Menapaktilasi Nabi Ibrahim

Menapaktilasi Nabi Ibrahim dalam prosesi haji di Tanah Suci Mekkah.
Menapaktilasi Nabi Ibrahim | Ilustrasi. (Foto: World Folklore Photographers Association)

Mekkah, (Tagar 20/8/2018) - Berbicara ibadah umat Islam di Indonesia selalu terkait dengan dimensi waktu utama beribadah, sementara saat wukuf di Padang Arafah ada tambahan ruang.

Sebagai contoh lain soal dimensi ruang dan waktu beribadah, keutamaan atau fadilah salat di Indonesia ada pada ketepatan waktu untuk mengerjakannya. Pahalanya dapat berlipat jika mengerjakan salat di waktu yang benar.

Gambaran lain, umat Islam memiliki keutamaan waktu pada sepertiga malam untuk melakukan salat sunah tahajud. Tapi jika di Indonesia fadilah itu berhenti pada konteks waktu saja.

Di Mekkah, seorang muslim bisa berlipat pahalanya saat melakukan salat tepat waktu dan di tempat yang juga mustajab seperti di Masjidil Haram. Dimensi ibadah dalam ruang dan waktu bisa didapat di salah satu tempat suci tersebut.

Ketua Bidang Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi mengajak setiap umat Islam yang berkesempatan untuk berhaji agar memanfaatkan dimensi ruang dan waktu dalam berhaji terutama saat menjalankan rukun haji wukuf di Arafah.

Dalam dimensi ruang dan waktu itu dia mencontohkan dua rakaat salat di Masjidil Haram itu memiliki pahala yang sama dengan 100 ribu rakaat salat di masjid lain. Betapa lipatannya banyak dan tidak ada di tempat lain.

"Kalau di Masjidil Haram atau di Padang Arafah dimensi waktu dan ruang bertemu. Fadilah di Arafah itu berlipat-lipat," kata dia mengutip Antara.

Dia mengatakan fadilah ruang dan waktu itu telah dirintis oleh Nabi Ibrahim AS yang mengajarkan tauhid dan Muhammad SAW menyempurnakannya di kemudian hari dengan Islam.

Maka dari itu, Masduki berpesan kepada umat Islam agar selalu memanfaatkan waktu sebaik-baniknya untuk beribadah selagi di Tanah Suci.

"Ini adalah kesempatan Anda. Anda belum tentu bisa berhaji lagi. Gunakan ruang dan waktu itu yang memiliki kelipatan-kelipatan. Ada rahasia-rahasia Allah," kata dia.

Selintas Wukuf 

Wukuf merupakan salah satu rukun haji. Rukun adalah amalan-amalan yang harus dilakukan, sementara dengan meninggalkan salah satunya berarti tidak sah ibadah itu.

Wukuf secara bahasa artinya berhenti. Secara terjemahan bebas, wukuf di Padang Arafah adalah sebuah amalan jamaah calon haji untuk berhenti dan berkumpul di Padang Arafah.

Adapun rukun haji harus dilakukan secara tertib mulai dari ihram (niat berhaji sesudah mengenakan kain ihram, wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah (mengelilingi Kakbah), sa'i (lari-lari kecil di Shafa-Marwa) dan tahalul (bercukur).

Wakil Amirul Hajj Indonesia Dadang Kahmad mengatakan wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijah atau bertepatan dengan 20 Agustus untuk tahun ini merupakan inti dari ibadah haji.

Pelaksanaan wukuf, kata dia, dilakukan pada waktu Dzuhur sampai terbenamnya matahari pada 9 Dzulhijah.

"Ini inti wukuf Arafah. Haji itu Arafah. Ini merupakan jambore perkemahan besar dihadiri 3,5 juta muslim sedunia untuk zikir, salat, mendengarkan kutbah bersama meminta ampun Allah," kata Dadang yang merupakan delegasi Amirul Hajj perwakilan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dadang mengatakan terdapat beberapa hal yang bisa diambil dari prosesi wukuf di Arafah.

