Pantai Parangtritis Tempo Doeloe dan Kini

Bebatuan karang menggunung di tepian pesisir Pantai Parangtritis Yogyakarta, berpadu deretan bukit dan deburan ombak laut selatan.
Pantai Parangtritis Yogyakarta. (Foto: Instagram/Wonderfuljogja)

Bantul - Bebatuan karang menggunung di tepian pesisir Pantai Parangtritis Yogyakarta. Pemandangan semakin cantik tatkala bebatuan karang itu berpadu deretan bukit dan deburan ombak laut selatan yang membawa riak-riak kecil berbuih putih, silih berganti menyapu pasir.

Suasana begitu sepi. Tak terlihat seorang wisatawan maupun petani yang menikmati keindahan alam di ujung selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini.

Itu adalah gambaran suasana Pantai Parangtritis pada 1928 dalam koleksi foto di Pameran Arsip "Parangtritis Tempo Doeloe" yang dipajang di Pendopo Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY, pada 29-30 Juni 2019. 

Di pendopo dekat pintu masuk objek wisata itu dipajang sekitar 70 koleksi foto monokrom tentang Pantai Parangtritis era kolonial Belanda dalam bingkai hitam.

Foto-foto lawas yang sebagian besar diakses dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkude (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda, dan koleksi milik Tropenmuseum Inggris ini, rentang waktunya antara tahun 1897-1940.

Mungkin karena mata pencaharian masyarakat di daerah sini beralih menjadi nelayan, tidak lagi menjadi pembuat garam.

Di sudut lain terlihat potret tujuh orang laki-laki dan perempuan berbalut busana tradisional Jawa sedang berada di tepian pantai. Para lelaki mengenakan beskap lengkap dengan blangkon. Sementara para perempuan mengenakan kebaya dan satu di antaranya berkonde.

Mereka adalah para tokoh Jawa yang sedang pelesir di Pantai Parangtritis, kala itu tahun 1920, sebagaimana tertulis dalam keterangan di bawah foto.

"Javaanse Hoogwaardigheidbekleders op het strand te Parangtritis bij Jogjakarta (Tokoh Jawa di Pantai di Parangtritis Dekat Jogjakarta), 1920 (KITLV)".

Pada bagian bingkai foto KITLV lain, sejumlah perempuan berkebaya yang tak lain adalah murid-murid dari sekolah domestik di Yogyakarta tengah berwisata di Pantai Parangtritis, juga menjadi objek bidikan lensa kamera pada tahun 1930.

Ada juga potret dua orang petani garam yang sedang memproses air laut menjadi garam dengan peralatan tradisional. Koleksi foto yang diambil dari Tropenmuseum. Potret itu sekaligus menjadi saksi sejarah bahwa sekitar tahun 1915, mata pencaharian penduduk di sekitar Pantai Parangtritis adalah petani garam. Sayangnya, sekarang tak ada lagi para pembuat garam di sana.

"Mungkin karena mata pencaharian masyarakat di daerah sini beralih menjadi nelayan, tidak lagi menjadi pembuat garam," kata seorang petugas pameran dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul, Hendri Dian, saat ditemui Tagar di Pendopo Parangtritis, Sabtu, 29 Juni 2019.

Melalui pameran foto selama dua hari itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul berharap dapat memberi nilai tambah dalam meningkatkan potensi wisata, khususnya di Kabupaten Bantul.

Pantai ParangtritisPantai Parangtritis Yogyakarta. (Foto: Instagram/explore.bantul)

Area Sekitar Parangtritis Masa Lalu

Pada pameran bertema Parangtritis yang perdana digelar ini, sejumlah lokasi sekitar pesisir, seperti area persawahan, perbukitan, pesanggrahan, gumuk pasir yang khas, serta situasi sungai opak pada masa lalu juga ditampilkan.

Misalnya, jejak sejarah yang terarsip di KITLV menunjukkan bahwa pada 1897 sudah dibangun pesanggrahan atau bangunan tempat peristirahatan bagi bangsawan dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat maupun tokoh masyarakat.

Pada tahun yang sama, akses jalan menuju pantai harus menyeberangi Sungai Opak dengan menggunakan rakit, karena pada waktu itu belum ada bangunan jembatan seperti sekarang. Jembatan darurat yang terbuat dari kayu oleh masyarakat sekitar baru dibangun pada tahun 1930-an.

