Omnibus Law Cipta Kerja Banyak Pasal Aneh dan Bahaya

Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menuai perdebatan berbagai pihak. Salah satunya dari Peneliti INDEF Bhima Yudhistira.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Chief Executive National Capital Authority Canberra Sally Barnes (kanan) melihat pusat kota Canberra dari Mount Ainslie, Canberra, Australia, Minggu (9/2/2020). (Foto: Antara/Desca Lidya Natalia/sgd/aww)

Jakarta - Pekan lalu, pemerintah menyerahkan surat presiden (surpres) dan draft rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, draft yang berisi 15 bab dan 174 pasal itu masih menuai perdebatan berbagai pihak karena dianggap hanya mengakomodasi kepentingan 'elite' pengusaha tanpa memikirkan dampak pada pekerja.

Salah satu yang turut menyuarakan kritik terhadap Omnibus Law Cipta Kerja yakni Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.

Setidaknya, menurut dia ada empat poin klaster yang perlu dikritisi terkait ketenagakerjaan Omnibus Cipta Kerja. Pertama, Pasal 88D terkait kenaikan upah minimum berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah yang sebenarnya berbahaya bagi daya beli masyarakat.

"Kalau daerah pertumbuhan ekonominya negatif seperti kita lihat di Papua 2019, maka tahun depan upahnya justru minus. Ekonomi daerah bukan makin membaik tapi justru memburuk karena konsumsi rumah tangga turun," kata Bhima kepada Tagar, Senin, 17 Februari 2020.

Omnibus LawRatusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin 20 Januari 2020. Dalam aksinya mereka menolak omnibus law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Poin selanjutnya, Pasal 88E terkait upah minimum padat karya yang diatur terpisah. "Dikhawatirkan memicu terjadinya rezim upah murah yang merugikan pekerja khususnya di sektor tekstil pakaian jadi dan alas kaki," tuturnya.

Ketiga, kata dia Pasal 42 ayat 3 soal Kemudahan Tenaga Kerja Asing untuk perusahaan start-up yang menurutnya aneh. Pasalnya, menurut dia pemerintah menggadang-gadangkan 'talenta' lokal untuk mengisi perusahaan bisnis yang identik dengan teknologi, web, dan internet itu.

"Ini kan aneh. Startup katanya mau berdayakan talent lokal. Faktanya justru mau undang TKA," ucap Bhima.

Terakhir, penghapusan Pasal 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003 yang membuat batasan outsourcing tidak diatur. Artinya kata dia, pekerjaan yang core atau inti produksi pun bisa di alih dayakan. 

"Ini bisa ciptakan job insecurity," ucapnya.

Draft rancangan Undang-Undang Ombibus Law Cipta Kerja diserahkan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020.

"Kami menyerahkan surpres dan draf RUU, serta naskah akademiknya. Jadi, tadi semuanya sudah dilengkapi dan ini dokumennya," tutur Airlangga.

Selain Airlangga, sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo turut hadir, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. []

Berita terkait
Kesal Omnibus Law, Munarman FPI Kritik Pedas Jokowi
Munarman FPI menilai Omnibus Law yang digodok Presiden Jokowi yang bisa mengubah UU melalui PP menunjukkan Indonesia akan menjadi negara kekuasaan.
Omnibus Law Cipta Kerja, Bima Arya: Rezim Perizinan!
Wali Kota Bogor Bima Arya mengkritisi Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja soal rezim perizinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Omnibus Law Perpajakan, Barang Kena Cukai Lewat PP
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menjelaskan Omnibus Law Perpajakan penentuan barang kena cukai baru tak perlu izin DPR.