Pakar Sebut Divestasi 51% Saham Freeport Bakal Tak Terealisasi

Pakar sebut divestasi 51% saham Freeport bakal tak terealisasi. “Targetnya Bu Rini sendiri rampung bulan Juli ini, tapi prediksi saya tidak akan terealisasi lagi dan akan molor seperti yang sudah-sudah,” ungkap Abra.
Para pekerja tambang di PT Freeport Indonesia di Papua.(Foto: ptfi.co.id)

Jakarta, (Tagar 4/7/2018) – Tak ada perjuangan yang sia-sia. Ya, nampaknya filosofi ini layak diberikan untuk memotivasi Presiden kita, Joko Widodo. Lihat saja, atas perjuangannya merebut kepemilikan 51 persen atas PT Freeport.

Seperti diketahui, saat ini kepemilikan saham Indonesia di perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu baru sebesar 9,36%. Artinya Freeport harus melepas 41,64 persen lagi sahamnya kepada Indonesia.

Jika terealisasi, kabar ini benar-benar menjadi angin segar tidak hanya bagi rakyat Papua tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak? Setengah abad PT Freeport berdiri di tanah Papua namun Indonesia hanya mendapat royalti 1 persen saja.

Terkait dengan saham divestasi ini, Jokowi ingin memberikan beberapa bagian kepada pemerintah daerah (Pemda) tempat tambang Freeport beroperasi. Meski belum pasti berapa besar porsi saham yang akan didapat Pemda Papua, tapi setidaknya 5 persen atau 10 persen.

“Berpuluh-puluh tahun, kita hanya mendapat royalti 1 persen. Padahal di bumi Papua itu, berton-ton emas ditambang dan dibawa keluar. Ini logika dari mana? Saya memerintahkan menteri saya. Kita harus mendapat royalty 10 persen. Sahamnya kita juga harus mendapat 51 persen. Apa pun caranya, kita harus merebut hak kita,” tegas Jokowi seperti dilansir dari Seword.

Meski divestasi 51 persen saham PT Freeport kepada Indonesia masih terbilang alot. Namun, Jokowi dengan yakin tanpa bisa ditawar lagi mengatakan divestasi saham ini harus dipenuhi jika Freeport ingin memperpanjang kontrak karya di Indonesia.

Divestasi 51 persen saham untuk kepemilikan nasional telah disepakati dalam pertemuan di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, akhir Agustus 2017 lalu, yang dihadiri Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, CEO Freeport McMoran Richard Adkerson.

Tak peduli meski harus bersusah payah memperjuangkan hak Indonesia, Jokowi bersikukuh memberi syarat 51 persen saham kepemilikan nasional, ia pun menargetkan kepada Menteri dan pihak Freeport divestasi ini selesai hingga Agustus 2018 mendatang.

“Lalu selama dua tahun terakhir, kita sudah ngotot-ngototan bernegoisasi dengan Freeport. Mereka juga ngotot, kita juga ngotot. Tetapi kita harus terus maju. Selangkah pun kita tidak boleh mundur. Kita harus mendapat hak kita. Saya memberi waktu kepada Menteri dan pihak Freeport sampai Agustus tahun 2018 ini. Jika tidak rampung dan masih berbelit-belit, saya akan memakai cara lain,” sambung Jokowi.

Sebagian orang yang kurang nalar menilai penghentian kontrak dengan PT Freeport bisa menjadi rugi besar, juga bagi Indonesia karena Indonesia tidak akan mampu mengembalikan seluruh modal yang PT Freeport keluarkan.

Namun mari kita pikirkan, jika Freeport memilih mengakhiri kontraknya karena tidak setuju divestasi 51 persen, terbayangkah berapa besar kerugian yang akan dialami PT Freeport?

Yang perlu diingat, objeknya ada di dalam teritori Indonesia. Presiden Jokowi hanya perlu mencari investor baru dari negara lain untuk membiayai dan menghidupkan operasional setelah mengganti nama Freeport dengan nama baru. Negara mana yang tidak akan tergiur untuk mengelola cadangan emas terbesar di dunia? Betul?

Sementara itu, untuk menjalankan mandat Presiden, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno optimistis proses divestasi saham PT Freeport Indonesia dapat diselesaikan Juli ini.

Ketidaktegasan Pemerintah

Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, target penyelesaian divestasi saham PT Freeport ini diprediksi akan molor lagi. Bahkan, kata dia, tak menutup kemungkinan akan gagal teralisasi.

“Targetnya Bu Rini sendiri rampung bulan Juli ini, tapi prediksi saya tidak akan terealisasi lagi dan akan molor seperti yang sudah-sudah,” ungkap Abra kepada Tagar, Rabu (4/7).

Alasannya, menurut Abra, lantaran dari pengalaman sebelumnya beberapa hal pun mengalami penguluran proses divestasi, seperti holding BUMN tambang, hingga kehadiran Rio Tinto dalam mekanisme divestasi PT Freeport sehingga memperlambat eksekusinya.

“Untuk target divestasi Juli ini, pertanyaannya apakah valuasi saham PT Freeport sudah mencapai kesepakatan dan PT Inalum memiliki dana tersebut?” ucap Abra.

Lebih lanjut, Abra mengatakan bahwa PT Freeport mendapatkan izin ekspor konsentrat minerba tambahan selama sebulan hingga 15 Agustus 2018 mendatang. Hal ini tentu dinilai sebagai ketidakkonsistenan pemerintah.

“Padahal pemerintah sendiri yang membuat peraturan larangan ekspor konsentrat bagi Perusahaan Minerba kecuali dapat memenuhi syarat-syarat IUPK, divestasi, dan pembangunan smelter,” sambungnya.

Berkaca dari ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan peraturan yang ada tersebut, Abra menilai akan menjadi citra negatif baik kepada masyarakat maupun di mata investor.

“Dengan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan peraturan yang ada tersebut justru menjadi citra negatif baik kepada masyarakat maupun di mata investor sendiri, karena masih saja terjadi inkonsistensi dan ketidakpastian dalam regulasi,” jelasnya. (sas)

Berita terkait