan yang aneh bagi masyarakat jika di sebuah rumah ada kulkas tapi tidak ada aliran listrik. Ada pula mobil di garasi sedangkan jalan ke rumah itu hanya jalan setapak.

Sebelum Filipina menerapkan suntik mati bagi pelaku pedofilia negara itu jadi sorga bagi pedofilia. Tapi, setelah ancaman hukuman suntik mati itu kalangan pedeofilia mencari negara lain, salah satu di antaranya adalah Indonesia.

Imigrasi Bali, misalnya, tahun 2017 saja menangkal 107 terduga pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia, 92 di antaranya berasal dari Australia, masuk ke Bali (BBC News Indonesia, 14 Juli 2017). Ini menunjukkan Indonesia jadi sasaran pedofilia.

Jaringan Internasional

Australia membuat UU yang tidak memberikan paspor kepada pelaku pedofilia. Ada 20.000 waga Australia dalam daftar pelaku kejahatan seksual pada anak. Seperti diberitakan “BBC” tujuan pencekalan itu untuk menghentikan warga negara Australia yang berencana melakukan aksi pedofilia di negara-negara Asia Tenggara.

Catatan penulis menunjukkan kasus pedofilia yang ditangani polisi sekitar 70-an. Tapi, ini erat kaitannya dengan fenonema gunung es tadi. Di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, misalnya, ada seorang anak laki-laki umur 9 tahun yang diopname. Anak ini jadi anak angkat salah seorang kerabat. Ada dugaan terjadi pelecehan seksual, tapi pihak rumah sakit memilih diam.

Dilaporkan oleh pemerintah Australia, pada 2016 hampir 800 orang dari 20.000 yang masuk dalam daftar pelaku pedeofila meninggalkan Australia dan hampir 40 persen dari mereka melakukan kejahatan seksual terhadap anak di bawah usia 13 tahun.

Interpol menyelamatkan 50 anak dari cengkeraman pedofilia di Thailand, Australia dan Amerika Serikat. Seperti diberitakan “BBC News Indonesia”, 24 Mei 2019, kasus itu terkait dengan jaringan pedofilia internasional. Penyelidikan dimulai tahun 2017 dan difokuskan terhadap sebuah situs "web gelap" tersembunyi dengan 63.000 pengguna di seluruh dunia.

Cuma, ada baiknya tidak hanya memikirkan pelaku pedofilia asing, khususnya dari Australia, karena pelaku pedeofilia warga Indonesia sendiri tidak sedikit. Sejauh ini belum ada survei atau penelitian mengapa banyak kasus pedofilia terjadi di Indonesia.

Ancaman hukuman pidana sudah berat sesuai dengan Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman sampai mati dan kebiri kimia.

Persoalannya kemudian adalah banyak keluarga yang memilih mendiamkan kasus agar tidak malu sehingga banyak dark number yaitu kasus yang tidak dilaporkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang justru menyalahkan korban.

Bahkan, polisi dan media sering memberikan ‘panggung’ kepada pelaku kejahatan seksual untuk membela diri. Misalnya, pelaku mengatakan dulu pernah jadi korban. Ada lagi pelaku yang mengatakan karena terpengaruh miras dan video porno.

Ini akan jadi keuntungan bagi pelaku pedofilia. Apalagi ada kasus di salah satu DTW yang justru menempatkan pedofilia sebagai ‘dewa’ karena menarik warga dari kemiskinan dengan berbagai bentuk bantuan. (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id tanggal 7 Oktober 2019). []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Kejahatan Seksual terhadap Bayi dan Anak-anak
Kasus-kasus kejahatan seksual yang menyasar bayi dan anak-anak terus terjadi. Fasilitas kesehatan diharap memeriksa pasien anak dengan teliti
Kejahatan Seksual Menghantui Pariwisata Nasional
Pariwisata salah satu sektor yang tidak terpengaruh dengan resesi regional dan global, untuk itulah Presiden Jokowi mencanangkan DTW “10 Bali Baru”
Efek Kebiri Kimia Pada Pelaku Kejahatan Seksual
Hukuman kebiri kimia belum lama ini dijatuhkan kepada terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 9 anak di Mojokerto, Jawa Timur.