Untuk Indonesia

Musuh Kita adalah Mereka yang Suka Mengkafirkan Orang Lain

Musuh kita adalah mereka yang suka mengkafirkan orang lain. Kiai NU memandang keindonesiaan dan keislaman dalam satu bingkai.
Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Hasil Munas Alim Ulama NU yang melarang menggunakan kata kafir kepada non-muslim adalah upaya untuk meneladani jalan Rasul. Kiai NU memandang keindonesiaan dan keislaman dalam satu bingkai

Oleh: Eko Kuntadhi*

Awalnya dari sebutan kafir. Lalu orang atau kelompok yang ditempelkan sebutan tersebut sering jadi korban persekusi. Bahkan seringkali mendapat perlakuan kurang ajar.

Ketika beribadah mereka mendapat gangguan. Rumah ibadahnya rawan kena serangan. Bahkan dicurigai penyebaran ajaran.

Sebab, mereka yang menyandangkan predikat kafir pada seseorang atau kelompok, pada akhirnya merasa berhak memperlakukan orang tersebut dengan buruk. Alasannya, karena kafir sama dengan musuh.

Kosa kata kafir menjadi tonggak perlakuan tidak adil pada minoritas.

Padahal dalam konteks kehidupan sosial, semua orang harus diperlakukan setara. Kata kafir pernah disematkan kepada kaum penyembah berhala Quraish yang terang-terangan memerangi Rasul. Mereka memusuhi dan memerangi Nabi.

Tapi begitu Nabi memimpin masyarakat Madinah, sebutan kafir tidak digunakan kepada mereka yang tidak memeluk Islam. Mereka adalah anggota masyarakat Madinah. Mereka mendapat perlakuan adil dari Rasul.

Bayangkanlah Indonesia seperti masyarakat Madinah pada zaman Rasul. Semua agama bisa hidup berdampingan. Kaum muslim dan pengikut agama lainnya tidak saling memusuhi. Dalam konteks kehidupan sosial, hak dan kewajibannya setara.

Semestinya, jika kita mengikuti akhlak Rasul, sebutan kafir tidak pantas disematkan kepada semua orang Indonesia apa pun agamanya. Sebab toh, dalam bingkai NKRI kita bisa bergandengan tangan.

Hasil Munas Alim Ulama NU yang melarang menggunakan kata kafir kepada non-muslim adalah upaya untuk meneladani jalan Rasul. Kiai NU memandang keindonesiaan dan keislaman dalam satu bingkai.

Jadi betapa lucunya jika kehidupan sosial kita banjir oleh term-term agama yang menyakiti pihak lain.

Jika kita urut, kata kafir memang sering digunakan oleh mereka yang meyakini ideologi garis keras. Para islamis (Islam politik) menggunakan kosa kata kafir untuk membangkitkan kebencian kapada non-muslim.

Bahkan bukan saja pada mereka yang berbeda agama sebutan kafir disematkan. Belakangan malah ditujukan bagi siapa saja yang tidak sependapat meski satu agama. Kata kafir jadi semacam jalan masuk untuk memerangi orang lain.

Mereka inilah yang sekarang mengecam kesimpulan NU tersebut. Mereka ingin tetap mempertahankan terminologi kafir agar bisa terus-menerus memompakan kebencian. Sebab mereka memang tidak mengenal Islam sebagai agama kasih sayang.

Ikhtiar NU untuk menghindari kosa kata kafir dalam pergaulan sosial adalah langkah indah menciptakan kerukunan. Juga sebagai perekat semua elemen anak bangsa untuk bisa bergandengan tangan atas nama Indonesia.

Meski NU memulai dari jalur budaya tampaknya ikhtiar itu disambut oleh semua anak bangsa yang merindukan kehidupan yang damai. PSI sebagai partai yang mengusung perjuangan toleransi menyambut seruan NU tersebut.

Usaha berikutnya adalah melembagakan fatwa NU ini dalam aturan yang lebih praksis. Kata kafir harus sudah dihapus dari kurikukum pelajaran agama, kecuali untuk menggambarkan musuh langsung pada zaman Nabi. Sehingga anak-anak sekolah tidak terbiasa lagi memandang temannya yang beda agama dengan sudut negatif.

Di tengah menguatnya populisme Islam Indonesia memerlukan kearifan yang luar biasa. Untuk menjaga wadah bangsa ini dari rongrongan ideologi impor yang terasa mengganggu.

NU sudah memulai langkah besar. PSI sudah menyambutnya. Tinggal semua elemen bangsa yang mencintai Indonesia untuk terus mensosialisasikannya.

Tidak ada lagi kafir di Indonesia. Sebab mereka yang berbeda iman adalah saudara kita dalam kemanusiaan.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.