Melawan Kampanye Hitam di Medsos dengan Pendidikan Politik

Pendidikan politik salah satu cara ampun melawan kampanye hitam di media sosial.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Padang - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tinggal menghitung hari. Di Sumatera Barat (Sumbar), pemilihan yang akan berlangsung 9 Desember ini diikuti 49 pasangan calon kepala daerah di 13 kabupaten dan kota plus pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumbar.

Gempuran kampanye masing-masing tim kandidat kian gencar jelang memasuki minggu tenang. Saban hari, calon kepala daerah nyaris tak tidur demi berkeliling ke berbagai titik daerah pemilihan. Kondisi pandemi tidak menyurutkan niat mereka untuk berkumpul. Namun, tak sedikit juga kegiatan kampanye kandidat yang dibubarkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19 hingga tidak mengantongi izin.

Di perkotaan, medsos sudah mulai dijadikan media utama untuk sosialisasi politik. Tapi tentu efektivitasnya akan terlihat seiring perjalanan waktu.

Di masa pandemi corona, gerak kampanye para calon kepala daerah memang sangat dibatasi. Jumlah massa yang akan dikumpulkan juga diatur serinci mungkin oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika tidak, pesta demokrasi lima tahunan ini dikhawatirkan akan melahirkan klaster penyebaran corona baru, yakni klaster Pilkada.

Terkungkung di dunia nyata, tak membuat tim calon kepala daerah mati langkah. Mereka justru gencar bersosialiasi di gelanggang media sosial (medsos) alias dunia maya. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram hingga kanal YouTube. Serangan demi serangan dari berbagai tim terus dilahirkan demi menggiring dan melahirkan opini baik untuk kandidat yang mereka usung.

Pantauan di sejumlah grup medsos Facebook Pilkada Sumbar, tidak seberapa yang tampak "menjual" program para kandidat. Mayoritas hanya berupa postingan ajakan memilih, dukungan kelompok masyarakat dan sebagainya. Bahkan, narasi-narasi black campaign alias kampanye hitam dan negative campaign masih mendominasi sejumlah grup-grup Facebook Pilkada di Sumbar.

Tak sedikit juga yang bertengkar dengan kata-kata tak pantas di akun medsos. Bahkan, persatuan warga di satu nagari renggang gegara status dan omelan di dunia maya. "Banyak yang rusak gara-gara status di Facebook. Sampai-sampai semua orang nagari dibawa-bawa untuk satu pasangan calon," kata salah seorang warga Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, yang enggan dituliskan namanya.

Lelaki 39 tahun itu mengatakan, kampanye hitam telah menjadi pembahasan dari lapau ke lapau. Bahkan, penghinaan dari masing-masing pendukung pun pecah ketika bersenda gurau membahas Pilkada.

"Sampai nggak mau mampir ke warung karena di sana banyak pendukung si A misalnya. Saya lihat, cukup jahat efek hoaks dan kampanye buruk di medsos itu," katanya.

Warga lainnya, Ajo Syaf, 32 tahun, mengatakan, kampanye hitam di medsos sebetulnya tidak terlalu berpengaruh di daerah pedesaan. Namun, narasi-narasi yang dibawa pendukung ke kedai kopi, warung-warung tempat nongkrong malam di kampung-kampung yang kadangkala merusak.

"Mereka bercerita tentang politik. Tapi sumbernya dari Facebook lah, grup WhatsApp dan medsos lainnya. Ini yang jadi biang kerok," katanya.

Meski demikian, kata Syaf, mereka yang percaya dengan informasi liar di medsos mayoritas bukan dari kalangan terpelajar, seperti mahasiswa dan pemuda akfif lainnya. "Rata-rata usia 30 tahun ke atas, tapi mereka tidak sekolah baru mengenal medsos. Ini yang rentan," tuturnya.

Tak hanya merusak sejumlah kalangan masyarakat, sejumlah dugaan aksi kampanye hitam di medsos pun telah berujung ke penegakan hukum pemilu. Baru-baru ini, calon bupati Solok, Nofi Candra melaporkan Epyardi Asda ke Bawaslu Kabupaten Solok. Hal ini dipicu oleh video ocehan rivalnya tersebut yang kerap "digoreng" di media sosial.

Fenomena perang politik di medsos ini, musiman terjadi setiap kali penyelenggaraan pesta demokrasi. Namun, sebagai media baru dalam demokrasi, penggiringan opini melalui dunia maya belum optimal termanfaatkan di semua wilayah, khususnya Sumbar.

Pengajar ilmu politik Universitas Andalas (Unand), Asrinaldi mengatakan, peranan medsos cukup efektif berlangsung di daerah perkotaan. Namun, di kawasan yang infrastruktur jaringan, sumber daya manusia (SDM) belum mumpuni, medsos belum menjadi arus besar dalam berkampanye.

