Untuk Indonesia

Opini: Jangan Lihat Arah Dukungan, Lihat Arah Pilihan Jokowi

Meskipun Presiden Jokowi secara kasat mata mendukung Prabowo Subianto, namun hatinya memancarkan aura pilihan politiknya pada Ganjar Pranowo.
Berhadiah Motor Listrik, Jokowi Ajak Masyarakat Pilih Logo IKN. (Foto: Tagar/Setkab)

Oleh: Saiful Huda Ems, Lawyer dan Analis Politik 

Ramai diberitakan oleh banyak media perihal dukungan Presiden Jokowi terhadap Prabowo Subianto (PS) dibandingkan dengan mendukung Ganjar Pranowo (GP) untuk perhelatan Capres 2024. 

Sinyalemen itu diperkuat lagi dengan munculnya Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra dari Presiden Jokowi yang turut memberikan dukungan untuk PS. 

Analisa politik dari sebagian orang ini berangkat dari anggapan, bahwa Presiden Jokowi tidak menghendaki Capres 2024 diikuti oleh tiga pasangan calon presiden, yang dikhawatirkannya akan bisa memenangkan Anies Baswedan (AB). 

Bagaimana saya menilai semua anggapan ini? Baiklah, akan saya bahas!

Pertama, di berbagai rilis lembaga survei terpercaya, elektabilitas AB masih stagnan bahkan cenderung menurun dan tidak sebanding dengan popularitasnya. 

Jika sudah demikian, untuk apa Presiden Jokowi khawatir dengan kemenangan AB, tidak logis bukan? 

Selain itu, Partai Nasdem yang selama ini menjadi sponsor dan pengusung utama AB untuk jadi Bacapres, suaranya terus menerus anjlok dan kadernya di Kabinet (Menkominfo) terlibat korupsi trilunan rupiah serta ditahan oleh Kejaksaan Agung. 

Itu tentu membuat Surya Paloh gemetaran, apalagi kalau kemudian ditemukan bukti ia dan partainya terlibat atau menerima setoran dari Johnny G Plate. Olehnya, AB bukanlah ancaman nyata bagi Presiden Jokowi.

Kedua, kita semua paham bahwa pendukung PS dan AB adalah orang-orang garis keras dan garis bingung, parahnya lagi tuna sejarah. 

Adian Napitupulu, saya dan semua teman-teman seperjuangan mantan Aktivis '98, berbicara bertahun-tahun di berbagai media, menjelaskan apa dan bagaimana yang pernah dilakukan oleh kedua orang tersebut di kilasan Sejarah Indonesia Menjelang 1998 (untuk PS), dan di kilasan Sejarah Indonesia Menjelang 2017 (untuk AB), tak akan pernah didengar apalagi dimengerti dan dipahami oleh pendukung-pendukungnya. Bagi mereka pokok'e PS atau AB, keine diskussion mehr! Tak ada diskusi lagi!

Kalau sudah begini, maka tiada jalan lain lagi bagi Presiden Jokowi dan keluarganya yang mereka benci, dan bolak-balik difitnah sebagai Keturunan PKI, selain harus terus memepet PS agar dianggap sebagai pendukungnya. 


Meskipun Presiden Jokowi secara kasat mata mendukung PS, namun hatinya memancarkan aura pilihan politiknya pada GP!


Dan kalau Presiden Jokowi dan keluarganya sudah dianggap sebagai pendukung PS, maka pendukung PS akan pusing tujuh keliling, dan menganggap PS nantinya bakal dikendalikan oleh Jokowi. 

Kenapa tidak? Setelah bertarung politik yang menguras keringat, emosi dan uang di Pilpres 2014 dan 2019, PS dan Sandiaga Uno mau juga dijadikan bawahan oleh Presiden Jokowi dengan diangkatnya mereka berdua sebagai Menteri alias Pembantu Presiden. 

