Obituary: Tides, Wartawan Pencinta Alam Telah Tiada

Aristides Katoppo (Tides), Pemred “Sinar Harapan” berpulang hari Minggu, 29 September 2019 pukul 12.05 di RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat
Foto: Ariesties Katoppo (Twitter/Sinar Harapan)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Kabar duka datang dari RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, yang mengabarkan Aristides Katoppo, atau yang akrab disapa Tides, meninggal dunia pada hari Minggu, 29 September 2019, pukul 12.05. Kabar duka ini muncul di akun Twitter AJI Jakarta (@AJI_JAKARTA): “Turut berduka cita atas meninggalnya Aristides Katoppo, jurnalis dan salah satu pendiri AJI. Semangatmu untuk berani memberitakan kebenaran akan selalu menjadi semangat AJI.”

Kabar tsb. sudah dikonfirmasi oleh Jura, anak Tides. Jenazah akan dibawa ke rumah duka di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, dan akan dikremasi pada Selasa, 1 Oktober 2019.

Kepergian Tides, Pemimpin Redaksi Harian Sore “Sinar Harapan”, yang juga dikenal sebagai sahabat dekat aktivis Soe Hok Gie ini, meninggalkan duka mendalam bagi banyak kalangan terutama wartawan dan pegiat lingkungan hidup.

Back to Nature

Di awal tahun 1980-an kegiatan ‘kembali ke alam’ mulai dikenal luas, Tides jadi salah satu yang giat sebagai pencinta alam. Ketika itu, seperti pernah diceritakan Tides, orang-orang menyebutnya ‘gila’ karena piknik ke gunung dan hutan yang disebut waktu itu ‘back to nature’.

PT Sinar Kasih, penerbit “Sinar Harapan”, kemudian menebitkan tabloid pertama di Indonesia “Mutiara” yang bergerak di sektor yang tidak dijamah media-media mainstream waktu itu yaitu keluarga, iptek dan pencinta alam.

Para pencinta alam kemudian bergabung di “Mutiara”, sebut saja Norman Edwin (meninggal dunia April 1992, di Akonkagua, Argentina), Rudi Badil yang kemudian ke Harian “Kompas”, dan beberapa orang dari Mapala UI serta dari kelompok-kelompok pencinta alam lain. 

“Mutiara” sendiri menjalankan program kembali ke alam melalui berita lingkungan dan kegiatan tahunan “Tiwok” dari asal kata tea walk yaitu keluarga jalan-jalan di kebun teh Gunung Mas, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Juga pernah dilakukan di kebun teh Ciater, Kab Subang, Jawa Barat. Kegiatan bertahan dari awal tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Kegiatan ini sangat diminati sehingga dibatasi pesertanya karena menjaga kelestarian alam di perkebunan teh itu.

Di masa Orde Baru (Orba) penerbitan pers (cetak) mempunyai dua izin yaitu Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izn Cetak (SIC). Tanggal 2 Januari 1973, Izin cetak “Sinar Harapan” dicabut karena koran sore itu memberitakan RAPBN dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard” pada edisi 30 Desember 1972. Ini jadi catatan hitam dunia pers Indonesia.

Hari itu, seperti diceritakan Tides dalam beberapa kesempatan dengan redaksi “Mutiara”, ada wartawan yang ditugaskan mengikuti konprensi pers di UI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.

Yang berbicara, ketika itu, adalah Menteri Pertambangan Prof Dr Sadli. Sebagai harian sore wartawan itu tahu betul deadline yang bida ditolerir sekitar pukul 11.00 karena pukul 12.00 sudah harus naik cetak. Ketika itu mencetak koran melalui beberapa tahap yang memakan waktu, seperti setting (diketik pada kertas khusus), koreksi, foto, dst.

Off the Record

Wartawan itu pun mencari telepon. Ketika itu belum dikenal telepon umum apalag ponsel. Setelah mengirimkan berita melalui telepon ke redaksi wartawan itu kembali ke ruangan. Tiba-tiba salah seorang pembicara mengatakan: “Bapak-bapak dan ibu-ibu, konferensi pers ini off the record.”

Itu artinya hasil konferensi pers tidak boleh diberitakan sampai batas waktu yang ditentukan atau diembargo. Tentu saja wartawan itu kelabakan karena hasil konferensi pers sudah dimuat dan koran sudah beredar luas.