"Di perkotaan, medsos sudah mulai dijadikan media utama untuk sosialisasi politik. Tapi tentu efektivitasnya akan terlihat seiring perjalanan waktu," katanya kepada Tagar, Kamis, 26 November 2020.

Menurutnya, medsos di Sumbar hari ini baru sebatas interaksi hal-hal ringan. Belum menyasar penggiringan masif, seperti di kota-kota besar di Indonesia. "Belum menjadi media utama, saya lihat pengaruhunya untuk mempengaruhi prilaku memilih belum optimal," katanya.

Pengamat politik Sumbar itu memandang, untuk memahami materi kampanye di medsos juga memmerlukan pengetahuan. "Harus ada komunikasi dua arah antara pembuat pesan dengan si menerima. Sehingga, pesan yang tersampaikan melalui medsos tidak gampang masuk ke akar rumput masyarakat," katanya.

Menurutnya, memberantas kampanye hitam di medsos tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat. Dengan kata lain, semakin baik pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) suata daerah, semakin lambat lajunya kampanye hitam maupun hoaks.

Senada dengan itu, pengamat politik Sumbar lainnya, Najmuddin Rasul menilai, kampanye melalui medsos belum berpengaruh signifikan terhadap kaum intelektual, khususnya generasi milenial yang saban hari bergelut dengan gadget.

"Medsos belum berpengaruh signifikan terhadap anak-anak muda. Saya mengajar hampir 500 mahasiswa tahun awal, rata-rata mereka tidak tertarik melihat kampanye kandidat di Sumbar ini di medsos," katanya.

Menurut Najmuddin, kampanye di medsos memerlukan kecerdasan intelektual. Sebab, mayoritas generasi muda akan menyoroti rasionalitas konten kampanye yang "dijual". Dengan kata lain, pendidikan dan tingkat kecerdasan masyarakat sebuah daerah mempengaruhi efektivitas medsos.

"Tidak banyak yang termakan hoaks atau kampanye hitam medsos kalau untuk Pilkada Sumbar. Sebab, rata-rata pendidikan generasi muda yang aktif bermedsos sudah baik. Ini berbeda dengan Pilpres. Kenapa penggiringan opini di medsos bisa masif? Karena narasinya dibangun dengan baik dan menyentuh isu masyarakat akar rumput," katanya.

Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumbar hanya bisa memantau pergerakan kampanye lewat akun-akun resmi yang didaftarkan para calon kepala daerah. Sedangkan belantara medsos yang masif menyebar kampanye hitam, belum bisa dikendalikan dengan maksimal.

Hal itu diakui Ketua Bawaslu Sumbar Surya Efitrimen. Menurutnya, mengantisipasi hoaks dan kampanye hitam Pilkada di medsos secara praktis atau langsung memang sulit.

"Kami hanya bisa memantau akun yang dilaporkan ke KPU. Kemudian, memberikan edukasi dan sosialisasi di semua medsos Bawaslu. Termasuk akun-akun setiap petugas Bawaslu dari tingkat provinsi hingga TPS, ya semacam himbauan untuk tidak mempercayai berita yang tidak jelas sumber kebenarannya," katanya.

Menurutnya, jumlah akun yang didaftarkan masing-masing paslon gubernur dan wakil gubernur Sumbar hanyak 30 akun. Sedangkan calon bupati dan calon wali kota hanya 20 akun. "Akun-akun fiktif tentu banyak dan itu kami awasi bersama dengan pihak Kominfo, kepolisian dan stakeholder terkait lainnya. Mengajak masyarakat tidak terjebak hoaks dan melaporkan jika ditemukan kampanye hitam," tuturnya.

Anggota KPU Sumbar, Nova Indra mengatakan, pihaknya juga berupaya menekan penyebaran hoaks di akun medsos oleh akun-akun yang tidak bertanggung jawab. Selaku penyelenggara, KPU tentu hanya memberikan edukasi politik terhadap pemilih dan itu dilakukan masif di semua akun medsos KPU Sumbar hingga ke tingkat KPPS.

"Menertibkan itu wewenangnya Bawaslu. Kami menyosialisasikan agar pemilih datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya dengan baik. Kami juga tekankan jangan sampai termakan isu hoaks dalam menentukan pilihan," katanya.

Edukasi Partai Politik

Melawan kampanye hitam di medsos dalam kancah demokrasi, tidak hanyak menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu, namun juga Partai politik (Parpol). Sebab, pendidikan politik yang baik akan melahirkan pandangan positif. Secara otomatis, hoaks dan serangan medsos menjadi tumpul.

Pengamat politik Sumbar, Najmuddin Rasul mengatakan, pendidikan politik harus lahir dari elite dan pelaku-pelaku politik aktif di Sumbar. Caranya, berikan tauladan dalam perbuatan dengan tidak sekedar menebar janji dan membuat narasi-narasi negatif yang menyudutkan lawan politik.

