Mengakhiri Takdir Gelap: Fenomena Ibu Bunuh Anak lalu Bunuh Diri

Ibu yang memiliki pemikiran bunuh diri sangat kuat, berpikir bahwa lebih baik anaknya mati daripada harus menghadapi dunia yang kejam sendirian tanpa dirinya.
Ilustrasi (ist)

Jakarta, (Tagar 25/2/2018) – Seorang ibu pada Rabu pagi, 21 Februari 2018 meracuni tiga anak kandungnya dengan racun serangga kemudian ia mencoba mengakhiri hidup dengan sebilah pisau.

Ibu itu berinisial Ni LPSP (33 tahun), seorang guru sekolah dasar. Ia memiliki tiga anak kandung, Ni Putu DMPD (6 tahun), Made MLP (4 tahun), dan Nyoman KP (2 tahun).

Aksi meracun anak hingga meninggal kemudian bunuh diri itu ia lakukan ketika sedang menginap di rumah orang tuanya di sebuah desa di Gianyar, Bali.

Di dalam kamar Ni LPSP ditemukan dalam keadaan kritis di antara tiga anaknya yang terbujur kaku dengan mulut berbusa. Mereka kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Ganesha Gianyar, Bali. Namun terlambat, ketiga anaknya sudah meninggal. Tim medis kemudian merujuk Ni LPSP ke Rumah Sakit Dharma Yadnya, Denpasar, sementara tiga anaknya dikirim ke kamar jenazah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sanglah.

Kasus tersebut kini sedang ditangani kepolisian setempat.

Seminggu sebelumnya, tepatnya Rabu 14 Februari 2018 di Jepang seorang ibu berusia 36 tahun ditemukan bunuh diri setelah membunuh anak perempuannya yang berusia 8 tahun.

Sekitar pukul 07:00 pagi waktu setempat, polisi mendapat laporan tentang penemuan mayat ibu dan anak perempuan tersebut. Keduanya terbaring tanpa nyawa di kasur futon di sebuah rumah yang terletak di Minato Ward.

Polisi menjelaskan, bagian atas dari tubuh sang anak mengalami pendarahan akibat luka parah. Tidak ada informasi yang diberikan mengenai kondisi tubuh sang ibu.

Pintu depan rumah si ibu dalam keadaan terkunci dan bagian dalam rumah tidak menunjukkan tanda-tanda telah diganggu.

Ibu itu berbagi tempat tinggal dengan kedua anak perempuannya, sedangkan keluarga kerabat mereka tinggal di gedung sebelahnya.

Anak perempuan tertuanya yang menemukan jenazah ibunya dan adiknya setelah terbangun di ruang terpisah pada pagi hari. Ia kemudian memberitahu kerabatnya yang tinggal di samping rumahnya.

Polisi menduga si ibu membunuh anak perempuannya sebelum bunuh diri.

Sebelumnya pada Selasa 16 Januari 2018 Jombang membuat “semua orang” terhenyak dengan peristiwa seorang ibu yang mengajak tiga anaknya bunuh diri bersama-sama dengan menenggak cairan obat pembasmi nyamuk.

Ibu itu berinisial ESA (26 tahun), dan tiga anak kandungnya: SM (laki-laki, 6 tahun), BV (perempuan, 4 tahun), dan UF (perempuan, 4 bulan). Tiga tahun terakhir ESA bersama tiga anaknya tinggal di rumah orangtuanya di sebuah desa di Jombang, Jawa Timur.

Hari itu sepulang kuliah adik ESA menemukan tiga keponakannya terbaring tanpa nyawa di lantai kamar mandi, sementara ESA, kakaknya dalam kondisi kritis.

Keempatnya kemudian dilarikan ke rumah sakit.

Adik ESA dan warga melaporkan peristiwa tersebut pada aparat kepolisian karena menemukan botol obat pembunuh nyamuk 600 mililiter isi tinggal 2/3.

Dalam perkembangannya tim dokter menyampakan kondisi ESA membaik, dan sepertinya ia harus menghadapi jerat hukum sebagai pembunuh anak-anaknya. Spekulasi seputar latar belakang ESA sempat sangat ramai menjadi bahasan media.

Melihat Realitas Serupa di Negara Lain

“Perilaku pembunuhan anak oleh orang tua dikenal sebagai filicide. Perilaku filicide sendiri dapat terjadi tanpa diakhiri dengan bunuh diri. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa baik laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu) dapat melakukan filicide,” jelas Benny perwira, pendiri Into The Light, komunitas peduli pencegahan bunuh diri.

Berdasarkan riset yang dilaksanakan di Amerika dan Kanada, kasus pembunuhan anak oleh orang tua yang berakhir bunuh diri dikenal sebagai filicide-suicide. Terdapat sekitar 16% - 29% ibu dan 40-60% ayah melakukan filicide-suicide. Dalam kasus ayah, sekitar 65% juga melakukan membunuh seluruh keluarga, termasuk pasangannya (familicide), sementara dalam kasus ibu tidak ditemukan yang melakukan familicide.

Berdasarkan riset di Inggris dan Wales pada rentang tahun 1997-2006 terdapat setidaknya 297 orang yang melakukan filicide dan 45 di antaranya melakukan filicide-suicide. 66% dari kasus filicide dilakukan oleh ayah. Terdapat riwayat gangguan jiwa lebih tinggi pada ibu yaitu sebesar 66% dibandingkan 27% ayah yang melakukan filicide. Namun hanya sekitar 20% dari keseluruhan kasus pernah mengunjungi pelayanan kesehatan jiwa dan hanya 12% melakukannya pada tahun yang sama dengan kejadian filicide.

