PBB Memperingatkan Krisis Kemanusiaan di Myanmar

Gambaran suram tentang sebuah negara yang ekonomi, keamanan, kebebasan, hak asasi manusia, dan masa depannya secara sistematis dihancurkan
Komisaris Tinggi PBB urusan Hak Azasi Manusia, Michelle Bachelet. di Jenewa, Swiss, 21 Maret 2022 (Foto: Dok/voaindonesia.com/Reuters)

Jenewa, Swiss – Komisaris Tinggi PBB urusan Hak Azasi Manusia, Michelle Bachelet, memperingatkan kediktatoran militer Myanmar yang brutal telah menghancurkan tatanan masyarakat dan menempatkan negara pada risiko keruntuhan yang tinggi. Bachelet menyampaikan laporannya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, 21 Maret 2022.

Dalam laporannya, Komisaris Tinggi HAM PBB menyampaikan gambaran suram tentang sebuah negara yang ekonomi, keamanan, kebebasan, hak asasi manusia, dan masa depannya secara sistematis dihancurkan. Tiga belas bulan setelah kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan Myanmar yang terpilih secara demokratis, Michelle Bachelet mengatakan, hak asasi manusia rakyat berada dalam krisis mendalam dan negara itu benar-benar dalam situasi kacau.

Dia mengatakan, daerah-daerah yang sebelumnya stabil di negara itu kini dilanda kekerasan yang meluas. Dia mengatakan, ekonomi berada di ambang kehancuran, dengan hampir setengah dari jumlah penduduk Myanmar yang hampir 55 juta, diperkirakan jatuh ke dalam kemiskinan tahun ini.

Terlepas dari akibat itu, ia mengatakan rakyat terus memrotes penindasan keras militer terhadap hak mereka atas kebebasan berkumpul dan berekspresi. Dia menambahkan, pembangkang dihukum berat, tercatat banyak yang tewas, menjadi sasaran penangkapan massal sewenang-wenang dan penyiksaan.

rumah terbakar di myanmarRumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar, 7 September 2017 (Foto: voaindonesia.com/AP, Berkas)

“Sumber-sumber terpercaya mencatat lebih dari 1,600 tewas, banyak di antaranya dari protes damai. Sedikitnya 350 tewas dalam tahanan militer, lebih dari 21 persen jumlah kematian. Sejak tanggal satu February 2021, lebih dari setengah juta orang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka,” ujar Bachelet.

Ia mencatat, sedikitnya 15.000 orang meninggalkan negara itu. Ditambah lebih dari satu juta pengungsi di Bangladesh, kebanyakan dari mereka adalah Muslim Rohingya. Sebagian besar mencari suaka dari kekerasan dan penganiayaan di tangan angkatan bersenjata Myanmar.

Bachelet menambahkan, tindakan militer yang berlebihan terhadap perlawanan bersenjata terjadi dengan ganas di beberapa negara bagian dengan banyak etnis. Ia mengatakan, operasi brutal yang dilakukan untuk memadamkan protes di daerah-daerah itu mirip dengan yang dilakukan terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2016 sampai 2017. Operasi semacam itu jelas melanggar hukum HAM dan kemanusiaan internasional.

“Myanmar semakin berisiko mengalami keruntuhan, dengan sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang hancur. Runtuhnya sistem kesehatan berakibat pada penanganaan Covid-19 Myanmar. Keberhasilan pembangunan negara yang berharga telah dihancurkan oleh konflik dan penyalahgunaan kekuasaan oleh militer,” tambahnya.

Bachelet mendesak masyarakat internasional bertindak segera untuk menghentikan kekerasan di Myanmar dan menangani kebutuhan kemanusiaan untuk rakyat negara itu (ps/lt)/voaindonesia.com. []

Presiden Biden dan Jill Biden Sampaikan Pesan Ramadan

50 Juta Dolar AS Dari Amerika Bantuan Kemanusiaan di Myanmar

Kekerasan Memuncak! Ultra-Nasionalis dan Biksu Radikal Serang Pengungsi Rohingya

Profil Win Myint, Presiden Myanmar yang Dikudeta Militer

Berita terkait
Keprihatinan Baru DK PBB Soal Krisis di Myanmar
DK PBB mengeluarkan pernyataan pers yang menyatakan “keprihatinan mendalam tentang kekerasan yang sedang berlangsung di Myanmar