Mengingat Tajug Pejlagrahan Masjid Tertua di Cirebon

Masjid itu bernama Masjid Pejlagrahan, atau dikenal juga dengan nama Tajug Pejlagrahan. Lokasinya berada di Jalan Gambirlaya, Cirebon.
Suasana di Masjid Pejlagrahan, atau dikenal juga dengan nama Tajug. Lokasinya berada di Jalan Gambirlaya atau di sebelah timur komplek Dalem Agung Pakungwati, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Tagar/Yohanes VF Charles)

Cirebon - Sekilas bangunan masjid berukuran tidak terlalu besar itu biasa saja. Bentuk bangunannya tidak megah. Pintu besi berwarna hijau menempel pada pagar tembok berwarna putih.

Pintu masuk ke dalam area salat di dalam masjid terbuat dari kayu berukir berwarna cokelat, dengan motif ukiran khas Cirebon.

Sementara di bagian dalam masjid, terlihat beberapa perlengkapan salat, serta beberapa peralatan elektronik untuk pengeras suara saat azan.

Mimbar masjid itu terbuat dari kayu jati, begitu juga dengan pintu kecil masjid, serta tiang-tiang atau saka dan ukirannya.

Pada salah satu tiang saka juga tertulis naskah kuno dengan huruf Arab, namun berbahasa Jawa.

Pada bagian samping, satu menara besi sebagai tempat pengeras suara berdiri kokoh. Dari situlah suara azan berkumandang di sekitar masjid.

Masjid itu bernama Masjid Pejlagrahan, atau dikenal juga dengan nama Tajug Pejlagrahan. Lokasinya berada di Jalan Gambirlaya atau di sebelah timur komplek Dalem Agung Pakungwati, Cirebon, Jawa Barat.

Awalnya bangunan asli Masjid Pejlagrahan berukuran 8x6, dengan memiliki 3 pintu, yakni pintu utama dan dua pintu lain di sebelah kiri dan kanan.

Setelah direnovasi, masjid itu menjadi lebih luas dan kokoh, sehingga bisa menampung lebih banyak jemaah.

Nama masjid itu mungkin tidak seterkenal salah satu ikon Kota Cirebon, yakni Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati dibantu oleh delapan wali di Pulau Jawa lainnya.

Tapi, masjid itu merupakan masjid pertama yang berdiri di Cirebon. Setidaknya masjid itu adalah masjid pertama yang digunakan untuk beribadah salat Jumat oleh warga di sana.

Berdasarakan penjelasan dalam Kitab Negara Kertabumi karya Pangeran Wangsakerta, disebutkan bahwa saat awal berdiri Pedukuhan Caruban yang saat ini dikenal dengan nama Cirebon. dihuni oleh 52 orang penduduk.

Pedukuhan yang saat itu bernama Kebon Pesisir,juga dihuni oleh Ki Danusela atau Ki Gedeng Pekalangan, yang kemudian dipilih untuk menjadi kuwu atau kepala desa pertama di tempat itu.

Sementara, Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi, yang mendirikan pedukuhan itu, diangkat menjadi Pangraksa Bumi.

Mereka bersama warga pedukuhan tersebut kemudian mendirikan Masjid Pejlagrahan, agar bisa menunaikan salat Jumat berjamaah, mengingat salah satu syarat pelaksanaan salat Jumat berjamaah adalah jumlah makmum minimal 40 orang.

Pejlagrahan sendiri berarti tempat peristirahatan atau persinggahan.

Kisah itu juga disampaikan oleh budayawan dari Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), Uki Marzuki,

Kata Uki, Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, yang juga kerap disebut sebagai Mbah Kuwu Sangkan ini dikenal memiliki kemampuan dalam bidang tata negara dan strategi.

Atas pertimbangannya pula, akhirnya warga di tempat itu memrioritaskan pembangunan rumah ibadah berupa masjid di kampung mereka, bukan mendirikan sarana atau prasarana lain. Hal itu berdasarkan pertimbangan strategis dan efesiensi.

"Dengan alasan, disamping berfungsi sebagai sarana ibadah juga sebagai tempat berkumpul atau musyawarah warga pedukuhan," ungkap Uki, Selasa 11 Agustus 2020.

Selanjutnya, pada 1452 dibangunlah masjid atau tajug tersebut, letaknya berada tepat di belakang kediaman Pangeran Cakrabuana, atau di belakang Keraton Pakungwati dan dikenal dengan nama Tajug Pejlagrahan.

Setelah masjid tersebut selesai dibangun, selain difungsikan sebagai tempat ibadah, masjid itu juga mejadi semacam kantor atau sekretariat kuwu sekaligus tempat pertemuan warga.