Pemerintah menyebutkan berita tsb. sebagai pelanggaran karena membocorkan rahasia negara. Sedangkan Menteri Luar Negeri Adam Malik ketika itu mengatakan “Sinar Harapan” melanggar kesepahaman atau understanding tentang RAPBN karena disiarkan sebelum waktunya.

Polemik terkait dengan pencabutan izin cetak “Sinar Harapan” berlangsung lama yang melibatkan banyak kalangan. Akhirnya, pemerintah kembali memberikan izin cetak kepada “Sinar Harapan” pada tanggal 12 Januari 1973.

Tides yang lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, 14 Maret 1938, memulai karir sebagai wartawan tahun 1957. Selain di bidang jurnalistik, lingkungn hidup dan pencinta alam Tides juga ikut di dunia politik. Bersama Presiden RI ketiga Abdurahman Wahid, Gus Dur, mereka mendirikan Forum Demokrasi.

Perjalanan “Sinar Harapan” kembali terhenti ketika pemerintah kembali memberedel koran sore itu karena pemberitaan, yang disebut pemerintah ketika itu melalui Deppen yang dipimpin oleh Menpen Harmoko, membocorkan rahasia negara terkait dengan rencana pembatasan impor.

Ketika itu head line berjudul: “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Pembereidelan kali ini, dengan Pemimpin Redaksi Subagyo Pr, menyulitkan “Sinar Harapan” terbit kembali. 

Pemerintah akhirnya memberikan izin cetak dan izin terbit (SIUPP-Surat Izin usaha Penerbitan Pers) untuk koran sore “Suara Pembaruan”. Sebagian besar wartawan dan karyawan dari Sinar Kasih, penerbit “Sinar Harapan”, tapi penerbitnya bukan Sinar Kasih biar pun berkantor di gedung milik Sinar Kasih di Jalan Dewi Satika, Cawang, Jakarta Timur.

Pagi itu, 8 Oktober 1986, rapat redaksi rutin. Selain redaktur “Sinar Harapan” saya ikut wakil dari “Mutiara” karena ada sinkronisasi berita. Redaktur ekonomi mengabarkan ada informasi tentang kebijakan yang akan mengambil alih tabungan dan deposito untuk dijadikan obligasi (surat pinjamam pemerintah berbunga). Obligasi memang bisa dijual tapi tidak semudah menarik dana dari tabungan dan desposito.

Perdebatan rapat memanas karena pro dan kontra. Soalnya, ketika itu rezim Orba sangat kuat sehingga kalau berita itu dimuat akan terjadi rush (penarikan besar-besaran uang tabungan dan deposito dari bank) yang berujung pencabutan surat izin cetak atau surat izin terbit, atau keduanya. 

Sedangkan yang pro pemberitaan berpijak pada fakta bahwa banyak keluarga di Indonesia yang mengandalkan tabungan dan deposito untuk berbagai keparluan, al. biaya anak sekolah dan kuliah di dalam dan di luar negeri. Dengan obligasi akan sulit bagi keluarga untuk menarik dana, misalnya, untuk keperluan uang kuliah dan biaya hidup anak-anak mereka yang kuliah di berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri.

Akhirnya berita tentang kemungkinan obligasi dimuat. Rush pun terjadi. Tapi, pemerintah mencabut SIUPP “Sinar Harapan” dengan alasan berita rencana pencabutan tata niaga impor.

Pemberedelan kali ini berat bagi “Sinar Harapan” sehingga akhirnya pemerintah memberikan SIUPP untuk “Suara Pembaruan”. Setelah reformasi, “Sinar Harapan” kembali terbit tahun 2001. Itu artinya 15 tahuh kemudian. Belakangan koran ini pun berhenti terbit.

Folklor

Ketika jadi salah satu pembicara pada “Pendidikan Fungsional Jurnalistik” yang dijalankan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y), Yogyakarta, yang melatih 20 calon wartawan dengan syarat DO (drop out) perguruan tinggi, Tides berbicara tentang jurnalistik alternatif yaitu memberitakan isu keras dengan cara horizontal.

Misalnya, kalau ada tahanan atau narapidana (napi) kabur dari lembaga pemasyarakatan (Lapas) pola yang dipakai adalah melihat situasi dan suasana Lapas bukan mewawancarai petinggi Lapas atau menteri terkait. Mengapa bisa terjadi tahanan atau napi kabur? Gaya penulisan dengan bertutur melalui pola 1 berita banyak narasumber serta ditulis dalam bentu rangkuman.

