Yogyakarta - Sejumlah elemen antikorupsi menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi dalam memerangi korupsi di negeri ini.
Mereka meyakini Jokowi akan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perppu KPK menjadi keberanian Jokowi di awal periode keduanya. Menjadi kado terindah bagi rakyat sekaligus harapan besar menyelematkan negeri ini dari perilaku koruptif.
Hal itu diungkapkan Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Eka Ananda Rifki dalam diskusi publik bertema 'Urgensi Perppu atau Judicial Review' yang digelar BEM Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu 19 Oktober 2019 petang.
Dia mengatakan, ada dua pilihan dalam melawan upaya pelemahan KPK. Keduanya adalah presiden menerbitkan Perppu atau judicial review.
"Dari dua pilihan itu, kami meyakini presiden akan menerbitkan Perppu. Kami percaya Presiden Jokowi masih punya hati nurani untuk itu (menerbitkan Perppu)," kata Eka.
Menurut dia, Pukat UGM siap membantu jika mengalami kesulitan dengan dasar yang digunakan dalam menerbitkan Perppu.
"Mari diskusi bersama, Pukat siap membeberkan dasar untuk menerbitkan Perppu," katanya.
Dia mengatakan, penerbitan Perppu merupakan pilihan tepat di banding judicial review dalam melawan upaya pelemahan KPK. Alasannya judicial review membutuhkan proses yang matang, termasuk melewati syarat formal dan prosedural.
Selain itu, kata dia, judicial review membutuhkan waktu dalam konsolidasi dengan sejumlah pakar hukum di Tanah Air agar hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) bisa maksimal.
Di tempat yang sama, Mensospol BEM UGM Yogyakarta Diannafi Alphatio mengibaratkan mahasiswa saat ini sedang dalam pertarungan melawan pihak yang melemahkan KPK.
Ada kepentingan negatif di balik revisi UU KPK
"Apapun bahasa mereka, UU hasil revisi adalah melemahkan KPK," kata dia.
Menurit dia, revisi UU KPK menjadikan lembaga antirasuah ini, yang seharusnya independen tidak lagi independen. Lembaga ini sudah murni sebagai eksekutif. Di dalamnya seperti penyidik diisi dari kalangan aparatur sipil negara (ASN).
"Bagaimana mungkin penyidik yang ASN itu punya keberanian menyidik atau menuntut kasus korupsi yang dilakukan atasannya," kata Tio, sapaan akrabnya.
Secara hierarki, penyidik KPK yang ASN itu berada di bawah kendali pemerintah, bupati atau gubernur. "Secara teoritis juga, itu menyulitkan karena ada beban di sana. Seharusnya KPK itu independen," ungkapnya.
Tio mengatakan, hal tersebut merupakan salah satu upaya yag dilakukan elite politik dalam melemahkan KPK.
"Yang patut dicurigai itu adalah DPR yang menggunakan strategi itu. Ada kepentingan negatif di balik revisi UU KPK," ungkapnya.
Atas dasar itu, maka mahasiswa menganggap kondisi saat ini ibarat sedang berperang. Memang dalam segi apapun, mahasiswa kalah segalanya di banding elite politik.
"Tapi satu hal yang menjadi kekuatan mahasiswa, yakni moral," kata dia.
Selain itu, mahasiswa juga punya keberanian dalam bersikap. "Kita punya keberanian, salah kita katakan salah, benar kita katakan benar," ujarnya.
Sikap moral dan keberanian mahasiswa itu akan kembali diwujudkan, salah satunya ikut menjadi bagian turun ke jalan di Jakarta. Mahasiswa Yogyakarta akan bergabung di sana.
"Karena dalam memperkuat KPK, opsi legislasi tidak memungkinkan lagi. Turun ke jalan adalah solusinya," kata Tio. []