Untuk Indonesia

Mengacung Telunjuk Jadi Lebih Adem

'Di tangan pendukung Jokowi, hilang sudah simbol-simbol kegarangan dari tulunjuk yang mengacung.' - Eko Kuntadhi
Jokowi-Ma'ruf mendapat nomor urut 1, Prabowo-Sandi mendapat nomor urut 2, dalam pengundian nomor urut pilpres di KPU, Jumat malam (21/9/2018). (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Baru saja semalam KPU memastikan nomor urut pasangam Capres. Pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat nomor urut 01. Sedangkan Prabowo-Sandi nomor urut 02. Kenapa harus pakai angka '0' di depannya? Agar tidak tertukar dengan nomor urut Partai.

Ada kisah sebelum mengambil  nomor urut ini, Jokowi bicara kepada Prabowo untuk mengusulkan menggunakan tambahan angka '0' di depan angka. Cuma berkali-kali diterangkan Prabowo gak mudeng.

"Terserah saja, mau diundi atau gak?" jawab Prabowo. Dia berpikir penjelasan Jokowi itu untuk membatalkan pengundian.

Ini bukan gak mau diundi. Tapi disepakati menambah angka '0' di belakang nomor urut Capres. Diundi, sih, tetap diundi. Tapi rupanya Prabowo gak juga menangkap maksud Jokowi. Lalu Megawati yang kebetulan mendampingi proses pengambilan nomor urut itu bersama ketua partai lainnya sempat menerangkan. Eh, gak nyambung juga. Sandiaga juga memberi penjelesan kepada Capresnya.

Tapi entahlah, bagaimana akhirnya dipahami oleh Prabowo. Intinya Jokowi hanya mau fair, agar nomor urut Capres berbeda dengan nomor urut partai.

Itu sekadar background. Yang pasti pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapat nomor urut 01. Kita melihat wajah Prabowo kurang sumringah ketika mengangkat nomor 02. Entah apa sebabnya.

Tapi jika dilihat dari susunan juru kampanye tim Prabowo-Sandi, kita akan dapati banyak nama-nama yang selama ini hobi mengacungkan satu jari telunjuk untuk menunjukan simbol tauhid. Mirip gaya foto kelompok radikal di Syuriah. Coba perhatikan siapa saja yang akan menjadi juru kampanye Prabowo.

Ada nama Bahtiar Nasir, penceramah agama yang pernah disinyalir Polri membantu teroris Syuriah melalui sumbangan yang dikumpulkan dari Indonesia. Bantuan dari Bahtiar Nasir dinikmati para teroris yang justru sedang meluluhlantakkan kehidupan di Syuriah.

Ada juga Al Khathath, nama sebetulnya sih, Gatot. Alumni IPB ini adalah mantan aktivis HTI. Dia gencar menyuarakan tegaknya khilafah di Indonesia. Tujuan perjuangannya adalah menghabisi Indonesia lalu diganti dengan khilafah dunia. Jadi Indonesia hanya akan dijadikan sekelas kecamatan dalam cita-cita besar Al Khattath ini.

Nama lain yang menjadi tim kampanye Prabowo adalah Tengku Zulkarnaen. Ini adalah lelaki bergamis yang pernah meminta Ahok untuk dipotong tangan dan kakinya, sebelum dipenggal kepalanya. Teriakan itu disampaikan pada acara ILC di TVOne. Disaksikan oleh rakyat Indonesia.

Orang-orang model begini sejak dulu selalu suka berfoto dengan mengangkat satu jari telunjuk. Katanya menggambarkan tauhid. Bukan hanya mereka. Rata-rata teroris ISIS, Al Qaedah dan kelompok garis keras lainnya juga senang berpose seperti itu. Lengkap dengan senjata dan wajah yang ganas.

Tapi kini dalam Pilpres 2019 Jokowi-Ma'ruf mendapat nomor urut 1. Nomor urut ini bisa diekspresikan dengan mengangkat satu jari telunjuk. Makna pose satu jari telunjuk yang biasa digunakan pengikut ISIS atau Al Qaedah, kini bisa jadi gak lagi bermakna gahar dan terkesan eksploitasi terhadap agama.

Kita bayangkan kebanyakan pendukung Jokowi itu orang-orang yang nyantai dan kreatif. Gaya foto satu jari yang tadinya serius dan gahar, akan jadi lebih receh dan renyah. Hilang sudah simbol-simbol kegarangan dari tulunjuk yang mengacung.

Tentu kita berharap, berkah Tuhan yang membolak-balik nomor urut ini semakin mengarahkan Pilpres menjadi pagelaran yang menyenangkan. Bukan lagi diisi oleh jargon-jargon agama yang memecah belah.

Yang perlu diingat, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar yang mampu menggelar pesta demokrasi begitu bebas dan terbuka. Sementara banyak negara berpenduduk muslim babak belur sekadar untuk menegakkan demokrasi di negaranya.

Keberhasilan proses demokrasi di Indonesia akan membuka mata dunia, khususnya dunia Islam, bahwa agama tidak harus berhadapan dengan sistem demokrasi. HIzbut Tahrir boleh saja mencerca demokrasi sebagai sistem setan. Tapi toh, yang bisa mereka lakukan hanya merusak negara mana saja yang mereka singgahi. Sementara Indonesia perlu dijaga dari infliltrasi ideologi kebencian seperti itu agar kita semua bisa menikmati kehidupan masa depan dengan baik.

Orang-orang yang selama ini membenci demokrasi. Orang-orang yang selama ini ingin menggelar sistem negara yang memakai simbol-simbol agama, banyak berdiri di belakang Prabowo-Sandi. Mereka jadi juru kampanye.

Kita mengkhawatirkan Pilpres kali ini akan banyak lagi diisi dengan ujaran kebencian di masjid-masjid. Cukup Pilkada Jakarta sebagai pelajaran.

Kita berharap, masyarakat semakin dewasa. Pilpres hanya gelaran lima tahunan. Jangan kita rusak masa depan bangsa dengan perpecahan hanya karena libido berkuasa yang memuncak.

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.