Meikarta, Proyek Suap Terselubung

Dugaan suap pada Bupati Bekasi Neneng menurut KPK semakin kuat karena ada bukti dan konfirmasi para saksi dan tersangka.
Pekerja beraktivitas di kawasan proyek pembangunan Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (15/10/2018). Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan menjaring pejabat Dinas PUPR Kabupaten Bekasi dan rekanan mitra kerja dalam operasi tangkap tangan terkait kasus dugaan suap perizinan proyek properti Meikarta, dengan total barang bukti sekitar Rp1 miliar dalam bentuk Dolar Singapura dan Rp 500 juta. (Foto: Antara/Risky Andrianto)

Jakarta, (Tagar 16/10/2018) - Meikarta dengan slogan the future is here today rupanya merupakan proyek "suap" terselubung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah menetapkan 9 tersangka dalam kasus ini, termasuk Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group  Billy Sindoro. Bahkan, di antaranya telah dilakukan penahanan.

"Terhadap sejumlah tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proses perizinan Meikarta dilakukan penahanan 20 hari pertama," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (16/10).

Kasus dugaan suap pengurusan izin proyek properti Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat terungkap saat KPK menerima laporan dari masyarakat soal adanya gratifikasi proyek Meikarta kepada pejabat di Bekasi.

Neneng dan empat pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi yakni Kepala Dinas PUPR Bekasi Jamaludin, Kadis Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, Kadis DPMPTSP Dewi Tisnawati, dan Kepala bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi diduga menerima komitmen fee sebanyak Rp 13 miliar.

Fee tersebut terkait pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta tahap 1 dan pemberian uang yang sudah terealisasi berjumlah Rp 7 miliar.

Dugaan suap kepada Bupati Bekasi Neneng ini menurut KPK juga semakin menguat, lantaran ada pengembangan dari sejumlah bukti dan konfirmasi para saksi dan tersangka.

"Dari sejumlah bukti dan konfirmasi para saksi dan tersangka, dugaan pemberian pada Bupati semakin menguat terkait perizinan ini. Termasuk pertemuan-pertemuan yang pernah dilakukan dengan pihak swasta dalam pengurusan izin," imbuh Juru bicara KPK Febri Diansyah, Selasa, (16/10).

Awal Proyek

Proyek Meikarta awalnya digagas oleh Lippo Group dan sudah  dirancang sejak 2014. Kota baru dengan lahan seluas 22 juta meter persegi di Cikarang, Jawa Barat itu, memang merupakan kawasan industri terpadu milik Lippo Group.

CEO Lippo Group James Riady mengklaim, Meikarta menjadi proyek investasi Lippo terbesar, sepanjang sejarah perusahaan berdiri selama 67 tahun.

"Ini adalah inisiatif besar dari Lippo membangun kota Jakarta baru yang punya desain, infrastruktur berskala internasional dan bisa bersaing di dunia. Meikarta akan jadi kota terindah dan terlengkap di Asia Tenggara," terang James saat Konferensi Pers di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (4/5/2017).

Dalam website http://meikarta.com pun dijelaskan proyek Meikarta menelan total investasi langsung sebesar Rp 278 triliun. Nantinya, akan digunakan untuk mengembangkan lahan seluas 500 hektar yang terdiri dari ruang terbuka hijau, hunian, serta tempat usaha.

"Didukung oleh investasi langsung sebesar Rp 278 triliun,  Meikarta adalah pengembangan seluas 500 hektar lahan dengan 100 hektar ruang terbuka hijau, 250.000 unit properti perumahan utama dan 1.500.000 meter persegi ruang komersial utama," seperti tertulis dalam halaman webiste yang diakses Tagar News, di Jakarta, Selasa (16/10).

Dengan modal kepercayaan diri untuk membangun kawasan modern, Meikarta pun menggelar grand launching pada Kamis 17 Agustus 2017 dan mulai membangun kawasannya.

Izin Bermasalah

Proyek Meikarta sebenarnya sudah terganjal masalah perizinan sejak diperkenalkan kepada publik pada 4 Mei 2017. Meski demikian, pihak Lippo Grup tetap saja meneruskan pembangunan menutup kuping dengan protes keras dari sejumlah pihak.

Misalnya dari Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang saat itu menjabat. Deddy, sempat meminta penghentian sementara proyek pembangunan yang sudah berjalan saat itu, karena proyek tersebut belum mendapat rekomendasi pemerintah provinsi (Pemprov) Jabar.