Pertama, kebersamaan. Umat Islam akan ada dalam satu identitas dan pakaian ihram di Arafah serta kesemuanya dalam bingkai meraih ketaqwaan kepada Allah SWT.

Di Arafah, kata dia, akan menjadi refleksi miniatur pascakebangkitan manusia setelah mati di Padang Mashar kelak. Kain ihram akan menjadi contoh pakaian yang digunakan jasad seorang muslim saat dibalut kain kafan kala menjadi jasad tak bernyawa.

Kedua, prosesi berhaji memiliki rangkaian yang ketat terkait waktu. Jika terlambat maka ibadah haji tidak akan berfaedah. Maka, Muslim harus memaknai itu. Sebaik-baiknya muslim itu bisa mengatur waktu.

"Orang sukses diatur waktu. Orang malas itu yang mengatur waktu. Agar disiplin. Arafah ini harus memiliki efek panjang setelah berhaji," kata dia.

Untuk memperoleh faedah-faedah berhaji, Dadang selalu mengingatkan saat wukuf jamaah harus bisa memilah dan memilih agar yang mereka lakukan adalah kegiatan yang bermanfaat.

"Jangan banyak keluar karena panas, di dalam tenda di Arafah zikir, istighfar dan lakukan perbaikan-perbaikan lain. Insya Allah mabrur mabruroh, kalau tidak serius maka ibadah haji bisa tidak bermakna," kata dia.

Napak Tilas

Sementara itu, haji sebagai ibadah untuk meraih hubungan yang baik dengan Allah, tentu tidak akan lepas dari hubungan dengan manusia.

Haji yang menapaktilasi peristiwa Nabi dan Rasul itu juga mengajarkan tentang kemanusiaan.

Masduki Baidlowi mengatakan dalam amalan wajib haji terdapat prosesi lempar batu atau jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap godaan setan.

Jumrah itu menapaktilasi momentum saat Nabi Ibrahim AS digoda setan ketika mendapat perintah Allah untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail AS. Setan berupaya membuat ragu sang bapak para nabi itu agar tidak mengorbankan buah hati kesayangannya tersebut.

Tapi Ibrahim melawan godaan itu dengan melempar batu ke arah setan. Setan selalu menggoda manusia. Hingga akhirnya dia tetqp bisa melawan godaan setan dan menaati untuk menyembelih Ismail meski kemudian Allah ganti menjadi domba.

"Bisa diambil makna juga bahwa tidak boleh agama manapun mengorbankan manusia dan kemanusiaan. Ada nilai-nilai hak asasi manusia lewat napak tilas di tempat jumrah di Mina saat ini," kata dia.

Sementara itu, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Aswadi mengatakan wukuf memiliki tiga nilai penting yaitu zawal, wukuf dan arafah.

Dari wukuf itu sendiri mengandung makna kebulatan tekad memutus segala keburukan yang bersandar pada lubuk hati, pikiran dan tindakan.

Kemudian, wukuf harus menjadi titik tolak untuk mengabadikan kebaikan-kebaikan agar tidak pernah selesai.

Adapun makna zawal itu adalah pergeseran dari terang ke gelap sebagaimana tergelincirnya matahari di petang hari. Terdapat makna manusia hidup ke mati. Ada pergantian siklus kehidupan.

"Manusia terbenam menuju alam akhiratnya, menuju gelap, tapi kegelapan ini sesungguhnya terang karena hakikat hidup itu di akhirat. Kemudian jamaah harus memaknai hidup ini bergerak dari alam dunia ada kehidupan akhirat," kata dia.

Jika sudah demikian, kata dia, maka manusia akan "arafa," atau mengetahui dan sadar akan hakikat kehidupan bahwa dunia sebagai jembatan untuk menuju hakikat kehidupan abadi menuju kehidupan setelah dunia fana.

"Arafa itu sadar. Jika sudah demikian manusia siap menuju alam akhirat," katanya. []

Berita terkait