Zaki Nabiha*
Hanya dengan luas 12 ribu kilo meter per segi, hampir setengah dari luas provinsi Jawa Barat, Falkland menjadi salah satu produsen pertanian organik dunia yang mulai diperhitungkan.
Tentu, ini menjadi semacam kejutan atau ‘kuda hitam’ bagi negara-negara yang selama ini menjadikan pertanian sebagai lokomotif ekonomi mereka.
Keseriusan Falkland yang masih menjadi bagian Britania Raya menggarap pertanian tidak terlepas dari ceruk pasar pertanian organik Eropa yang sangat besar.
Seiring perkembangan zaman dan gaya hidup sehat, kebutuhan produk pertanian organik kini menjadi prioritas. Orang rela merogoh kocek lebih dalam demi mendapatkan bahan makanan yang aman untuk dikonsumsi dengan kandungan nutrisi tinggi dan tentunya ramah lingkungan.
Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki lahan pertanian potensial mulai mengalihkan dan mengembangkan produk pertanian mereka melalui budidaya pertanian organik.
Mengutip data yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), ada 187 negara yang sudah serius menagani pertanian organik dengan total luas lahan 72,3 juta hektar.
Pertanian organik menurut SA Kennvidy, pakar pertanian organik dari Universitas Kerajaan, Kamboja, adalah salah satu sistem pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan pupuk organik sehingga dapat memberikan manfaat untuk Kesehatan. Pertanian organik menurutnya dapat menjamin keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial.
Keberlangsungan ekonomi dapat dioptimlkan dalam usaha tani sehingga dapat mencukupi kebutuhan petani. Keseimbangan ekologi dapat tercapai karena pertanian organik bersifat ramah lingkungan dengan memanfatkan bahan-bahan organik secara alami.
Isu pertanian berkelanjutan menjadi salah satu dari tiga isu prioritas yang diperbincangkan pada perhelatan Agriculture Ministers Meeting (AMM) 2022 yang diselenggarakan di Bali tanggal 27 sampai 29 September 2022 lalu.
Tiga isu tersebut adalah membangun sistem pertanian dan pangan yang resilient dan berkelanjutan, kemudian mempromosikan perdagangan pangan yang terbuka, adil, dapat diprediksi, dan transparan, serta mendorong kewirausahaan yang inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan taraf hidup petani di pedesaan.
Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster dalam Global Forum on Digital Agriculture Transformation in Accelerating Women and Youth Entrepreneurship, rangkaian kegiatan AMM G20 yang dihelat di Denpasar, Bali, 27 sampai 29 september 2022, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah gencar menyelenggarakan pertanian organik yang dibuktikan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik sebagai bukti keseriusan dan tekad menjadikan Bali sebagai pulau organik.
Sampai saat ini, di wilayahnya menurut Gubernur Koster terdapat 70 ribu hektar sawah. Ia menargetkan sampai akhir tahun 2022 ini, 45 ribu hektar sawah sudah menerapkan sistem organik.
Selain itu, dari 200 ribu hektar areal perkebunan yang menghasilkan buah dan sayur, 154 ribu hektar sudah menerapkan pertanian organik. Kekurangannya, 56 ribu hektar akan dituntaskan di tahun 2023.
Menjadikan Bali sebagai pulau organik semata agar Bali mampu berdaulat pangan dengan menghasilkan pangan sehat dan berkualitas serta tidak menimbulkan polusi bagi lingkungan.
Sehingga ekosistem alam di Bali terjaga dengan baik. Begitu ia sampaikan dihadapan 188 delegasi peserta baik anggota maupun non anggota G20.
Menjaga bagaimana ekosistem itu supaya tetap terjaga bisa dilihat dari lima asas yang menjadi landasan Sistem Pertanian Organik tersebut, yakni asas manfaat, usaha bersama, keadilan, kelestarian dan berkelanjutan yang berlandaskan falsafah Tri Hita Kirana.
Diketahui, Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Falsafah tersebut diyakini betul oleh I Nyoman Sunarcaya. Petani jeruk organik berusia 55 tahun yang penulis temui di Kawasan Jati Luwih, 29 September 2022. Sunarcaya yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Tabanan Orange Farm memulai budidaya jeruk organik bersama 22 anggota di Banjar Soka Kawan, Desa Senganan, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan bermula dari lahan seluas 1 hektar.
Kini, jeruk organiknya berkembang di lahan 4 hektar dan mulai dikenal terutama bagi para pelancong dan turis asing yang membawa pulang produk pertaniannya sebagai buah tangan.
Diakui Sunarcaya, pertanian organik sangat berbeda dengan sistem konvensional yang serba instan. Sementara, pada pertanian organik, harus ada effort tambahan terutama faktor ketelatenan.
Pasalnya, pupuk yang digunakan oleh Poktannya diambil dari bahan-bahan yang tersedia di sekitarnya seperti dari kotoran 700 ekor entog yang mereka pelihara di areal pertanaman jeruk.
Selama ini, menurutnya hasilnya tidak mengecewakan. Dalam 1 hektar, populasi jeruk yang ditanam mencapai 500 pohon dengan rerata 1 pohon jeruk bisa menghasilkan 50 sampai 55 kilo gram per masa panen yang bisa dipanen dua kali dalam setahun dengan harga jual per kilo gram sebesar Rp 10 ribu. Harga yang menurut penulis masih terbilang sangat murah.
Provinsi Bali tentu berbeda dengan Kepulauan Falkland seperti di awal tulisan ini. Tapi memiliki satu persamaan, yaitu bagaimana pertanian berkelanjutan terenjawantahkan melalui penerapan sistem pertanian organik.
Sistem Pertanian sebagaimana merujuk Perda Provinsi Bali 8/2019 adalah sebuah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah dengan menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan memepertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat dan sedapat mungkin menggunakan budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem.
Ringkasnya mungkin, sistem pertanian yang bertujuan agar kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, dan kualitas lingkungan hidup terjaga dan petani memiliki nilai tambah yang signifikan.
Hemat penulis, AMM 2022 dan Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tangal 24 September harus dijadikan momentum agar penerapan sistem pertanian organik dalam skala kolosal dan masif bisa diakselerasikan.
Karena, menurut Surono, salah satu pakar pupuk hayati yang juga aktif di di Innovation Centre for Tropical Sciences (ICTS), lembaga yang concern pada pengembangan pertanian organik di Indonesia, mengungkapkan bahwa sumberdaya untuk menunjang pertanian organik terpadu banyak tersedia di Indonesia.
Langkah yang mendesak adalah melakukan orkestrasi dan mengintregasikan sumberdaya-sumberdaya tersebut untuk menghasilkan produk pangan sehat yang berkualitas dan mempunyai nilai kompetitif. Semoga.
*ASN di Kementerian Pertanian