Sejak adanya jembatan tersebut, aktivitas masyarakat maupun wisatawan yang hendak menuju pantai menjadi lebih mudah. Meskipun, jembatan belum dapat dilalui kendaraan roda empat.

Di sisi utara pantai, ada bukit pasir bak hamparan padang pasir di Timur Tengah yang didokumentasikan sekitar tahun 1920, dan hingga kini masih tersimpan di Tropenmuseum.

Mitos Kanjeng Ratu Kidul

Berbicara tentang Pantai Parangtritis tak lepas dari mitos Kanjeng Ratu Kidul atau Nyi Roro Kidul sebagai penguasa pantai selatan. Cerita mitos yang berkembang di masyarakat, tempat ini diyakini sebagai lokasi pertemuan pendiri dinasti Mataram, Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati dan penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau dikenal juga sebagai Nyi Roro Kidul.

Karenanya, di sekitar Pantai Parangtritis, tepatnya di Pantai Parangkusuma menjadi lokasi upacara tradisional tahunan labuhan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, sekaligus sedekah dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ritual labuhan yang masih digelar hingga sekarang ini juga dipamerkan di Pendopo Parangtritis. Dalam foto koleksi Tropenmuseum yang diambil tahun 1930 itu digambarkan orang-orang berkorban di Batu Suci Sultan Agung pada saat peringatan Hari Mahkota Sultan Jogja.

Tak hanya itu, foto lain koleksi KITLV juga menggambarkan sekelompok pria duduk di pantai dan menawarkan pakaian kepada Dewi Laut Selatan untuk Hari Mahkota Sultan Jogja.

Pantai Parangtritis sendiri selama ini sebagai perwujudan kesatuan trimurti untuk DIY. Yakni Gunung Merapi di ujung utara Jogja yang melambangkan elemen api, dan Pantai Parangtritis di selatan DIY sebagai perlambang air, serta Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang letaknya di tengah, berperan sebagai penyeimbang keduanya. Jika ditarik garis imajiner, posisi Gunung Merapi, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Pantai Parangtritis itu tegak lurus dari utara ke selatan.

Pantai ParangtritisMenikmati waktu di Pantai Parangtritis Yogyakarta. (Foto: Instagram/jogjaimages)

Parangtritis Kini

Terlepas dari mitos, Pantai Parangtritis tetap menjadi primadona pariwisata di DIY. Wisatawan datang silih berganti, baik lokal maupun luar daerah, dan bahkan mancanegara. Terlebih saat akhir pekan tiba.

Seperti terlihat pada Sabtu sore, 29 Juni 2019. Langit biru memayungi pesisir, tanpa mega sedikit pun. Selaras warna lautan yang seolah menyatu, hanya dibatasi gulungan ombak putih yang saling berkejaran menuju bibir pantai.

Ribuan orang memadati sepanjang Pantai Parangtritis, dengan beragam aktivitas seperti mandi di laut, basah-basahan menghadang ombak, bermain pasir, bermain layang-layang, swafoto, atau sekadar berdiri memandangi indahnya pemandangan alam sore itu.

Di Pantai Parangtritis, wisatawan tak hanya disuguhi panorama alam, tapi bisa juga mencoba berbagai fasilitas yang disewakan seperti kendaraan ATV, andong, kuda, kolam renang, hingga tikar-tikar lengkap dengan payung warna-warni.

Untuk urusan makan dan oleh-oleh, para pelaku wisata di Pantai Parangtritis menawarkan bermacam-macam kuliner seafood, dan kelapa muda, serta pernak-pernik souvenir yang sangat mudah ditemukan di sepanjang pantai. Para fotografer keliling pun siap melayani turis yang ingin mengabadikan momen mereka.

Daya Tarik vs Sampah

Namun di tengah geliat wisata di Pantai Parangtritis yang aduhai itu, ada saja "pemandangan" lain yang tak mengenakkan, yakni sampah. Mulai dari sampah plastik bekas makanan dan minuman hingga sampah berupa tempurung kelapa muda yang tercecer di mana-mana.

Padahal dalam Statistik Kepariwisataan Jogja Istimewa 2017 yang diterbitkan Dinas Pariwisata DIY, Parangtritis menjadi objek wisata pantai dengan daya tarik pertama di Kabupaten Bantul. Jumlah pengunjung wisata di Pantai Parangtritis sepanjang tahun 2017 tercatat sebanyak 2.771.766 orang. Angka tersebut meningkat dibandingkan total pengunjung pada tahun 2016, yang masih 2.229.125 orang. []

Baca juga:

Berita terkait