Pasar Ramai Vs Sepi di Yogyakarta di Musim Corona

Pandemi corona Covid-19 membuat kehidupan jungkir balik. Manusia makhluk sosial dipaksa di rumah. Namun, masih ada pasar ramai di Yogyakarta.
Ngadiyem (kiri), 65 tahun, pedagang sayur di Pasar Legi, Yogyakarta, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Kabar tentang wabah virus corona atau Covid-19 tidak selalu berdampak pada menurun drastisnya omzet penjualan. Salah satunya dialami seorang pedagang sayur di Pasar Legi, Yogyakarta, Ngadiyem, 63 tahun.

Hari itu, Senin, 23 Maret 2020, puluhan sepeda motor berjejer di depan Pasar Legi, Yogyakarta. Pasar Legi merupakan pasar tradisional di Yogyakarta. Letaknya di sebelah barat daya dari pusat Kota Yogyakarta.

Situasi di Pasar Legi cukup ramai meski hari beranjak siang. Beberapa pedagang dan pembeli saling bertransaksi, termasuk di sudut selatan pasar, tempat penjual sayuran dan bumbu dapur.

Seorang nenek pedagang sayur dikelilingi banyak pembeli. Tangannya sibuk menimbang dan memasukkan sayur pilihan pembeli ke dalam kantong plastik. Sementara para pembeli memilih dan memilah hasil bumi yang akan dibeli. Sesekali terdengar percakapan tawar-menawar harga antara mereka.

Sementara, hanya beberapa meter di depan lapak jualan milik Ngadiyem, seorang pria duduk di belakang meja. Dia adalah penjaga toilet di pasar itu. Di atas meja terdapat kotak kayu untuk tempat uang jasa penggunaan toilet.

Nek riki mboten wonten perubahan nopo-nopo (di sini tidak ada perubahan apa-apa).

Pasar YogyakartaSurawan (kanan), 61 tahun, pembeli sayur di Pasar Legi, Yogyakarta, membeli sayur sesuai kebutuhan, Senin, 23 Maret 2020. Foto: (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Seorang pria keluar dari toilet, memasukkan uang pecahan Rp 2 ribu ke dalam kotak. Kemudian kembali berjalan menuju lapak jualannya.

Setidaknya dalam waktu 15 menit, ada enam pembeli yang dilayani Ngadiyem. Mereka membeli sayur sesuai kebutuhan. Tidak terlihat pembeli yang membawa pulang sayuran dalam jumlah besar, kecuali seorang pria paruh baya.

Menurut Ngadiyem, kabar merebaknya Covid-19 tidak banyak berpengaruh pada penjualannya. Pembeli tetap datang setiap hari, dengan jumlah yang tidak banyak berubah.

"Biasa, mboten (tidak) kurang pembeline," ucapnya sambil kembali melayani pembeli yang baru datang

Kata Ngadiyem, para pembeli yang datang pun tidak memborong sayur dalam jumlah banyak. Mereka membeli seperlunya, kecuali para pedagang eceran yang menjual kembali sayuran tersebut di rumahnya.

"Pembeli mboten mborong juga, tumbase biasa mawon (pembeli tidak memborong juga, mereka membeli seperti biasa saja). Nek riki mboten wonten perubahan nopo-nopo (di sini tidak ada perubahan apa-apa)," ucapnya.

Mengenai kenaikan atau penurunan harga, kata Ngadiyem, tidak ada kenaikan atau penurunan yang signifikan. Hanya saja beberapa waktu lalu harga sempat naik, yakni saat isu bahwa sayur Lodeh bisa menangkal Corona.

Pasar YogyakartaKeadaan sepi Pasar Beringharjo, Yogyakarta, setelah wabah virus Corona atau Covid-19 merebak, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Hoaks Lodeh Penangkal Corona

Kenaikan harga bahan sayur lodeh tersebut juga dibenarkan seorang pembeli, Surawan, 61 tahun, warga Dusun Senggotan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, yang berprofesi sebagai penjual sayur eceran di rumahnya.

"Bahan sayur lodeh kemarin sempat naik di sini. Kalau saya, jual wajar saja, saya enggak suka menaikkan harga begitu. Jangan sudah orang sakit, ditambah sakit lagi. Nanti akan kembali ke kita sendiri," kata dia.

Beberapa waktu lalu memang beredar kabar hoaks di media sosial, yang mengatasnamakan Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X, bahwa sayur lodeh dengan tujuh macam bahan tertentu bisa menangkal corona.

Unggahan poster itu bertuliskan, "Pageblug wayahe rakyat Mataram nyayur lodeh 7 warna. Kluwih, terong, cang gleyor, kulit mlinjo, waluh, godong so, tempe. Meniko sedaya tansah widodo nir ing sambekala."

Artinya, "Musibah ini waktunya rakyat Mataram menyayur lodeh 7 warna. Kluwih, terong, kacang panjang, kulit mlinjo, labu kuning, daun melinjo, tempe. Semuanya selamat dari musibah ini."

Sempat mengalami kenaikan harga, beberapa waktu kemudian harga lodeh kembali normal, setelah ada penjelasan dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa kabar tersebut hoaks.

"Kalau sekarang sudah turun lagi. Di sini kalau ada kayak gitu malah dinaikkan. Kalau bisa malah menolong," kata Surawan.

Mengenai jumlah pembeliannya yang terlihat cukup banyak, Surawan mengatakan dirinya membeli sayur dalam jumlah banyak karena akan dijual kembali, bukan untuk ditimbun.

"Kalau saya gini enggak beli langsung banyak, karena kalau sayuran itu enggak bisa disimpan lama, enggak bagus. jadi belinya wajar saja. Saya beli buat dijual lagi. Saya jualan di rumah," kata Surawan.