Dalam kasus ibu yang membunuh anaknya sebelum membunuh diri (maternal filicide-suicide), ditemukan banyak faktor risiko terkait gangguan jiwa seperti gangguan psikotik, depresi, kecenderungan bunuh diri dan riwayat pelayanan kesehatan jiwa sebelumnya.

Mengenai motif pembunuhan anak oleh ibu yang berakhir bunuh diri, ibu dengan gangguan jiwa khususnya psikotik cenderung berpikir bahwa anaknya hanya akan memiliki masa depan atau takdir yang gelap. Ibu yang memiliki pemikiran bunuh diri sangat kuat, berpikir bahwa lebih baik anaknya mati daripada harus menghadapi dunia yang kejam sendirian tanpa ibunya.

Kedua motif itu dianggap sebagai motif pembunuhan anak yang altruistik. Motif altruistik ini seringkali ditemukan pada kasus maternal filicide-suicide. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata umur korban anak dari maternal filicide-suicide adalah 6 tahun.

Di Indonesia Belum Ada Riset Komprehensif

Dalam konteks Indonesia, menurut Benny, belum ada riset komprehensif terkait perilaku filicide, filicide-suicide ataupun maternal filicide-suicide yang ditemukan dari Indonesia, sehingga sulit menentukan jumlah kasus (prevalensi), faktor risiko, faktor pelindung, hingga dinamika psikologis terkait kasus-kasus yang terjadi di Indonesia.

Dalam skala global, WHO sejak tahun 2000 memposisikan gangguan depresif di urutan keempat penyakit di dunia. Diperkirakan jumlah penderita gangguan depresif semakin meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia pada 2020.

Melihat seriusnya masalah terkait penyakit kejiwaan ini, Benny menyampaikan beberapa hal ditujukan pada orang tua, profesional kesehatan jiwa, masyarakat, media, dan para akademisi.

Orang tua agar melakukan pengecekan kesehatan jiwa secara berkala, terutama ketika ibu atau ayah berada dalam kondisi stres yang signifikan. Bagi ibu dalam kondisi hamil dengan riwayat gangguan jiwa seperti psikotik dan depresi sebelumnya diharapkan lebih sering berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater apabila mengalami kecemasan, perubahan suasana hati, dan mengalami hal-hal tidak nyaman secara psikologis lainnya.

Kalangan profesional kesehatan jiwa dalam mencegah maternal filicide-suicide, sangat penting untuk melakukan deteksi dini dan identifikasi gangguan jiwa di masa sebelum dan sesudah kelahiran. Ibu dengan gangguan psikotik yang memiliki waham kejar dapat dipisahkan dari anak untuk sementara dan atau dihospitalisasi. Adanya waham kejar sehubungan dengan anak dapat menjadi faktor risiko untuk ibu berpikir bahwa anaknya tidak akan memiliki masa depan yang baik sehingga memicu filicide-suicide.

Ibu dengan depresi, terutama yang juga memiliki kecenderungan bunuh diri dapat ditanyakan mengenai nasib anak mereka jika mereka meninggal akibat bunuh diri. Jawaban dapat bervariasi dari pasangan yang ditinggalkan akan dapat menjaga anak mereka atau turut membawa anaknya bersama mereka ke surga atau keluar dari dunia yang kejam. Setiap ancaman mengenai keselamatan anak dan bunuh diri ini harus ditangani dengan serius.

Masyarakat, dikarenakan adanya kemungkinan bahwa gangguan kejiwaan pasca melahirkan pada ibu setelah keluar dari rumah sakit, maka masyarakat perlu lebih peka terhadap gejala gangguan kejiwaan yang mungkin muncul dan berpotensi pada maternal filicide-suicide. Selain itu masyarakat juga perlu menghentikan stigma terhadap kasus terkait agar tidak menghambat upaya pencarian pertolongan dari ibu dengan riwayat gangguan jiwa, terutama yang memiliki kecenderungan bunuh diri dan filicide-suicide.

Media agar tidak menyebutkan identitas seperti nama dan alamat, detail metode, asumsi penyebab tunggal, dari ibu atau ayah yang membunuh anak lalu membunuh dirinya sendiri. Selain itu media juga perlu memberikan lebih banyak informasi terkait kesehatan dan gangguan jiwa mengenai kasus filicide-suicide serta menghindari framing kriminal dalam kasus-kasus tersebut.

Hal itu penting untuk menghindari stigmatisasi lebih lanjut terhadap gangguan jiwa secara umum, selain juga melindungi anggota keluarga yang ditinggalkan dari stigma di masyarakat. Pemberitaan yang sehat dan aman juga dapat melindungi orang dengan gangguan depresi dari pemikiran bunuh diri akibat terpapar metode bunuh diri yang terlalu jelas.

Para akademisi agar melakukan lebih banyak pengkajian terkait perilaku filicide, filicide-suicide terutama maternal filicide-suicide serta stigma dan akses kesehatan jiwa dari kelompok berisiko. Pengkajian yang sesuai dengan konteks Indonesia dapat menjadi dasar untuk pencegahan dan intervensi yang lebih khusus dan tajam untuk populasi di Indonesia.

Siti Afifiyah

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.