Melihat Desa Para Perajin Sangkar Burung di Yogyakarta

Dusun Jaten, Desa Rejosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, merupakan sentra pembuatan sangkar burung. Ini bahan pembuatannya.
Daliyo, 66 tahun, sedang menunjukkan cara membuat sangkar burung, di rumahnya, Dusun Jaten, Desa Argosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa, 24 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bantul – Tumpukan rotan memenuhi bagian samping rumah milik Daliyo, di Jaten, Desa Argosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Suara tembang lawas yang mengalun pelan dari balik dinding anyaman bambu, menjadi satu-satunya suara yang terdengar siang itu, Selasa, 24 November 2020.

Di dalam rumah, Daliyo yang berusia 66 tahun terlihat berbaring di kursi bambu, hanya sekitar satu meter dari radio yang diletakkan di atas kursi plastic berwarna hijau. Suara salam membangunkan Daliyo dari istirahat siangnya. Dia bergegas mematikan radio dan mempersilakan masuk.

Dua unit sepeda motor terparkir di ruangan itu, di antara bilah-bilah buluh dan rotan yang tergeletak tidak rapi. Di atasnya, sejumlah sangkar burung tergantung rapi. Sebagian besar sangkar itu belum digunakan. Hanya ada satu sangkar yang berisi burung perkutut.

Satu alat bor listrik terpasang di lantai rumah yang terbuat dari tanah. Satu kursi kayu kecil diletakkan tidak jauh dari mesin bor itu.

Keterampilan Turun Temurun

Wajahnya yang dihiasi kerutan keriput tersenyum ramah dan memulai ceritanya. Beberapa gigi depan atasnya yang sudah ompong terlihat saat dia berbicara. Sorot matanya masin menunjukkan kantuk yang belum hilang sepenuhnya.

Pria kelahiran tahun 1954 itu mengaku telah menguasai cara membuat sangkar burung sejak dirinya masih remaja, tepatnya saat berusia 15 tahun.

Kulo kawit umur 15 tahun (saya sejak berusia 15 tahun). Awalnya saya belajar dari ayah saya, karena memang turun temurun bikin sangkar burung.

Ada dua bahan utama yang sering digunakannya untuk membuat sangkar burung, yakni bambu dan rotan. Bambu dan rotan itu biasanya digunakan sebagai jeruji sangkar dan rangkanya. Tapi tak jarang dia menggunakan kombinasi kayu sebagai rangka.

Cerita Perajin Sangkar Burung (2)Tumpukan rotan bahan pembuatan sangkar burung, di samping rumah Daliyo, 66 tahun, Selasa, 24 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dari kedua jenis bahan itu, sangkar yang terbuat dari rotan merupakan sangkar yang banyak diminati oleh para pembeli.

“Yang paling banyak disukai itu yang dari rotan. Bahan bakunya saya beli di Solo,” kata Daliyo.

Kata Daliyo, sebetulnya di daerah Yogyakarta bahan baku rotan juga tersedia, tetapi kualitas dan jumlahnya terbatas. Selain itu harganya pun sedikit lebih mahal. Padahal dia membutuhkan bahan baku dalam jumlah cukup banyak, sebab dirinya sekaligus menjadi pengepul rotan di Jaten. Sebagian perajin di sekitar rumahnya sering membeli rotan dari dirinya.

“Di Yogyakarta ada tapi sedikit dan agak lebih mahal. Saya beli kemudian digunakan oleh warga lain untuk membuat sangkar. Jadi saya garap yang sisanya,” kata Daliyo lagi.

Biasanya Daliyo berbelanja rotan ke Solo setiap dua pekan sekali, atau dua kali dalam sebulan. Tapi itu juga tergantung pada jumlah stok bahan yang dimilikinya.

“Kalau setengah bulan habis ya ke Solo lagi. Biasanya sebulan dua kali. Nek rodo selo ya mangkat piyambak (kalau agak senggang ya berangkat sendiri).”