"Edukasi politik pertama itu harus lahir dari tauladan tokoh politik itu sendiri. Mereka harus jadi idola yang baik terlebih dahulu," katanya.

Mereka yang termakan umpan serangan di medsos salah satunya karena tidak mendapatkan edukasi politik yang baik. Lantas, ketika mendapat narasi-narasi buruk dan dianggapnya benar, para pemilih tersebut semakin apatis terhadap para pelaku politik.

"Pendidikan dan pendidikan politik ini harus sejalan di tengah bangsa demokrasi. Jika ini sudah berjalan baik, kampanye hitam di medsos tidak akan berpengaruh apa-apa," katanya.

Begitu juga tanggapan pengamat politik Sumbar, Asrinaldi. Menurutnya, pendidikan politik memiliki proses panjang. Idealnya, internalisasi nilai-nilai politik di mulai dari keluarga. Sayangnya, selama 32 tahun orde baru berkuasa di Indonesia, pendidikan politik dihilangkan melalui kebijakan massa mengambang atau floating mass.

"Masyarakat apatis dengan politik, terutama di lingkungan keluarga dan tetangga. Kondisi inilah yang perlu diperbaiki di era reformasi," katanya.

Saat ini, kata Asrinaldi, atmosfir politik sudah mulai membaik. Namun, semuanya tidak terlepas dari dukungan parpol. Sebab, fungsi parpol juga untuk memberikan edukasi politik, bukan sekadar untuk menjadi peserta pemilu dan Pilkada.

Jika fungsi pendidikan politik ini berjalan dengan baik di tengah masyarakat, kampanye hitam di medsos makin tidak berarti. Sebab, para pemilih yang cerdas niscaya akan melihat tentang tokoh dan program yang akan dilakukannya, bukan sebatas nyanyian hoaks dan fitnah masif di medsos.

"Edukasi politik ini ada di tangan parpol. Penyelenggara pemilu sebatas untuk pendidikan pemilih," tuturnya.

Protokol Kesehatan Super Ketat

Penyelenggaran Pilkada 2020 jauh berbeda dengan pelaksanaan Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Sebab sampai hari ini, wabah Covid-19 masih belum mereda. Bahkan, penambahan kasus positif di Sumbar juga terus terjadi.

Atas dasar itu, Pilkada yang akang berlangsung 9 Desember 2020 ini juga menerapkan protokol kesehatan super ketat. Semua penyelenggara dan unsur yang terlibat dalam pengamanan Pilkada sekali pun, harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan corona. Hal ini untuk mengantisipasi lahirnya klaster Pilkada setelah berakhirnya pemilihan.

Anggota KPU Sumbar, Nova Indra mengatakan, aturan penyelenggaran Pilkada dengan protokol kesehatan ini mengacu pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19.

"Penyelenggara dan pemilih harus patuh protokol kesehatan. Pengawasan ini akan berlaku ketat di 12.548 TPS yang tersebar di 19 kabupaten dan kota," katanya.

Jelang masuk ke bilik TPS, para pemilih diwajibkan mencuci tangan. Kemudian, melakukan pengecekan suhu tubuh. Jika melebihi batas normal, pemilih tersebut diarahkan mencoblos di bilik khusus. Selain itu, pemilih juga diwajibkan mengenakan sarung tangan yang nantinya dibuang usai mencoblos.

Ketua KPU Sumbar Yanuk Sri Mulyani mengatakan, jumlah DPT Pilkada Sumbar 2020 mencapai 3.719.429 jiwa. Sedangkan peserta Pilkada berjumlah 49 orang pasangan, termasuk calon gubernur dan wakil gubernur.

Dia memastikan, semua penyelenggara yang bertugas di TPS diwajibkan melakukan rapid tes jelang hari pencoblosan. Bagi petugas yang non reaktif, dipersilahkan melanjutkan tugas dan petugas reaktif dilanjutkan untuk melakukan swab.

"Mereka akan melakukan rapid tes jelang turun ke rumah warga menyerahkan surat pemberitahua memilih," katanya.

KPU mengimbau agar masyarakat tidak lagi khawatir datang ke TPS. Sebab, semua mekanisme yang akan dilakukan dalam pemilihan di masa pandemi Covid-19 ini telah sesuai dengan standar kesehatan dunia. []



Berita terkait
Polairud Polda Sumbar Wajib Perketat Pengamanan Laut
Polairud Polda Sumbar diminta memperketatan keamanan laut untuk menimalisir kejahatan di tengah laut.
Bawaslu Sumbar Minta APK Calon Bersih di Masa Tenang
Bawaslu Sumatera Barat mengimbau LO pasangan calon kepala daerah untuk membersihkan APK di masa tenang.
BKSDA Sumbar Lepasliarkan Sepasang Harimau Sumatra
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui BKSDA Sumatera Barat melepasliarkan sepasang harimau sumatra.