Untuk Indonesia

Opini: Refleksi Kemunafikan Penguasa dan Kekuasaan Perspektif Filsafat Moral

Tulisan Opini Darwin Steven Siagian, Advokat, berjudul: Refleksi Kemunafikan Penguasa dan Kekuasaan Perspektif Filsafat Moral.
Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

A. Pendahuluan

Sebelum menyentuh pembahasan pada pokok fenomena, Penulis, tertarik dengan pemikiran filosofis Heidegger yang berkata : “Bahwa manusia yang autentik (desain) selalu dilihat dalam ruang dan waktu dimana manusia itu sendiri mengalami dan memahaminya, ia hanya bisa mengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persisi tepat di mana ia berada”. 

Penulis : Bahwa pandangan dan pemikiran dari filsafat tidak mengajarkan pengetahuan praktis, katakanlah : bagaimana membuat roti, dan bagaimana cara untuk mengatasi stres. Pandangan Machiavelli : kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang terpisah, asumsi moral dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. 

Moralitas merupakan bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat. 

Penguasa yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. 

Tujuannya adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai. Self-interest, moral integrity dan moral hypocrisy (Batson & Thompson, 2001). Motivasi kemunafikan membuat individu melakukan tindakan moral yang dilatar belakangi oleh keinginan untuk tampil bermoral di hadapan orang lain. 

Dalam kondisi tersebut, Self-interest masih menjadi motivasi, namun faktor kekhawatiran akan tampilan luar diri juga mempengaruhi. Oleh karena itu individu akan bertindak seolah-olah memiliki integritas terhadap aturan moral padahal tidak demikian.

Refleksi berasal dari bahasa Inggris reflect yang berarti memantau, membayang, merenung atau reflection berarti pemantulan, bayangan atau renungan. 

Dengan refleksi atau perenungan melalui filsafat hukum yang berisi tentang pemikiran-pemikiran aliran hukum, dapat dihasilkan sebuah hasil mengenai perkembangan ilmu hukum. Sedangkan relevansi adalah menghubungkan atau mengaitkan pemikiran-pemikiran aliran hukum untuk mengetahui pengembangan ilmu hukum. 

Filsafat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang persoalan-persoalan yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan biasa karena ilmu pengetahuan biasa itu tidak mampu menjawabnya. Sebelum bergerak lebih jauh, penulis, ingin membedakan penguasa dan kekuasaan. 

Sebutan Penguasa sudah tentu hal pertama yang terlintas di pikiran kita sudah pasti bahwa penguasa adalah orang yang berkuasa :

1) Orang yang menguasai ;

2) Orang yang punya hak otoriter dalam menjalankan sesuatu ;

3) Orang yang mempunyai wewenang lebih, sesuatu yang menuntut untuk takluk menuruti kehendaknya;

4) Mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan layaknya barang yang di keramatkan;

5) Seorang pemimpin yang mampu menyetir satu bahkan lebih kelompok maupun individu dalam suatu lingkup;

6) Mampu memerintah dan menggerakkan massa untuk menjadikan supporter paling terdepan dalam mendukung maupun melaksanakan untuk kepentingan.

Penulis, mengutip pendapat dari Montesquieu dalam mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu hal yang harus dipisah dan tidak boleh berada dalam satu unsur yang sama. Definisi yang dikemukakan oleh Montesquieu ini kemudian dikenal dengan nama teori pemisahan kekuasaan, membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian, yakni:

1) Kekuasaan legislatif bertugas untuk membuat perundang-undangan;

2) Kekuasaan eksekutif bertugas untuk menyelenggarakan perundang-undangan;

3) Kekuasaan yudikatif bertugas untuk mengadili jika ada pelanggaran atas perundang-undangan.

Kekuasaan (power) merujuk pada kemampuan relatif individu untuk mempengaruhi orang lain, serta memberikan, menahan sumber daya atau hukuman (Emerson, 1962; French & Raven, 1959; Keltner dkk., 2003).  

Kekuasaan yang melekat pada kedudukan bersifat formal atau legal, sedangkan kekuasaan yang bersumber dari kepribadian melekat pada diri individu sebagai, suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berprilaku, seperti intelegensi “berpikir”, iba hati “berperasaan”, dan agresif “berprilaku”, (trait). 

Sepintas tentang karakter kemunafikan Nifak atau disebut juga sebagai munafik merupakan salah satu penyakit yang sangatlah berbahaya. Jika tak ditangani dengan segera akan membuatnya menjadi kebiasaan menyimpang yang amat buruk.

Adapun karakteristik mentalitas antara lain hipokrit atau munafik, segan dan enggan bertanggungjawab, bermental feodal, percaya kepada takhayul, berjiwa seni, dan berwatak lemah, dan relevan terjadi. 