Dari sekilo rotan, dia bisa memroduksi tiga sangkar burung. Tapi biasanya sekali memroduksi, Daliyo langsung membuat empat atau enam sangkar. Sebab menurutnya waktu yang dibutuhkan untuk membuat sangkar dalam jumlah banyak, lebih cepat daripada jika harus membuat satu sangkar.

Untuk pembuatan satu sangkar, dia membutuhkan waktu lebih dari sehari. Sedangkan untuk membuat enam sangkar, dia bisa menyelesaikannya dalam waktu empat hari, paling lama lima hari.

Nek itungan dinten, setunggal mboten rampung sedinten. Tapi nek le damel sekawan atau enem nek dietung mboten ngantos sedinten setunggale. (Kalau hitungan haru, satu sangkar tidak bisa diselesaikan dalam sehari. Tapi kalau membuat empat hingga enam sangkar hitungannya per sangkar tidak sampai sehari),” ucapnya dalam bahasa Jawa.

Pembuatan sangkar burung melalui beberapa tahap atau proses. Yang paling rumit adalah pembuatan jerujinya, sebab dibutuhkan keahlian khusus dan ketelatenan, mengingat jeruji itu tebalnya hanya beberapa millimeter.

Tapi saat ini dia tidak lagi membuat jeruji sendiri, sebab sudah ada perajin yang khusus memroduksi jeruji. Sehingga dia tinggal membelinya dari perajin itu.

Sangkar-sangkar buatannya dipasarkan di sekitar Yogyakarta, khususnya di wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul. Bisanya penjual sangkar itu yang datang untuk membeli sangkar produksi para perajin di Jaten.

Cerita Perajin Sangkar Burung (3)

Dua kerangka sangkar burung yang belum dipasangi jeruji oleh Daliyo, 66 tahun, di rumahnya, Selasa, 24 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)


“Kalau penjualnya menelepon ya kadang datang, kadang diantarkan. Pernah juga dapat pesanan untuk dikirim ke Belanda. Sekali pengiriman minimal 120 sangkar beraneka ragam model. Modelnya ada enam jenis,” dia menambahkan.

Para perajin di Jaten, yang merupakan sentra pembuatan sangkar burung perkutut di Yogyakarta, mematok standar harga yang hampir sama antara satu dengan lainnya, yakni berkisar dari Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu per sangkar, tergantung ukuran dan model sangkar.

Selain menjual sangkar jadi, para perajin di situ juga menerima pesanan sangkar sesuai dengan yang diinginkan pemesan. Tetapi biasanya hargaanya sedikit berbeda dengan sangkar jadi.

“Terima pesanan juga. Harganya kalau dari penjual ya harganya sama, tapi kalau pesanan dari pengguna langsung ya naik sedikit.”

Saat ditanya mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap penjualan sangkar burung, Dalliyo mengaku tidak terpengaruh.

“Tetap lancar. Sebulan bisa laku kira-kira 20 sangkar. Kalau ada penjual dari sini yang kurang, dia ambil dari saya juga,” ucapnya sambil mengambil segulung kecil rotan yang akan dibuat menjadi sangkar.

Wisata Edukasi

Hanya beberapa puluh meter dari rumah Daliyo, dua pria lain terlihat sibuk dengan peralatan pertukangan. Di halaman rumah berbatasan dengan halaman rumah Daliyo itu, Hardi, 48 tahun, Ketua Kelompok Kerajinan Sangkar Abadi dan rekannya sibuk memroduksi sangkar.

Sedikit berbeda dengan kondisi tempat produksi milik Daliyo, di situ terlihat sedikit lebih modern. Suara mesin bor listrik terdengar pelan saat rekan Hardi melubangi sejumlah rotan.

Kata Hardi, walaupun dusunnya merupakan sentra kerajinan pembuatan sangkar burung, tetapi cukup sulit menemukan tumpukan sangkar burung di sana. Sebab biasanya sangkar burung yang sudah jadi langsung diambil oleh pembelinya.

