Membaca Peta Kekuatan Politik dalam Pilpres 2019

Dalam perpolitikan mutakhir di Tanah Air, kekuatan oposan seperti yang dimainkan oleh Partai Gerindra dan PKS secara konsisten perlu diapresiasi.
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 14/4/2018) - Pemerintahan yang didukung oleh koalisi partai politik yang terlampau kuat dengan kubu oposan yang terlalu lemah daya tawar-menawar politisnya sesungguhnya kurang ideal dalam praksis demokrasi.

Situasi semacam itu bisa mengarah pada pemerintahan yang oligarkis, yang terlalu sibuk membagi-bagi kue politik di kalangan elite pendukung pemerintah, dengan risiko abai terhadap kepentingan masyarakat, terutama yang di kalangan akar rumput.

Itu sebabnya, dalam perpolitikan mutakhir di Tanah Air, kekuatan oposan seperti yang dimainkan oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara konsisten perlu diapresiasi.

Dalam konteks persiapan menuju Pilpres 2019, konstelasi pengkubuan yang terlampau berat dukungannya terhadap petahana yang membuka peluang raibnya pesaing petahana sehingga harus melawan kotak kosong dalam pencoblosan agaknya perlu dihindari.

Dari sinilah apresiasi perlu diberikan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Parabowo Subianto yang siap maju melawan petahana (Joko Widodo) dalam rivalitas meraih kursi kepresidenan dalam Pilpres 2019.

Bukan hanya kepada Prabowo dan Gerindra, apresiasi yang tak kalah nilainya juga layak diberikan kepada parpol dan elite yang memilih menjadi bagian dari koalisi kubu pesaing petahana. Sejauh ini, partai politik yang konsisten untuk menjadi kubu opisisi adalah PKS dan Gerindra.

Partai Amanat Nasional (PAN), dalam posisi politiknya saat ini, boleh dibilang abu-abu karena kadernya masih ada yang duduk di pemerintahan meskipun tokoh seniornya, Amien Rais, merupakan pengkritik utama kebijakan pemerintah.

Akan halnya dengan Partai Demokrat, peran politiknya dalam berelasi dengan pemerintah juga tak selugas Partai Gerindra dan PKS.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga bermain-main dengan peran politiknya. Meskipun partai yang punya banyak pendukung dari kaum nahdiyin ini berkoalisi dan kadernya memperoleh kursi kementerian untuk menjadi pembantu Presiden Jokowi, dalam hal dukungan terhadap capres untuk Pilpres 2019 masih menimbang-nimbang situasi politik mutakhir.

Yang ideal, cukuplah jika koalisi pendukung petahana untuk Pilpres 2019 tidak semakin gemuk dengan bergabungnya parpol-parpol yang selama ini masih menunggu perkembangan politik dalam menentukan dukungan koalisi.

Jokowi sebagai petahana yang resmi dideklarasikan oleh parpol pengusungnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019 sudah didukung oleh partai besar lain Partai Golkar dan Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, dan beberapa parpol pendatang baru seperti Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia.

Bila PAN mengikuti langkah politik pendirinya Amien Rais, yang cenderung mengisyaratkan kontra terhadap kebijakan Jokowi, ada kemungkinan untuk bergabung dalam koalisi yang mendukung Prabowo.

Persoalannya, jika terjadi keberimbangan kekuatan politik antara petahana dan penantangnya dalam Pilpres 2019, ada sejumlah pihak yang memandangnya sebagai bahaya karena akan terjadi pengkutuban kekuatan, yang akan membelah rakyat menjadi dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan dan bisa mengkhawatirkan kestabilan dan keamanan politik menjelang pencoblosan Pilpres yang berbarengan dengan Pileg.

Salah satu politikus yang khawatir atas situasi pembelahan dua kubu itu adalah Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Sebetulnya kekhawatiran semacam itu tak perlu sebab pengalaman berdemokrasi yang semakin matang yang diimbangi dengan konsolodasi yang kian mantap antara pimpinan puncak Polri dan TNI akan menihilkan kemungkinan instabilitas dan kerusuhan dalam pencoblosan Pilpres 2019.

Prabowo Subianto dalam kiprah politiknya juga memperlihatkan kematangan. Itu bisa dibaca saat dia bersilaturahim dengan Jokowi baik di rumah pribadinya maupun di Istana Presiden. Saat itu Prabowo mengatakan kepada pers bahwa situasi politik yang gontok-gontokan harus dihindarkan.

Oleh sebab itu, pesimisme dalam menapaki momen penting pencoblosan Pilpres dan Pileg 2019 tak perlu digaung-gaungkan di ruang publik. Sebaliknya, optimisme tentang stabilitas dan kemanan dalam hajatan akbar demokrasi pada 2019 itu justru perlu dikumandangkan.

Tentu semua itu, kestabilan dan keamanan, akan dengan mudah terpelihara dan terkawal ketika para elite politik yang bersaing dalam perebutan kekuasaan itu punya komitmen bersama untuk siap menang sekaligus untuk siap kalah.

Kekalahan dalam politik hanyalah kemenangan yang tertunda. Dan parpol yang berperan sebagai oposan pun tak kalah bernilainya dalam upaya meluruskan kebijakan pemerintah yang dipandang merugikan kepentingan banyak orang.

Apresiasi terhadap oposan, terutama oposan yang konsisten seperti Gerindra dan PKS tentu di tataran politik nasional perlu diberikan sebab tanpa mereka demokrasi menjadi pincang.

Sangat tidak ideal buat pemantapan demokrasi di Tanah Air jika kubu yang digalang Gerindra dan PKS tidak mengajukan rival bagi petahana dalam Pilpres 2019. Prediksi suram pengamat politik bahwa petahana sangat mungkin berkompetisi dengan kotak kosong, dengan demikian, bisa dicegah.

Bahkan, sekalipun bukan Prabowo sendiri yang mungkin akan berkompetisi melawan petahana, publik layak mengapresiasi Ketua Umum Partai Gerindra itu sejauh dia andil dalam menghadirkan dan mendukung tokoh yang akan menjadi pesaing petahana.

Rivalitas dalam politik pada akhirnya hanyalah momen rutin untuk menentukan pemimpin politik terbaik, yang tak perlu dipandang sebagai pertarungan hidup mati dengan mengerahkan tenaga dan dana habis-habisan, apalagi dengan slogan: menang atau mati sekalian.

Politikus yang negarawan pastilah bervisi jauh ke depan: dalam rivalitas merebut kursi kekuasaan, Pilpres 2019 bukanlah akhir segalanya. Kalah di Pilpres 2019, masih ada Pilpres 2024 dan seterusnya. (sun/ant/af)

Berita terkait
0
Muhaimin Iskandar, Blunder Sejarah menyulitkannya di Pilpres 2024
Blunder-blunder sejarah akan menyulitkan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin di Pilpres 2024, belum lagi fakta-fakta lain. Cak Imin diminta realistis.