Untuk Indonesia

Opini: Diversifikasi Saat Surplus Beras

Paska ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Zaki Nabiha.
Ilustrsia - Diversifikasi Saat Surplus Beras. (Foto: Tagar/Pixabay)

Zaki Nabiha


Paska ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI), setiap kementerian/lembaga pemerintah terus berbenah. 

Mereka melakukan perbaikan utamanya dalam kaidah penyusunan data, mengejawantahkan prinsip keterbukaan data dan saling bagi pakai data.

Sebelumnya, publik dibikin bingung atas sengkarut data yang kerap diterbitkan oleh kementerian/lembaga pemerintah yang tak jarang berlainan sementara objek datanya sama. 

Bahkan, mereka saling menegasikan akurasi dan validitas data satu sama lainnya. Padahal, akurasi dan validitas data sangat penting dalam merancang program dan kebijakan publik.

Maka, jauh panggang dari api ketika publik mengharapkan kebijakan atau pembangunan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan jika masih terbiasa menggunakan data yang jauh dari semangat dan prinsip SDI.

Salah satu pelajaran yang berharga adalah polemik ketika pemerintah memutuskan melakukan impor 2,25 juta ton beras sepanjang tahun 2018. 

Polemik itu dipicu karena perbedaan data stok beras antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Perum Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.

Agar polemik data stok beras itu tidak terulang, Kementerian Pertanian bersama Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Survei Cadangan Beras Nasional 2022 (SCBN) yang dirilis di Hotel Aston TB Simatupang, Senin, 8 Agustus 2022. 

Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah, urgensi lainnya mengapa survei tersebut dilakukan karena dilatarbelakngi oleh pentingnya mendapatkan informasi yang valid dan akurat mengenai stok beras di masyarakat sehingga pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat terkait komoditas beras di Indonesia.

BPS dalam konteks SDI dalam SCBN 2022 adalah sebagai pembina statistik sektoral, melakukan pendampingan, dan penjaminan kualitas pada proses statistik yang dilakukan meliputi penyusunan metodologi, pelatihan petugas, pengambilan sampel, dan proses estimasi.

SCBN 2022 dilakukan di 34 provinsi, 490 kabupaten/kota dengan unit observasi meliputi rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, penggilingan padi, perdagangan, industri, Horeka (hotel, restoran, katering), dan seluruh divisi regional Bulog. Total sampel sebanyak 47.817.

M. Habibullah dalam pemaparan hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa pada periode 30 April 2022, stok beras berada pada jumlah tertinggi, yaitu 10,15 juta ton. 

Sebaran terbesar beras pada periode tersebut ada di rumah tangga, mencapai, 6,6 juta ton atau 66,74 persen. Sementara itu, beras yang ada di pedagang 1,25 juta ton, kemudian 0,97 juta ton ada di Bulog. Beras di penggilingan dan Horeka masing-masing 0,96 juta ton dan 0,2 juta ton.

Apresiasi diberikan Guru Besar Statistika IPB, Khairil Anwar Notodiputro atas pelaksanaan hasil survei. Namun ia menyampaikan bahwa hasil survei tersebut akan lebih baik jika disandingkan juga dengan tingkat konsumsi beras sehingga kondisi stok beras sampai akhir tahun bisa diprediksi. 

Pada tahun 2015, survei sejenis memang pernah dilakukan, melalui Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB). Hanya saja, faktor konsumsi beras juga dihitung tanpa melihat carry over stock dari tahun sebelumnya.

Konsumsi beras saat ini menurutnya adalah 80 per kg per kapita per tahun, menurun dibandingkan tahun 2020, yaitu 92,9 per kg per kapita per tahun. Tren penurunan konsumsi beras diprediksi akan semakin meningkat sejalan dengan maraknya gaya hidup sehat. Apalagi, Indonesia sangat kaya akan sumber pangan lokal yang memiliki potensi menggantikan beras.

Busatnul Arifin, Ketua Forum Masyarakat Statistik dalam kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa konsumsi beras nasional sebetulnya naik seiring pertumbuhan penduduk walaupun secara per kapita turun. Oleh karena itu, Kementan dituntut bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan produksi dengan disertai melakukan diversifikasi.