Terbentuknya sistem pemerintahan dengan sendirinya diperlukan infrastruktur yang menopang jalannya pemerintahan, seperti kantor kuwu atau tempat pertemuan warga.

Strategi membangun rumah ibadah sebagai sarana prioritas, lanjut Uki, karena Pangeran Cakrabuana memiiki pandangan bahwa pembangunan masjid bukan hanya sector fisik semata, tetapi pembangunan masjid juga merupakan langkah dalam membangun manusianya.

Cerita Masjid Pejlagrahan Cirebon 2Ukiran kayu jati yang ada di pintu masuk Masjid Pejlagrahan, di Jalan Gambirlaya atau di sebelah timur komplek Dalem Agung Pakungwati, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Tagar/Yohanes VF Charles)

“Langkah pertama membangun tajug memiliki kontruksi pemikiran yang mendasar, di mana tajug atau masjid merupakan sentralistik pembangunan manusia (character building), disamping sebagai pusat dakwah penyebaran agama Islam,” tutur Uki.

Seiring perkembangan zaman, setelah ratusan tahun berlalu sejak awal dibangunnya Masjid Pejlagrahan, kondisi fisik masjid perlahan mulai berubah, terlebih daerah itu pun akhirnya menjadi kawasan padat penduduk.

Meski secara fisik sudah ada perubahan pada beberapa bagian luar masjid, namun bentuk bagian dalam masjid masih dipertahankan. Demikian pula dengan beberapa benda pusaka yang usianya mungkin seumuran dengan masjid tersebut, masih tersimpan dan dirawat dengan baik.

Sumur Bertuah

Seperti sebagian besar lokasi yang memiliki bangunan berusia ratusan tahun, ada hal-hal berbau mistis yang saat itu dipercaya oleh warga setempat.

Di Masjid Pejlagrahan terdapat dua sumur yang dipercaya memiliki tuah-tuah tertentu, mulai dari buang sial, awet muda, gampang jodoh, dan lain-lain sesuai dengan keinginan dan keyakinan masing-masing orang yang mandi di situ.

“Keberadaan Tajug Pejlagrahan merupakan destinasi religi yang memiliki akar sejarah yang luhur. Di situs Tajug Pejlagrahaan, di samping bangunan tajug pertama juga terdapat sumur yang diyakini memiliki petuah yaitu Sumur Kapilayu dan Sumur Panglipur,” ujar Uki.

Namun perlahan pamor Masjid Pejlagrahan meredup, khususnya jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan masjid lain, terutama Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai masjid resmi Kesultanan Islam Cirebon, yang dibangun pada tahun 1498, atau selisih 46 tahun dari pembangunan Masjid Pejlagrahan.

Orang-orang mulai melupakan sejarahbahwa masjid itulah titik awal sejarah perkembangan agama Islam di Cirebon.

"Pamor Masjid Paelagrahan untuk sekarang banyak yang gak tau bahkan hilang dari ingatan, padahal dulu ini merupakan bangunan sejarah bagi perkembangan agama islam di Cirebon," ujar Uki menambahkan.

Meski demikian masih ada juga peziarah yang mengingat masjid ini. Biasanya mereka datang pada bulan suci Ramadan. Selain melakukan ibadah salat berjamaah, tidak jarang mereka melakukan itikaf di masjid itu.

"Kalau bulan Ramadan di Masjid Pajlagrahan masih banyak sering dikunjungi peziarah untuk beritikaf karena di masjid itu sangat nyaman," ujar Uki lagi.

Ia berharap Masjid Pajlagrahan kembali diingat sebagai bangunan yang memiliki nilai lebih oleh masyarakat dan pemerintah, karena keberadaaan masjid ini membawa peradaban baru di Cirebon.

"Saya pribadi berharap masyarakat dan pemerintah Kota Cirebon mengingat kembali masjid yang membawa peradaban baru di Cirebon," kata Uki. []

Berita terkait
Rasa dan Ketelitian Dalam Secangkir Kopi Bantaeng
Unuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat, dibutuhkan perasaan dan ketelitian, khususnya dalam proses sangrai atau roasting dan penyeduhan.
Serunya KKN Pulang Kampung di Karo Sumatera Utara
Selalu ada cerita yang mengiringi kuliah kerja nyata (KKN), mulai dari cerita seram, cerita menyenangkan, maupun cerita yang lucu.
Rajah Seumapa, Mantra Pengobatan Anak di Aceh
Warga Aceh Barat Daya memiliki mantra pengobatan yang disebut rajah seumapa. Rajah ini biasanya digunakan untuk mengobati anak kecil