Munafik merupakan penyakit hati yang selalu menjangkiti manusia tanpa memandang latar belakang. Katakanlah : masalah korupsi, kita semua sepakat bahwa korupsi itu meruntuhkan bangsa dan menyengsarakan rakyat Indonesia. 

Di hadapan publik, kita menyaksikan para pejabat negara ramai-ramai merampok uang dan fasilitas negara demi kepentingan pribadi. Semua orang pasti mengutuk perbuatan korupsi. Namun, secara tak sadar kita sendiri seorang ahli koruptor dalam perkara remeh. 

Kita mengetahui bahwa setiap warga Negara Indonesia mendapat perlakuan adil di mata hukum (equality before the law) dan terjamin dalam konstitusi. Namun pada praktiknya sungguh berlawanan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Pencuri kelas teri gampang masuk penjara, sedangkan pencuri kelas kakap malah mendapat diskon kurungan penjara. Ketidakadilan hukum seperti ini merupakan akibat dari sikap hipokrit manusia Indonesia yang semakin membudaya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan diatas, maka yang menjadi pertanyaan pokok yang ingin dijawab melalui tulisan ini adalah, apakah Refleksi kemunafikan Penguasa dan kekuasaan dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia? dan bagaimana syarat moralitas agar refleksi kemunafikan dapat berdiri tegak lurus?

C. Pembahasan

Kita belajar dari Socrates bagaimana memutuskan tindakan tertentu. Sebelum suatu tindakan tertentu yang baik diambil, Socrates berkumpul bersama teman-temannya, mereka mendiskusikan alasan-alasan apa jika Socrates melarikan diri. 

Mereka juga membicarakan apakah tindakan melarikan diri itu lebih baik secara moral dibandingkan dengan “menerima” hukuman? Akhirnya dalam diskusi itu mereka sampai pada pemikiran bahwa memang tidak tepat bagi Socrates untuk melarikan diri. 

Di sinilah pemikiran filsafat selesai. (Paradoks Socrates: Virtue is one, virtue is knowledge, and no one is knowingly does what is bad!) Contoh: Socrates (470 – 399 SM) dihukum mati dengan minum racun tahun 399 SM karena dituduh merusak jiwa kaum muda Athena. 

Socrates sebenarnya memiliki kesempatan untuk membebaskan diri,fmisalnya dengan bantuan teman-temannya yang seperti dia tentu bisa melarikan diri. Tetapi dia justru “taat” pada keputusan penguasa yang telah memfitnah dia. Mengapa Socrates mau bertindak demikian? 

Socrates kemudian memutuskan (mengambil tindakan) praktis tertentu, yakni tidak melarikan diri. Tindakan ini tentu bersumber dari pemikiran dan renungan filosofisnya, tetapi tindakan praktis tersebut bukanlah bagian dari pemikirannya.

Pada hakikat penguasa dan kekuasaan merupakan kekuatan untuk mengatur suatu objek sesuai dengan kehendaknya. Kekuasaan dalam konteks bukan hanya sekedar bentuk hubungan tertentu antar manusia, bukan juga suatu gejala kehidupan bermasyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan alam, melainkan sama dengan semua dimensi sosial dan dimensi alamiah lainnya. 

Seorang penguasa dan kekuasaan memiliki wibawa yang ditunjang oleh kemampuannya dalam mengatur dan mengorganisasi orang banyak. Kemampuan tersebut seyogianya mampu memberikan sanksi nyata terhadap mereka yang membangkang dan mencoba membelot. 

Tanda kewibawaan penguasa dan kekuasaan adalah ketika keselarasan sosial dapat tercapai dan tidak ada keresahan di dalam kehidupan masyarakat. Keresahan masyarakat adalah tanda tidak adanya keselarasan sosial. 

Segala bentuk kritik, ketidak-puasan, tantangan, perlawanan dan kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah, dan keadaan belum selaras. Budi luhur seorang penguasa dan kekuasaan akan terlihat dalam caranya menjalankan suatu produk. 

Sesuai dengan sifat hakiki penguasa dan kekuasaan itu sendiri, cara pemakaiannya pun harus bermartabat. Perangkat lembaga negara yang sedang dipangku oleh penguasa dan kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadaan yang sejahtera, adil, dan makmur. 

Penulis, mengambil referensi dari : Guang Zhong, yang seorang filsuf di masa Dinasti Zhou mengungkapkan bahwa “negara akan menjadi tatanan yang besar jika raja dan rakyat mematuhi hukum, tidak peduli seberapa besar dan kecilnya mereka”. Dan Guang Zhong menilai : “jatuh bangkitnya negara bukan bergantung pada raja, tetapi bergantung pada konsepsi atau sistem hukum yang mengatur raja secara ketat”.

Dari semua penjelasan diatas, Penulis memaparkan bahwasanya sifat munafik penguasa dan kekuasaan di Indonesia dalam perspektif filsafat moral menjadi renungan untuk kita semua. 