“Di sini sudah kosong,nggak kelihatan bahwa sentra produksi sangkar burung, karena biasanya setelah jadi langsung ada yang ambil untuk dijual. Langsung hilang,” kata dia menegaskan.

Cerita Perajin Sangkar Burung (4)Hardi, 48 tahun, Ketua Kelompok Kerajinan Sangkar Abadi, saat ditemui di rumahnya, Selasa, 24 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sebagai tokoh masyarakat setempat, Hardi pernah mengusulkan pengembangan kawasan Dusun Jaten menjadi lokasi wisata edukasi. Sehingga para siswa maupun orang-orang yang berminat dalam pembuatan kerajinan bisa belajar di situ.

“Jadi siswa datang untuk mempelajari cara pembuatan sangkar. Tapi belum ada kelanjutannya sampai sekarang.”

Dia mengakui, seharusnya memang ada kajian terlebih dahulu jika ingin mengembangkan lokasi itu menjadi destinasi wisata.

Menurutnya, lokasi Dusun Jaten tersebut cukup memungkinkan untuk dijadikan lokasi wisata edukasi, sebab letaknya berhadapan dengan Desa Wisata Gamplong di sebelah barat.

“Kita kan satu pintu dengan gamplong, berhadapan. Jadi misalnya mau mengembangkan kwaasan Jaten-Gamplong kan enak. Kita menghadap ke barat Gamplong ke timur. Tapi kita masuk Kabupaten Bantul, Gamplong masuk Sleman,” kata dia.

Jika melihat dari kebiasaan atau keunikan, Gamplong dan Jaten sebenarnya sama-sama memiliki keunggulan. Di Gamplong dulunya merupakan desa perajin tenun, sementara dusunnya merupakan perajin sangkar burung. Meski kini sebagian warga di Gamplong juga beralih menjadi perajin sangkar.

“Di sana sekarang dikemas, dibungkus, diplastik, dikirim ke Jakarta. Di sana dipegang pemodal. Kalau di sini kan perajin gurem semua, dari nenek moyang. Kita generasi ketiga.”

Meski demikian, lanjut Hardi, ada satu model sangkar yang hanya menjadi cirri khas Dusun Jaten, dan sulit untuk ditiru oleh perajin dari daerah lain. Tetapi saat ini sangkar model itu sudah sangat jarang diproduksi, kecuali ada pesanan khusus.

“Harganya sekitar 100 ribu, kalau di penjual sudah naik tiga kali lipat. Biasanya pesanan. Perajin di Jaten ada sekitar 70 orang. Hampir 50 persen perajin.”

Dia menambahkan, para perajin di Jaten memiliki kendala modal, sehingga sebagian dikuasai oleh tengkulak. Sangkar hasil produksi para perajin biasanya langsung diambil oleh mereka, sebab mereka sudah memberikan uang terlebih dahulu.

“Kalau kita nggak menanam uang ke perajin, ya nggak dapat barang. Kalau begitu harga kan sudah angel (sulit). Nek (kalau) pengepul nggak punya uang, nggak punya barang. Sekarang harus menanam minimal Rp 3 juta,” imbuhnya. []

Berita terkait
Filosofi Tanaman Bonsai dan Edukasi dari Seniman Pembuatnya
Bonsai bukan sekadar tanaman yang dikerdilkan. Ada filosofi yang terkandung dalam setiap tanaman mini ini, yang perlu diedukasikan pada pehobi.
Tempat Belajar Segala tentang Kopi di Yogyakarta
Kopi menjadi salah satu minuman wajib untuk beberapa orang, tapi tidak semua orang paham tentang kopi. Ini cerita tentang pembelajaran kopi.
Tangan Terampil di Desa Perajin Batik Kayu Yogyakarta
Desa Wisata Krebet di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai sentra produksi kerajinan batik kayu. Begini proses pembuatannya.
0
Banyak Kepala Daerah Mau Jadi Kader Banteng, Siapa Aja?
Namun, lanjut Hasto Kritiyanto, partainya lebih mengutamakan dari independen dibandingkan politikus dari parpol lain.