Diversifikasi pangan beberapa kali disinggung Presiden Joko Widodo. Hal ini diperlukan dalam menghadapi ancaman krisis pangan dunia di masa sekarang yang dipicu oleh dampak pandemi Covid-19, perubahan iklim global dan perang Ukraina-Rusia.

Diversifikasi pangan atau substitusi bahan pangan merupakan salah satu dari tiga strategi yang telah disiapkan kementan dalam menghadapi krisis tersebut. Ketiga strategi itu adalah, pertama, peningkatan kapasitas produksi pangan untuk komoditas pengendali inflasi seperti cabai dan bawang merah; serta untuk mengurangi impor seperti gula tebu, dan daging sapi. 

Kedua, pengembangan pangan substitusi impor seperti ubi kayu, sorgum, dan sagu untuk substitusi gandum, pengembangan domba/kambing dan itik untuk substitusi daging sapi. Dan yang ketiga, peningkatan ekspor seperti sarang burung walet, porang, ayam, dan telur.

Apa yang dilakukan Kementan sejalan dengan arahan Presiden Jokowi, seperti dikutip dalam keterangan pers-nya yang dimuat di laman Sekretariat Kabinet menyampaikan bahwa banyak alternatif, pilihan-pilihan bahan pangan, tidak hanya tergantung pada beras. Alternatif bahan pangan tersebut adalah jagung, sagu, dan sorgum.

Oleh karenanya, hemat penulis, diversifikasi pangan seyogyanya harus menjadi agenda nasional. Sehingga segala hal yang menyangkut keberhasilan agenda tersebut seperti meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap keunggulan jagung, sagu dan sorgum dibanding beras, melibatkan kementerian/lembaga lain. 

Kemudian dalam ranah pengembangan industri pangan baru berbasis pangan lokal, bisa melakukan kolaborasi bersama BUMN maupun pihak swasta.

Diversifikasi pangan harus tetap menjadi agenda prioritas walaupun Indonesia telah dinyatakan swasembada beras oleh International Rice Research Institute (IRRI), Lembaga penelitian padi terpercaya di tingkat internasional dengan diserahkannya Certificate of Aknowledgement  dari Direktur Jenderal IRRI, Jean Belle, kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka (14/8).

Pada rentang 2019 hingga 2021 IRRI menilai Indonesia telah berhasil swasembada beras karena sukses membangun sistem pertanian dan pangan serta mengimplementasikan teknologi dan inovasi beras. 

Indikator yang digunakan adalah surplus beras selama dua tahun berturut-turut. Produksi beras tahun 2020 yang mencapai 31,5 juta ton, sementara tahun 2021 mencapai 31,3 juta ton. 

Ditambah, adata stok hasil SCBN 2022, yang telah dijelaskan di atas, Stok beras nasional periode 31 Maret 2022 mencapai 9,11 juta ton beras. Pada 30 April 2022 (menjelang lebaran), stok beras nasional meningkat menjadi 10,15 juta ton beras, yang merupakan stok tertinggi dibandingkan periode lainnya.

*ASN di kementerian Pertanian

Berita terkait
Opini: Gaji Pekerja Migran Indonesia di Taiwan Naik Jadi Rp 9,9 Juta Per Bulan
Kenaikan upah Pekerja Migran Indonesia atau PMI sektor domestik di Taiwan menjadi momentum meningkatkan perlindungan PMI di masa tua. Opini.
Opini: Musik, Kopi dan Senja
Entah, sejak kapan tepatnya kopi dan senja disandingkan, digunakan sebagian generasi Z untuk mewakili suasana hati mereka. Zaki Nabiha.
Opini: Menolak Amandemen UUD 1945, Kembalikan UUD 1945 Asli
Ada bagian dari amandemen UUD 1945 mengaburkan Pancasila dan eksistensi NKRI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Opini Akademisi UGM.
0
Opini: Diversifikasi Saat Surplus Beras
Paska ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Zaki Nabiha.