Jakarta - Kuasa hukum terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra, Otto Hasibuan, menyebut penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap kliennya tidak sah, melawan hukum. Menurutnya, berdasarkan Pasal 197 KUHAP, putusan peninjauan kembali (PK) terhadap Djoko telah batal demi hukum.
Pengacara kondang asal Pematangsiantar, Sumatera Utara itu menuturkan Djoko Tjandra telah dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 28 Agustus 2000.
Terhadap Putusan PN tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan upaya hukum kasasi, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 1688 K/PID/2000 tertanggal 28 Juni 2001.
"Dengan adanya Putusan Kasasi yang telah berkekuatan tetap tersebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kemudian melakukan eksekusi Putusan Kasasi tersebut dengan mengembalikan barang bukti kepada DT," ujar Otto melalui pernyataan tertulis yang diterima Tagar, Minggu, 2 Agustus 2020.
Namun, pada 2009, JPU telah mengajukan upaya hukum PK yang mana menurutnya upaya tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa "putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap".
"Kemudian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa hak untuk mengajukan upaya hukum PK tidak dimiliki oleh JPU. Oleh karena itu jelas terbukti bahwa upaya hukum PK yang diajukan oleh JPU terhadap Djoko Tjandra (terdakwa) sangatlah tidak berdasar dan telah melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHAP," katanya.
Terhadap upaya hukum PK JPU tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK JPU dan menyatakan Djoko Tjandra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
"Pasal 197 ayat (1) huruf (k) KUHAP mengatur bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat unsur 'perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. Kemudian Pasal 197 ayat (2) menyatakan bahwa dengan tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) huruf (k) tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum," ucap Otto.
Karena amar putusan PK Jaksa tidak dimuat perintah penahanan terhadap Djoko, maka menurut Otto putusan tersebut telah batal demi hukum, dan satu-satunya putusan yang berkekuatan hukum tetap ialah Putusan Kasasi juncto Putusan PN yang memuat pelepasan terhadap Djoko dari segala tuntuan hukum.
"Faktanya, Putusan Kasasi tersebut pun telah dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2001, termasuk pengembalian barang bukti kepada DT," ujar Pengacara lulusan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Selain dinilai batal demi hukum, Otto juga menegaskan kalau putusan PK Jaksa tidak mengandung perintah penahanan, sehingga tidak ada objek eksekusi yang dapat dilaksanakan oleh kejaksaan Agung dalam rangka penahanan.
"Dengan kata lain, penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sangatlah tidak berdasar karena penahanan pun bukanlah merupakan objek eksekusi sebagaimana dalam amat Putusan PK Jaksa," katanya.
- Baca juga: Otto Hasibuan: Djoko Tjandra ke Mana Saja Bebas
- Baca juga: Tim Inafis Polri Cek Keaslian Wajah Djoko Tjandra
Sebelumnya, pada 31 Juli 2020 Djoko Tjandra resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung di Rutan Salemba cabang Bareskrim Mabes Polri. Penahanan tersebut dilakukan dalam rangka eksekusi Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali nomor 12 PK/PID.SUS/2009. []