LP3Y yang didirikan taun 1977 oleh Bang Hadi, dkk. (Ashadi Siregar, dosen di UGM yang dikenal luas melalui trilogi novel: Cintaku Di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir, ketiga novel sudah dijadikan film layar lebar). Pelatihan angkatan pertama tahun 1982-1983 selama enam bulan. Ketika itu penulis jadi peserta. Biaya gratis karena ada donor yaitu The Asia Foundation.

Pelatihan itu juga, seperti dikatakan Bang Hadi, melatih wartawan agar jeli melihat realitas sosial dengan mengedepankan fakta memakai deskripsi dengan bahasa baku. 

Selain Tides, pembicara lain adalah alm. Umar Kayam, dosen di UGM Yogyakarta, yang dikenal sebagai sastawan, al. kumpulan tulisan Mangan Ora Mangan Kumpul (1990). Ada juga Jacob Oetama, Pemred Harian “Kompas” dan Pemred LKBN “Antara” mendiang August Marpaung yang kemudian dicopot karena pola pemberitaannya yang dianggap pemerintah berlawanan.

Menurut August, ketika ada wartawan “Antara” yang diundang, misalnya, meresmikan jembatan, dia minta wartawan tidak pulang bersama rombangan. Tunggu beberapa hari lagi. Ternyata dalam satu liputan peresmian jembatan beberapa hari kemudian jembatan roboh. Berita yang diangkat “Antara” justru tentang jembatan yang baru diresmikan tapi sudah roboh.

Belakangan Tides mendirikan Penerbit “Sinar Harapan” al. menerbitkan buku-buku tentang kesehatan reproduksi, kebudayaan dan masyarakat yang didukung oleh The Ford Foundation. 

Ada belasan buku tentang kesehatan reproduksi yang diterbitkan, salah satu di antaranya adalah “Pers Meliput AIDS” yang saya tulis dengan dukungan The Ford Foundation yang diterbitkan tahun 2000. Buku ini berisi analisa isi (content analysis) berita-berita di media cetak dan televisi nasional pada kurun waktu tahun 1987-2000 tentang HIV/AIDS.

Tides juga sangat berminat mendengarkan cerita-cerita rakyat, yang oleh mendiang Prof Jimmy (Prof Dr James Danandjaja, antropolog di UI) disebut folklor. Dalam sebuah rapat redaksi di Wisma “Sinar Kasih” di Pacet, Cipanas, Cianjur, berseberangan dengan Wisma “Kompas” (belakangan wisma itu dilego oleh pengelola “Suara Pembaruan”), Tides ‘menyandera’ penulis untuk bercerita folklor sampai jelang subuh.

Salah satu buku kumpulan folklor yang ditulis oleh Prof Jimmy diterbitkan oleh Penerbit “Sinar Harapan” yang ditentang oleh pemilik saham karena buku itu mengandung materi ‘porno’. Prof Jimmy sendiri jika hendak diwawancarai harus menceritakan minimal tiga folklor. Tanpa tiga folklor Prof Jimmy ‘menolak’ diwawancarai.

Pada pelatihan di LP3Y Tides mengingatkan, ini sebagai kritik terhadap wartawan ketika itu bahkan sampai sekarang, yang menganggap berita yang bagus ada di hutan belantara, di masyarakat adat, dll. Menurut Tides berita dengan nuansa kemanusiaan ada di hutan belantara kota besar. Dan, inilah yang membuat saya menerima tantangan Tides jadi wartawan sampai redaktur di “Mutiara”. 

Ketika itu Tides mengatakan: “Saudara-saudara, setelah selesai pelatihan, silakan datang ke ‘Mutiara’ kalau tertarik dengan jurnalisme yang saya paparkan.” []

Berita terkait
NSHE dan TPL Bicara Lingkungan di Medan, Walhi Protes
Walhi gelar aksi protes terhadap acara "Indonesia Climate Change Forum & Expo in Conjuction with Pekan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara".
Pengakuan Wartawan LKBN Antara yang Dipukuli Polisi
Darwin Fatir, menjadi salah satu korban pemukulan polisi saat meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di Kota Makassar.
Tidak Mudah Menembus Kebun Kopi di Wamena
Wamena adalah sebuah kota yang berada di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Sekaligus menjadi ibu kota kabupaten tersebut.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)