Isu tentang Covid-19, menurutnya tidak banyak memengaruhi omzet penjualan sayurnya. Pembeli masih seperti biasanya. "Kalau penurunan omzet di tempat saya enggak terlalu banyak. Masih wajar saja. Tapi enggak tahu kalau ke depannya," tuturnya.

Surawan mengaku tidak terlalu khawatir menghadapi Covid-19. Dia menyikapinya sewajarnya. Kata dia, boleh khawatir tapi jangan berlebihan.

Pasar YogyakartaAming (kanan), 22 tahun, pedagang pakaian di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, mengisi waktu kosong dengan permainan tradisional bersama teman-teman, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Beringharjo Menangis

Berbanding terbalik dengan pedagang sayuran di Pasar Legi. Pedagang pakaian di lantai dasar Pasar Beringharjo, Yogyakarta, mengaku omzetnya menurun drastis akibat wabah Covid-19.

Sri, 51 tahun, pedagang pakaian di Pasar Beringharjo, mengatakan omzetnya menurun hingga 95 persen. Bukan hanya omzet yang menurun karena minimnya pengunjung, tapi keuntungan per item pun ikut menurun.

"Ini turun sampai 95 persen. Ini Beringharjo menangis. Saya buka dari pagi belum ada yang laku," kata dia, Senin, 23 Maret 2020.

"Dari harga penjualan pun kita jadi merosot. Tadinya kita gengsi kalau untung tiga ribu empat ribu rupiah, sekarang kalau enggak mau ya enggak dapat duit kita. Hampir seluruh pedagang begitu," kata Sri.

Untuk menghibur diri, Sri dan beberapa rekan bermain permainan tradisional setiap malam, usai salat Magrib. Mereka bermain gobak sodor, boi-boian (lempar bola), balap karung, hingga hompimpah. Video para pedagang yang memainkan permainan tradisional tersebut bahkan menjadi viral di media sosial.

"Spontanitas saja, kita ajak main. Banyak permainan, ada tiktok, boi boian, balap karung. Tiap malam ada kegiatan karena pasarnya kayak begini, enggak ada yang lewat. Ini siang saja kayak begini. Malam lebih sepi lagi. Banyak yang enggak buka kalau malam," ujar Sri.

Awalnya mereka hanya iseng, bermain hompimpah. Pemenangnya menentukan waktu pulang para pedagang. Apalagi sejak wabah Covid-19 merebak, Pasar Beringharjo yang biasanya tutup pukul 21.00 WIB, sudah sunyi sejak sesudah Magrib.

"Kalau normal itu jam sembilan gerbang ditutup, kadangkala pembeli masih ada yang di dalam. Tapi musim begini setengah tujuh sudah tutup, paling malam sampai jam setengah delapan," katanya.

Pasar YogyakartaKeadaan malam sepi Pasar Beringharjo, Yogyakarta, setelah wabah virus Corona atau Covid-19 merebak, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Para pedagang itu, kata Sri, tetap berjualan karena selain tidak ada keputusan menutup pasar, mereka juga punya keyakinan bahwa selama mereka mau berusaha, Allah akan memberi jalan.

"Insya Allah selama kita mau berusaha, Allah pasti memberi. Entah kita nanti dikasihnya jam berapa, untuk makan anak di rumah pasti ada. Untuk makan, gitu aja. Kita enggak pikir jauh-jauh," ucapnya.

Saat ini, para pedagang di sana memegang prinsip bahwa mereka harus menyimpan uang yang diperolehnya, sebab tidak menutup kemungkinan ke depan pasar pun akan di-lockdown. "Kita enggak tahu, siapa tahu kita lockdown. Kalau pasar enggak boleh buka, harus tutup. Kita mau pegang apa? Kita bukan pegawai."

Setali tiga uang dengan Sri, pedagang pakaian lain, Aming, 22 tahun, juga ikut bermain permainan tradisional bersama rekan-rekan. Permainan itu, menurutnya selain menambah kekompakan dan saling menguatkan, juga untuk mengusir sedih karena dagangan sepi.

"Kalau pasar sepi, buat mainan. Setiap hari mainannya ganti-ganti. Kegiatannya gitu, karena daripada mikir sepi mending mainan, jadi biar enggak sedih, pasare selo (pasarnya sepi). Menghibur diri sendiri," kata Aming.

Bahan-bahan yang digunakan untuk permainan tradisional itu pun seadanya. Para pedagang menggunakan karung tempat dagangannya untuk lomba balap karung. Sementara untuk boi-boian, mereka menggunakan kantong plastik yang digulung-gulung kemudian dilapisi selotip atau lakban.

"Awalnya kan sepi to, enggak ada pengunjung akhirnya ada ide main-main. Awalnya yang punya tiktok, ya tiktokan, akhirnya ada boi-boian tapi enggak ada bolanya, akhirnya pakai plastik yang digulung-gulung terus dilakban." []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Bayang-bayang Corona di Stasiun Manggarai Jakarta
Sejam lebih Winarso duduk di seberang jalan Stasiun Manggarai Jakarta, tapi ponselnya tak kunjung berbunyi. Semua ini karena bayang-bayang corona.
Subuh Berdarah di Cempaka Putih Jakarta
Tubuh Alfi Basyahrinur roboh bersimbah darah dengan banyak luka bacok. Subuh yang tenang di Cempaka Putih Jakarta seketika mencekam, gempar.
Mendampingi Suami Suspect Corona di Semarang
Suami istri di Semarang ini melakukan perjalanan ke Singapura 9 hari. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, suami menunjukkan tanda gejala corona.