Untuk Indonesia

Menunggu Bom Bunuh Diri Lagi di Indonesia

Berbondong-bondong warga muslim di Kabul Afghanistan datang ke masjid, tiba-tiba blarrr... sebuah bom meledak.- Ulasan Denny Siregar
Anggota keamanan Afghanistan menyelidiki lokasi serangan bom bunuh diri yang terjadi di Kabul, Afganistan, Rabu (21/11/2018). (Foto: Antara/Reuters/Omar Sobhani)

Oleh: Denny Siregar*

Berbondong-bondong warga muslim di Kabul Afghanistan datang ke masjid.

Mereka hendak merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Lantunan salawat dan pembacaan Alquran pun bergema. Ini hari besar, hari kelahiran junjungan umat muslim sedunia.

Tiba-tiba... blarrr... sebuah bom meledak ditengah-tengah hadirin. 50 orang tewas seketika. 80 lainnya luka-luka. Afghanistan menjadikan tanggal 21 November 2018 itu sebagai hari berkabung nasional.

Siapakah yang melakukan bom bunuh diri itu? Apakah penganut agama lain yang tidak suka agama Islam? Bukan. Pelaku adalah mereka yang juga beragama Islam, tapi berkeyakinan bahwa peringatan maulid Nabi itu tidak boleh dilakukan. Di Islam dikenal dengan sebutan bid'ah.

Mengerikan. Bagaimana seorang muslim begitu tega membunuh saudara muslimnya sendiri karena berbeda pandangan. "Pengantin" atau pelaku bom bunuh diri itu berkeyakinan bahwa ia akan masuk surga karena sudah membunuh saudara sesama muslimnya yang "darahnya halal".

Ini bukan kejadian baru di Afghanistan, apalagi di Timur Tengah. Suriah bahkan harus berperang 7 tahun lamanya demi menghadapi paham radikal ini. Akhirnya pemerintah Suriah sepakat untuk melarang "ulama-ulama" radikal yang ceramahnya memicu perang sektarian.

Bagaimana dengan Indonesia?

Badan Intelijen Negara BIN memaparkan bahwa ada 41 masjid di lingkungan pemerintahan yang terpapar radikalisme. Bukan itu saja, 7 Perguruan Tinggi Negeri juga sudah tersusupi radikalisme agama. Bahkan 39 persen mahasiswanya setuju dengan adanya radikalisme. Lembaga survei Alvara Research malah mengabarkan bahwa 19 persen Pegawai Negeri Sipil ditemukan anti Pancasila.

Indonesia selama ini belum bersikap tegas terhadap radikalisme berbaju agama. Usaha kepolisian masih sebatas menangkapi pelaku teror, belum berupaya mencegah terjadinya teror. Masih banyak ditemukan ceramah-ceramah agama yang bersifat kekerasan hilir mudik di media sosial. Dan pendukungnya juga banyak.

Saya pernah menulis sejak lama bahwa jika pemerintah negeri ini komitmen menjaga Indonesia dari paham radikal, bersihkan dulu masjid-masjid di BUMN, Kementerian dan aset-aset pemerintah lainnya dari paham radikal. Dan kunci utama di semua itu ada di takmir atau pengelola masjid. Mereka inilah yang punya kuasa mengundang penceramah di masjid.

Libatkan NU dan Muhammadiyah dengan satu komitmen, menjaga negeri ini dari pengaruh ulama radikal. Pemerintah tidak bisa sendirian, karena yang bisa mengendus radikalisme di dalam masjid adalah kedua ormas besar itu. Buat satu tim dengan kesepakatan bersama.

Kalau halaman pemerintah sendiri belum bersih, lalu bagaimana berharap rumah Indonesia ini tidak kotor?

Radikalisme agama di negeri ini harus menjadi perhatian khusus pemerintah, terutama di lingkungan sendiri. Jangan menunggu seperti Afghanistan apalagi Suriah. Terlalu mahal biayanya.

Sejatinya Tuhan masih sayang pada Indonesia. Kita diberi banyak pelajaran oleh negeri-negeri yang terkena dampak terorisme yang berawal dari paham radikal. Korbannya bukan beda agama, bahkan mereka yang satu agama sekalipun. Karena radikalisme tidak memandang agamanya apa, mereka berdiri sendiri karena menganggap apa yang mereka yakini yang paling benar.

Pertanyaannya, maukah Indonesia belajar dari kejadian yang ada?

Seruput dulu kopinya....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Langkah Emma Raducanu Terhenti di Babak Kedua Wimbledon 2022
Petenis Inggris, Emma Raducanu, unggulan No 10, dikalahan petenis Prancis, Caroline Garcia, di babak kedua grand slam Wimbledon 2022