Kita sebagai orang Indonesia berupaya intropeksi diri atas mengapa bencana bertubi-tubi melanda di Indonesia setiap harinya. Boleh sikap munafik ini lah menyebabkan Indonesia sulit berkembang lebih progresif. 

Penulis, dari permasalahan dan pembahasan diatas, Penulis, membedah dari sisi perenungan filosofis, yakni :

1) Meragukan segala sesuatu;

2) Mengajukan pertanyaan;

3) Menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan lainnya;

4) Menanyakan “mengapa”;

5) Mencari jawaban mendasar dari sekian kemungkinan jawaban yang tersedia.

Dari penjelasan di atas, kita dituntun bagaimana perenungan filosofis atas penalaran ini? Yang jelas, kerja filsafat menuntut seseorang melakukan perenungan secara hati-hati, lalu menyusun pemikirannya atas penalaran ini secara sistematis. 

Dalam menyusun pemikirannya yang logis dan sistematis itu, seseorang memiliki sudut pandang tertentu (misalnya merujuk pemikirannya ke tokoh atau filsuf tertentu, dsb). Pemikiran yang dihasilkan ini, pada gilirannya, dapat menjadi dasar suatu tindakan. 

Tapi ingat, tindakan konkret bukanlah bagian dari perenungan filosofis itu sendiri. Berpikir logika dapat menjauhkan kita dari salah berpikir atau sesat berpikir dan meskipun terkadang logika tidak dapat kita gunakan di akibatkan karena doktrin yang telah kita percayai baik itu berasal dari pengetahuan, pengalaman.

Untuk menjawab pertanyaan apakah Refleksi kemunafikan Penguasa dan kekuasaan dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, maka tepatnya “yes” karena, pentingnya untuk berpegang pada nilai-nilai kejujuran dan integritas serat cara untuk mengatasi dan mengurangi kemunafikan dalam. 

Syarat moralitas agar refleksi kemunafikan dapat berdiri tegak lurus sudah barang tentu syarat moralitas menjadi refleksi kemunafikan dapat berdiri tegak lurus terletak pada penguasa dan kekuasaan yang dasarnya harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum dalam rangka mensejahterakan suatu masyarakat. 

Penguasa dan kekuasaan bila berangkat dari mentalitas dan moralitas, maka terciptalah suatu produk hukum kebahagiaan. Kondisi seperti ini akan tercipta ketika seorang Penguasa dan kekuasaan dibingkai dalam moralitas yang terpuji. Salah satu moralitas yang penting adalah sikap menghindari nafsu serakah duniawi yang cenderung ingin memperkaya diri.

D. Simpulan

Kita tidak dapat disangkal lagi, bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh mata. Mungkin, konsep ini benar: kita munafik, maka kita ada. Mungkin?

Namun, seringkali, kemunafikan tidak disadari. Keberadaannya ditolak. Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik sebenarnya adalah suatu kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.

E. Solusi

1) Belajar dari kesalahan adalah sesuatu yang telah terjadi pada semua orang, tetapi pengalaman dapat memiliki konsekuensi yang berbeda untuk setiap orang, tidak semua orang akan melihat fakta dengan cara yang sama. 

Tanpa proses berpikir aktif tentang apa yang kita jalani atau tanpa mempertanyakan makna dari pengalaman itu, belajar, dalam banyak kasus, tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apa yang membawa kita dari pengalaman sederhana untuk belajar, adalah refleksi diri anda ;

2) Prinsip dari akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan nyata, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. 

Jurang ini memang selalu ada. Namun, dalam dan luasnya menentukan besarnya kemunafikan yang terjadi. Bagaimana dengan anda? Seberapa jauh jarak yang anda miliki antara apa yang ada katakan tentang diri anda, dan apa yang sesungguhnya terjadi secara nyata;

3) Kehendak berkuasa bisa dikontrol dengan dikenali dan dipahami, itu saja kuncinya, sejauh memahami, kehendak untuk berkuasa adalah sumber dari segala sesuatu, termasuk kehidupan itu sendiri. []

Berita terkait
Opini: Penerapan Hukum Modern di Indonesia
Pembangunan hukum yang berkarakter modern didasarkan pada dinamika masyarakatnya, yaitu masyarakat yang berada dalam modernisasi.
Opini: Konsep Dasar Moralitas Kekuasaan Perspektif Penegak Hukum
Sudah waktunya para pemegang kekuasaan penegak hukum juga memperhatikan dan berpikir lurus, tegak, logika, dan jiwa rohani yang kuat.
Opini: Hukum Sebagai Perwujudan dari Nilai-Nilai Tertentu, Perspektif Politik Hukum
Pemerintah dalam praktik ketatanegaraan belum dapat meletakkan hukum pada posisi yang semestinya. Lebih sering diintervensi kekuasaan politik.