TAGAR.id, Jakarta - Negara-negara industri maju sejauh ini belum memenuhi target pendanaan iklim senilai 100 miliar dolar AS. Uang tersebut diniatkan membantu negara miskin beradaptasi dan memitigasi dampak krisis iklim.
Laporan itu dibuat Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Eropa (OECD) pada Jumat, 29 Juli 2022. Pada 2009 silam, negara industri maju berjanji akan menyerahkan 100 miliar dolar AS kepada negara yang rentan terhadap bencana iklim selambatnya hingga 2020.
Menurut OECD, sampai tenggat berakhir, negara kaya baru mengucurkan USD 83,3 miliar, kurang sebanyak 16,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 246 triliun.
Surutnya pendanaan iklim bukan kejutan. Antara lain, kelompok G7 sudah mengisyaratkan tidak akan mampu memenuhi target tersebut sebelum 2023. Terlebih, OECD membutuhkan hingga dua tahun buat mengolah data yang disediakan PBB.
Kendati begitu, kegagalan negara kaya memenuhi komitmennya dipastikan bakal menjadi kerikil diplomasi selama KTT Iklim COP27 di Mesir, November mendatang. Di sana, semua negara akan ditekan untuk memangkas emisi secara drastis dan lebih cepat ketimbang komitmen awal.
Masalah pendanaan selama ini menjadi batu sandungan dalam perundingan iklim. Negara-negara berkembang seperti India, Brasil atau Indonesia, berdalih tidak mampu mengurangi emisi tanpa bantuan dana negara kaya, sebagai pihak yang paling banyak memproduksi gas rumah kaca.
"Menghormati komitmen ini menjadi yang utama untuk memulihkan kepercayaan,” kata Yamide Dagnet, Direktur Keadilan Iklim di Yayasan Open Society.
"Tapi kita juga butuh agar negara-negara berkembang untuk menyusun rencana yang kredibel untuk memperbesar pendanaan iklimnya masing-masing,” imbuhnya.
Harapan dana iklim dari Amerika Serikat
OECD tidak merinci pendanaan iklim untuk setiap negara Uni Eropa. Lembaga multilateral itu juga mengaku belum mengukur dampak pandemi Covid-19 terhadap kontribusi per negara. Pendanaan iklim selama ini diambil dari pinjaman publik, dana hibah dan investasi swasta yang digalang pemerintah.
Sejak beberapa tahun terakhir, ke27 anggota Uni Eropa tercatat sebagai penyumbang terbesar dana iklim. Amerika Serikat, produsen emisi terbesar kedua setelah Cina, sejauh ini menolak komitmen jangka panjang.
Namun keberhasilan Partai Demokrat meloloskan paket UU Iklim membuka pundi duit senilai 369 miliar dolar AS untuk membiayai komitmen iklim AS, termasuk di luar negeri.
"Saya yakin, ide pembentukan fasilitas pendanaan kerusakan dan kerugian akibat bencana iklim global sedang mendapat momentum,” kata Carlos Fuller, Duta Besar Belize untuk PBB, salah satu negara yang paling terancam kenaikan muka laut.
"Kini kita harus bekerja sama dengan negara-negara berkembang yang selama ini masih ragu-ragu,” imbuhnya.
Bangladesh menjadi negara pertama yang mengajukan diri untuk ikut dalam program Ketahanan dan Keberlanjutan senilai 1 miliar dolar AS milik Dana Moneter Internaisonal (IMF).
Program tersebut dibuat untuk membantu negara-negara berkembang membiayai transformasi menuju ekonomi hijau. "Terutama untuk memperkuat kesiapan dalam menghadapi perubahan iklim dan pandemi,” kata Krishna Srinivasan, Direktur IMF Asia Pasifik.
"Saya berharap negara-negara lain akan mau untuk ikut memanfaatkan instrumen keuangan ini.” [rzn/hp (rtr,ap,dpa)]/dw.com/id. []