Rembang - Selain kelapa muda, legen menjadi minuman segar khas Rembang yang cocok dinikmati saat buka puasa. Sayang minuman yang berasal dari tetesan nira pohon siwalan ini tak bisa diproduksi saat Ramadan.
Masa paceklik panen adalah penyebabnya. Para petani tidak bisa memproduksi legen lantaran wolo atau batang siwalan yang jadi bagian tempat keluarnya air nira sudah habis dipotong dan tidak tumbuh lagi pada musim penghujan seperti sekarang.
Sementara buah siwalan, menjadi pelengkap minuman legen, juga tak bisa dinikmati lantaran pohonnya belum berbunga. "Saat ini semua pohon belum berbunga, jadi buahnya tidak bisa dipanen," kata Tuban, petani pohon siwalan di Desa Pedak, Kecamatan Sulang, Kamis, 30 April 2020.
Karena tidak ada yang bisa dipanen ya kami tidak bisa membuat legen.
Tuban menerangkan pohon siwalan memiliki masa produktif antara bulan Mei sampai Juli. Wolo yang masih panjang dapat dipotong untuk diambil tetesan getahnya. Setiap pohon biasanya menghasilkan 5 sampai 6 Liter per hari.
"Setiap tetesan getah ditampung dalam sebuah wadah berupa potongan bambu. Nantinya akan diambil pada pagi atau sore hari. Tanpa proses tambahan, jadi cairan getah yang terkumpul bisa langsung dikonsumsi," tutur dia.
Diketahui, Desa Pedak selama ini dikenal menjadi salah satu sentra penghasil legen dan buah siwalan. Tidak heran, jika Ramadan tiba, banyak warga Rembang yang mendatangi desa itu untuk berburu legen atau buah siwalan untuk pelengkap legen atau minuman kolak.
"Karena tidak ada yang bisa dipanen ya kami tidak bisa membuat legen. Sayang memang, sebab di Ramadan permintaan legen sangat tinggi," ujar dia.
Pria 60 tahun itu mengaku sudah tidak bekerja memanen hasil dari pohon siwalan selama satu bulan terakhir. "Pohon siwalan memiliki dua jenis, jantan dan betina. Keduanya tidak ada yang menghasilkan, jadinya saya menganggur sudah hampir sebulan," jelas dia.
Tuban pun akhirnya memilih kerja serabutan. Dengan kondisi saat ini, ia hanya bisa memanfaatkan daun lontar dari pohon siwalan miliknya yang tumbuh di pematang sawah untuk dijual ke pasar.
"Kalau pas sepi sepert ini, ya kerjanya serabutan, mencari daun lontarnya saja buat dijual di pasar. Harga jual di pasar daun lontar per ikat Rp 8 ribu, nantinya pengepul yang langsung mengambil dengan harga per ikat Rp 5 ribu," ujarnya.
Tuban menambahkan, jika kondisi normal, dari pohon siwalan miliknya bisa mengantongi keuntungan Rp 150-200 ribu dari jualan hasil panen buah dan air nira. "Kalau biasanya per hari bisa panen sekitar 15 hingga 20 liter legen dengan harga jual per botol kemasan 1.500 mililiter Rp 10 ribu," tuturnya.
Kondisi sama juga dialami Wagiyo, 55 tahun, petani pohon siwalan asal Desa Kedungrejo, Kecamatan Rembang. Ia mengaku sudah dua minggu tidak memanjat siwalan. Produksi air nira di pohonnya semakin menurun akibat tingginya curah hujan.
"Biasanya, saat Ramadan seperti sekarang ini, saya sering melayani pembeli langsung datang di lokasi, tepat di bawah pohon atau datang ke rumah. Tapi Ramadan tahun ini berbeda," ucapnya. []
Baca juga:
- Segarnya Berbuka dengan Es Buto Ijo Khas Semarang
- Es Pisang Ijo, Menu Buka Puasa Khas Makassar
- 5 Game Android yang Cocok Buat Ngabuburit