Nazam Aceh, Sebuah Upaya Membumikan Kearifan Lokal

Perlu terobosan untuk mempertahankan nazam peninggalan orang Aceh. Misal dengan membuat lomba membaca nazam, dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten.
Salah satu salinan nazam dari tangan Markam Hasan (91 tahun), pensiunan tentara, pembaca sekaligus penulis/ penyalin nazam. (fzi)

Aceh Besar, (Tagar 26/2/2018) - Dosen Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Teuku Abdullah atau akrab disapa TA sakti mengatakan sekarang ini orang lebih senang dengan internet, televisi, majalah, radio. Kebiasaan membaca sastra berbasis kearifan lokal Aceh seperti hikayat dan nazam sangat berkurang.

Cerita sebelumnya: Hikayat Aceh, Nazam yang Nyaris Punah 

Sejak tahun 1992 menekuni nazam, TA Sakti melihat nazam paling lengkap adalah Tambeh Tujoh Blah karangan Teungku Di Cucum. Isi Tambeh Tujoh Blah sangat detail.

“Kalau nazam lain bersifat umum, misalnya membahas tentang haram, haram seperti apa tidak dijelaskan. Kalau di sini (Tambeh Tujoh Blah) sangat detail hingga orang mudah memahaminya," ujarnya.

[caption id="attachment_45497" align="alignnone" width="712"]Nazam Aceh Teuku Abdullah Sulaiman (TA Sakti), peminat budaya dan sastra Aceh, penyalin dan pembaca nazam.(fzi)[/caption]

TA Sakti bercerita, nazam bukan hanya ada di Aceh Besar, tapi sudah menyebar di seluruh Aceh.

Dari puluhan nazam yang ia bacakan, yang paling menarik buatnya adalah tentang anak kecil yang berkisah betapa susahnya orang tua mulai dari mengandung, mendidiknya hingga dewasa.

“Sifat anak berkembang bermacam-macam, kasih sayang ibu dan upaya ibu membesarkan itu panjang ceritanya,” paparnya.

TA Sakti mengungkapkan keprihatinan, penulis dan pembaca nazam sekarang nyaris mati, bahkan sejak 1960-an nazam sudah sangat sedikit generasinya.

“Karena itu saya merasa ini sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah Aceh, khususnya pemerintah Aceh Besar,” harapnya.

Ia meminta perlu melaksanakan suatu terobosan untuk mempertahankan nazam peninggalan orang Aceh ini. Misalnya dengan membuat lomba membaca nazam, sekali dalam setahun, dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.

“Setidaknya nazam ini akan bertahan, walau tak semaju dulu. Ini karena zaman sudah berubah. Minimal nazam ini tidak punah,” TA Sakti telah puluhan tahun memperjuangkan hal ini.

Minimal, menurutnya, mesti ada penerus pembaca nazam.

Ia berharap pemerintah Aceh Besar tidak meninggalkan nazam. “Nazam butuh perhatian khusus, karena isinya sangat baik untuk ajaran agama, dan nasehat.”

Mengunjungi Pembaca Nazam

Setelah 45 menit berlalu, TA Sakti keluar dari rumah Teuku Ismail dengan dipapah orang yang mendampinginya. Kondisi fisiknya sudah menurun, namun tak menyurutkan perjuangannya dalam mempertahankan nilai dan budaya Aceh.

[caption id="attachment_45498" align="alignnone" width="712"] Haji Abdurahman (70 tahun), pembaca nazam selama 20 tahun. (fzi)[/caption]

Matahari menyengat siang itu, lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan tak putus-putus. Selanjutnya TA Sakti bersama rombongan meluncur ke makam Syekh Abdussamad atau lebih di kenal Teungku Di Cucum (1269 Hijriah) di Gampong Cucum, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh besar.

Berikutnya rombongan menuju kediaman Haji Abdurahman (70 tahun) di Gampong Lamcie, Kecamatan Kuta Baroe, Aceh Besar. Pria kelahiran 10 juni 1948 itu sudah 20 tahun membaca nazam.

Abdurahman sangat tertarik pada nazam karena penulis nazam bisa memprediksi sesuatu sebelum kejadian.

“Begitulah tinggi agama bagi orang-orang yang menulis nazam,” kata Abdurahman.

Kini pensiunan penjaga sekolah dasar itu kondisi kesehatannya sudah jauh menurun. Namun, ia masih mempertahankan nazam agar tidak mati ditelan masa, dengan cara setahun sekali membacanya di masjid.

“Membaca nazam 5 sampai 6 malam menjelang maulid Nabi, karena nazam banyak menceritakan kisah maulid. Seperti nazam kitab Aqkbarul Naim menceritakan kenikmatan Tuhan dalam Islam dari lahir hingga menuju kematian,” tuturnya.

Mengunjungi Penulis Nazam

Waktu terus melaju, tak terasa jarum jam sudah menunjukan pukul 14.37 WIB. Sesekali saat berjalan TA Sakti menekan tongkatnya dengan kuat, tampak ia mulai merasakan kelelahan. Namun ia tak memberitahu kepada rombongan. Ada satu tempat lagi yang akan dituju, yakni penulis dan pembaca nazam.

[caption id="attachment_45502" align="alignnone" width="712"] Markam Hasan (91 tahun) akrab disapa Pak Lek, pensiunan tentara, pembaca sekaligus penulis nazam. (fzi)[/caption]

Mobil rombongan meluncur di jalanan, sekitar 25 menit tiba di rumah penulis nazam di Gampong Meunasah Intan, Kecamatan Krueng Barona Jaya.

Seorang lelaki berambut kelabu berbaring di tempat tidur. Ia adalah Markam Hasan (91) atau lebih dikenal Pak Lek, pensiunan tentara, pembaca sekaligus penulis atau penyalin nazam.

Dengan kondisinya kini, tak banyak yang ia bisa sampakan. Ia didampingi Yusnidar, anak bungsunya.

[caption id="attachment_45504" align="alignnone" width="712"] Atas kiri adalah Markam Hasan ketika muda dan masih sebagai tentara aktif, jabatan terakhirnya adalah kapten. (fzi)[/caption]

“Pembaca dan penyalin bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain juga,” kata Yusnidar.

Yusnidar bercerita, selama masih tentara aktif maupun sudah pensiun, Markam Hasan sering menghabiskan waktu untuk menulis nazam hingga terkumpul puluhan nazam, dalam bahasa Arab Jawi maupun bahasa latin.(fzi

Berita terkait
0
Indonesia Akan Isi Kekurangan Pasokan Ayam di Singapura
Indonesia akan mengisi kekurangan pasokan ayam potong di Singapura setelah Malaysia batasi ekspor daging ayam ke Singapura