Seni politik tingkat tinggi Jokowi ini pada akhirnya telah berhasil memecah kristalisasi dukungan untuk PS, hingga retakan dukungan politik itu sebagian terbagi atau pindah ke AB.

Olehnya, jikapun nantinya Capres diikuti oleh tiga Paslon, maka yang diuntungkan sebenarnya adalah GP! Orang boleh menduga, jika nantinya ada tiga Paslon Capres yang maju, maka GP akan kalah di putaran kedua, sebagaimana Ahok yang kalah di putaran kedua ketika bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Logika politik apa itu? Itu sangat tidak mungkin, mengingat dukungan untuk GP dari pendukung Jokowi itu tetap utuh jikapun ada yang pindah dukungan itu hanya beberapa ketua organisasi relawan. 

Dukungan untuk GP ini bahkan bisa bertambah lebih besar, selama tidak ada kasus besar yang menimpa GP hingga Pilpres 2024. 

Pikirkan saja, PS dan AB itu sebenarnya jauh lebih dulu mendeklarasikan dan dideklarasikan sebagai Bacapres oleh partai pengusungnya daripada GP yang baru dideklarasikan menjadi Capres menjelang Lebaran Idul Fitri April 2023 lalu.

Namun apa kenyataannya? PS dan AB sampai detik ini belum menemukan kesepakatan mengenai siapa Bacawapresnya. Yang lebih tragis lagi, koalisi yang digagas PS dan Surya Paloh (SP) juga masih koalisi bongkar pasang, alias koalisi jadi-jadian, yang sewaktu-waktu parpol yang bergabung dengannya akan lari menjadi pendukung GP.

Sedangkan GP saat ini malah memiliki stok banyak untuk bisa dijadikan sebagai Cawapresnya. Semuanya orang berpengaruh, memiliki banyak pendukung dan bukan figur politisi jadi-jadian atau karbitan, semacam AHY yang dikarbit SBY, atau MI yang jadi Ketua Parpol karena merebut singgasana politiknya dari Gus Dur berkat kongkalikongnya dengan SBY yang saat itu jadi Presiden. Percayalah, tanpa dukungan dari SBY, MI saat itu hanyalah politisi pemula yang tak memiliki pengaruh apa-apa sebagaimana AHY.

Ketiga, terus terang sebenarnya banyak juga pendukung Presiden Jokowi yang merasa tidak dihargai oleh Presiden Jokowi, sebab begitu Jokowi kembali lagi jadi Presiden, mereka tak pernah lagi diperhatikan oleh Presiden Jokowi. Padahal mereka selama ini sudah berjuang habis-habisan, baik waktu, tenaga maupun uang, bahkan nyaris nyawa, mengingat menjadi pendukung Presiden Jokowi itu penuh risikonya, yakni menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok radikal, intoleran dan teroris. 

Namun berkat dukungan pada Jokowi yang muncul dari hati sanubari yang ikhlas, mereka sebenarnya juga tidak pernah merasa kecewa, putus asa apalagi balik badan dan menjadi penyerang Pemerintahan Jokowi. Mereka selama ini tetap setia menjaga Pemerintahan Jokowi sampai nantinya berakhir jabatannya.

Orang-orang yang saya sebut terakhir ini, memiliki komitmen dan loyalitas tanpa batas. Karenanya, mereka akan terus setia mendukung figur yang akan dipilih oleh Presiden Jokowi untuk menjadi penerus kepemimpinan nasionalnya, sebagai perwujudan kesetiaannya pada Presiden Jokowi. 

Maka, ketika Presiden Jokowi sudah memutuskan untuk memilih GP, pendukung-pendukung setia Presiden Jokowi ini tentu sudah menyiapkan segalanya, baik itu tenaga, waktu dan dananya untuk menyukseskan GP. 