Sebab, Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta merupakan twin metropolitan atau kembarannya Jakarta yang harus ada mendapat rekomendasi Pemprov.

"Nah yang metropolitan butuh izin dari Pemprov baru bisa dibangun. Apalagi yang lintas kabupaten/kota, yang satu kabupaten/kota saja kalau berskala metropolitan itu harus ada rekomendasi Pemprov," ujar Deddy di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Akhirnya, Deddy pun mengeluarkan izin rekomendasi namun hanya untuk luas lahan sekitar 84,6 hektar. Rekomendasi itu pun karena permintaan dari Bupati Bekasi.

"Kalau terkait Meikarta, rekomendasi memang sudah diberikan kepada Bupati Bekasi karena bupati yang memohon tetapi luasnya hanya 84,6 hektare, bukan 500 hektare," ungkapnya.

Rekomendasi itu pun menurutnya sudah sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat.

Pada Agustus 2017, YLKI pun melakukan tindakan untuk mencegah kerugian konsumen. YLKI pun mendesak Lippo Grup untuk menghentikan proyek, meminta pemerintah untuk menindak tegas soal perizinan, serta mengimbau konsumen untuk berhati-hati.

Sebab, praktik yang dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling itu sering menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari.

"Praktik semacam itu pada akhirnya posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam rilis di halaman website ylki.or.id.

Pernyataan YLKI ini karena konsumen kerap kali mengadukan masalah terkait perumahan sekurang-kurangnya ada 440 pengaduan sejak 2014-2016.

"Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi," terang Tulus.

"Bahkan 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas,benar dan jujur, pembangunan bermasalah, realisasi fasum/fasos, unit berubah dari yang ditawarkan," tukasnya.

Sebelum dugaan kasus suap mencuat, Ombudsman pun sempat mempertanyakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Meikarta. Sebab, Meikarta sudah memasarkan unitnya sebelum bangunan diselesaikan atau mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

"Kalau kita lihat ada beberapa syarat, sekurang-kurangnya pengembang harus punya kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, dan kepastian status penguasaan rumah," tukas Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih.

Sama halnya dengan Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN Arie Yuriwin yang heran dengan Lippo Grup yang belum melakukan penyesuaian tata ruangnya.

"Meikarta itu penyesuaian tata ruang belum ada. Jadi bagaimana dia sudah berbuih-buih jualan gitu, kita masih malah bingung kan,” tuturnya Arie dalam seminar Kebijakan dan Regulasi Pembebasan Lahan Proyek Properti di Kantor PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Kamis (15/3).

Pengaruhi Ekonomi Bekasi

Pengamat Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai, setidaknya kasus dugaan suap pengurusan izin proyek properti Meikarta dapat mempengaruhi sektor konstruksi di Kabupaten Bekasi.

"Meikarta itu kan proyek raksasa, jadi ya pasti ada dampaknya, paling tidak terhambatnya pembangunan, akan berdampak ke sumbangan sektor konstruksi di Kabupaten Bekasi," kata dia saat dihubungi Tagar News di Jakarta, Selasa (16/10).

Bukan hanya di Kabupaten Bekasi, menurutnya ada kemungkinan kasus itu juga mempengaruhi saham Lippo Grup sendiri.

"Berpengaruh juga, karena proyek Meikarta identik dengan group Lippo. Mungkin saham Lippo harganya akan mengalami koreksi," sambungnya.

Latif juga menyoroti terkait perizinan Meikarta yang akhirnya menjadi masalah kasus dugaan suap pengurusan izin proyek properti Meikarta.

"Pertama, izin investasi termasuk untuk perumahan belum semudah seperti yang diasumsikan. Munculnya, kasus Meikarta kan mungkin tidak ada ketegasan apakah mereka diizinkan atau tidak menurut aturan untuk berinvestasi di sana," terang Latif.

"Pengusaha melihat para pemberi izin belum profesional. Mereka mengasumsikan tidak keluarnya izin bukan karena aturannya melarang, tetapi pemberi izin ingin diberi uang," tandasnya. []

Berita terkait
0
Vonis Bebas WN Malaysia Majikan Adelina Lisao Lukai Keadilan
Kemenlu katakan putusan Mahkamah Persekutuan Malaysia bebaskan terdakwa Ambika, majikan Adelina Lisao, mengecewakan dan lukai rasa keadilan