Salah satu di antara loyalis Presiden Jokowi yang tak terbantahkan dan siap mendukung penuh Capres GP ini adalah R. Haidar Alwi. Pengusaha, organisatoris yang memiliki banyak pengalaman di bidang manajemen kesejahteraan. Beliau seorang pengusaha ahli pertambangan yang memiliki kepedulian besar untuk menyupport para pejuang yang memiliki komitmen besar untuk menjaga Pancasila dan NKRI.

R. Haidar Alwi low profile, tapi siapa yang tidak tahu kalau pengusaha pejuang ini selalu menyantuni kaum fakir miskin tiap saat di negeri ini? Ribuan anak-anak yatim piatu telah dibantunya, para lansia dan orang-orang di panti jompo dibantunya, demikian pula dengan komitmennya untuk menjaga berbagai aset kekayaan alam Indonesia --khususnya di bidang pertambangan-- dari penjarahan besar-besaran gerombolan oligarki telah dilakukannya, dengan terus menerus menjalin komunikasi intensif dengan para aparatur negara yang berkepentingan. 

"Saya ingin mendukung penuh Mas Ganjar bukan hanya dengan waktu dan tenaga saya saja, melainkan juga dana yang saya punyai. Bukan karena saya ini kaya raya berlimpah harta, melainkan karena saya cinta Indonesia dan mau mendengar suara batin Presiden Jokowi yang selama bertahun-tahun ini saya bela-belain mati-matian, meskipun saya tidak pernah beliau perhatikan. Tidak apa-apa, nawaitu saya adalah untuk kemaslakhatan bangsa, dan NKRI ini bagi saya adalah segalanya!" Begitulah Bang R. Haidar Alwi yang sering katakan pada saya.

Presiden Jokowi memang lihai dalam berpolitik, tindak tanduknya tidak akan mudah dibaca oleh lawan-lawan politiknya, kecuali oleh para pendukungnya sendiri yang selama bertahun-tahun ini mendukungnya dengan sepenuh hati. 

Ya, begitulah cinta yang sesungguhnya, sebagaimana yang dikatakan Penyair Agung Gibran Khalil Gibran dalam syairnya," Cinta tidak di mulut, tidak juga di pikiran, melainkan di dalam hati!" 

R. Haidar Alwi maupun Presiden Jokowi nampaknya paham betul dengan filosofi cinta agung Gibran Kahlil Gibran ini, makanya kita semua tak perlu heran, kenapa R. Haidar Alwi tetap mencintai dan loyal terhadap Presiden Jokowi meski sebenarnya terlihat tak diperhatikan oleh Presiden Jokowi.

Dan mengapa pula Presiden Jokowi memberikan nama untuk putranya, Gibran? Beliau berdua mengerti dan menghayati filosofi Cinta Kahlil Gibran, karenanya cintanya sudah berada di level yang tak terkatakan. Meskipun Presiden Jokowi secara kasat mata mendukung PS, namun hatinya memancarkan aura pilihan politiknya pada GP! []

Berita terkait
Opini: Politik Vs Hukum, Kiageng Mangir Vs Johnny G Plate
Kasus Johnny G Plate yang jelas-jelas murni kasus hukum, yang jelas-jelas telah merampok uang negara 8.32 T rupiah dari anggaran 10 T rupiah.
Opini: Kasus Johnny G Plate Sebuah Intervensi Kekuasaan? Fitnah Keji!
Kasus Johnny G Plate sebuah intervensi kekuasaan? Logika ini sesat, dan sebuah fitnah yang sangat keji terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Opini: Prahara Partai Nasdem
Kasus hukum Johnny G. Plate telah memporak-porandakan bangunan politik yang sedang Partai Nasdem perjuangan. Tulisan opini Akademisi UGM.
0
Opini: Jangan Lihat Arah Dukungan, Lihat Arah Pilihan Jokowi
Meskipun Presiden Jokowi secara kasat mata mendukung Prabowo Subianto, namun hatinya memancarkan aura pilihan politiknya pada Ganjar Pranowo.