Media Abal-abal, Penumpang Gelap Kebebasan Pers (Bagian 4 – Habis)

Media abal-abal, penumpang gelap kebebasan pers. Menjadi bebas memang mudah. Akan tetapi, kalau selalu lempar batu sembunyi tangan, kapan mau bijak dan dewasa?
Ilustrasi, kebebasan pers. (Foto: Ant/Agus Bebeng)

Jakarta, (Tagar 22/5/2018) - Dua puluh tahun sudah usia reformasi, reformasi yang membawa enam amanat: adili Soeharto dan kroni-kroninya; cabut dwifungsi ABRI; hapus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); otonomi daerah seluas-luasnya; amendemen UUD 1945; tegakkan supremasi hukum; dan budaya demokrasi.

Selesai dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pers pun menjadi pilar keempat demokrasi yang kemerdekaannya dijamin.

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menilai, kebebasan pers adalah satu-satunya wilayah yang masih steril dan menjadi warisan dari reformasi. Tidak ada campur tangan pemerintah maupun wakil rakyat di DPR RI.

Bahkan, polisi saat menegakkan hukum terhadap media dan wartawan tidak bisa seperti biasa. Namun, membutuhkan penilaian Dewan Pers. Apabila ranahnya jurnalisme, Dewan Pers yang menyelesaikan.

Yosep Adi Prasetyo mengatakan, Indonesia dipuji kalangan internasional lantaran mempunyai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang melahirkan Dewan Pers dengan struktur independen gabungan organisasi jurnalis, asosiasi perusahaan pers, dan masyarakat.

Hanya saja, bersebelahan dengan kisah sukses kebebasan pers di Indonesia setelah 20 tahun reformasi, Yosep menyebutkan, terdapat penumpang gelap yang menyalahgunakan kebebasan dengan memeras perorangan atau lembaga.

Penumpang gelap itu adalah media abal-abal yang mengaku memiliki media daring atau cetak tetapi tidak berbadan hokum. Tidak memiliki struktur organisasi dan alamat yang jelas.

Mereka mendatangi instansi pemerintah, sekolah, atau tokoh, lalu mengancam dan memeras dengan penanya akan menulis hal-hal yang tidak baik. Tidak main-main, fenomena yang hanya terjadi di Tanah Air ini jumlahnya besar.

Dewan Pers mencatat, dari 47.000 media yang ada di Indonesia, sekitar 2.000 yang terverifikasi. Sebagian besar media abal-abal mengaku media daring karena pembuatannya mudah dan murah. Bahkan gratis, atau hanya memerlukan layanan aplikasi web tidak berbayar.

Yosep mengatakan, jurnalis abal-abal itu bisa dari latar belakang berbeda-beda tanpa kompetensi menjadi jurnalis. Mereka hanya bermodal kartu pers yang dicetaknya sendiri.

Kode etik jurnalistik pun ditinggalkan para penumpang gelap itu dengan membuat berita bohong, memojokkan orang. Sejumlah orang yang pernah menjadi korban takut, dan sedihnya mungkin menggeneralisasi semua jurnalis sama, termasuk jurnalis media arus utama.

Padahal, kata Yosep, berdasarkan survei The Economist, sebanyak 87 persen masyarakat Indonesia percaya kepada media arus utama. Bahkan angka tersebut lebih tinggi daripada tingkat kepercayaan mereka pada pemerintah.

Media tentu tidak ingin kehilangan kepercayaan yang tinggi itu dari masyarakat. Untuk itu, Dewan Pers menegaskan, menjaga profesionalisme dan menjunjung kode etik jurnalistik merupakan salah satu cara melawan para penumpang gelap kebebasan pers.

"Dengan menjalankan fungsi secara benar, pewarta media arus utama akan meraih kepercayaan masyarakat sehingga ruang media abal-abal makin sempit," kata Yosep.

Menurut Yosep, kini media besar yang masih independen, pemiliknya tidak bergabung dengan politik dan mempraktikkan "good journalism" masih ada dan dapat menjadi teladan.

Dewan Pers selalu menekankan hanya akan mengurus insan dan perusahaan pers yang profesional serta melindunginya dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meski begitu, Dewan Pers tidak berniat membiarkan jurnalis media abal-abal begitu saja. Pihaknya ingin merangkul, mengedukasi agar menjadi profesional. Apalagi, sebagian dari mereka telah bertahun-tahun menjadi insan pers.

Dewan Pers berupaya memperbaiki kualitas dan kompetensi jurnalis dengan pengawasan pelaksanaan kode etik. Menegur media abal-abal dan membuat sejumlah pedoman peliputan.

Namun, mendata puluhan ribu media itu dirasa sulit sehingga diperlukan juga kemauan dari jurnalis untuk melakukan sertifikasi agar berpindah, tidak lagi di kawasan media abal-abal.

"Tunjukkan yang setia umurnya panjang, dibandingkan mereka yang khianat pada kebebasan pers umurnya akan pendek," tegas Yosep.

Kebebasan Bertanggungjawab

Reformasi bukan suatu titik perhentian, melainkan titik tolak yang setiap langkahnya mendewasakan. Selama 20 tahun reformasi sudah banyak kemajuan di berbagai bidang. Sementara di bidang informasi dan kebebasan, masyarakat dijamin haknya untuk menyampaikan pendapat dan haknya untuk mendapatkan informasi.

Meski bebas, kata Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti, pers dibatasi peraturan dan undang-undang yang ada serta kode etik jurnalistik yang mengarahkan pada kebebasan yang bertanggungjawab.

"Semua menyadari kebebasan yang diberikan oleh undang-undang adalah kebebasan bertanggungjawab, kebebasan yang memperhatikan hak masyarakat lain mendapatkan informasi yang benar," kata Niken Widiastuti.

Pada era keterbukaan informasi, tidak bisa seseorang memeras. Atau mencaci maki dengan alasan kebebasan karena sebebas-bebasnya pers. Terdapat aturan dan kode etik yang mengikat.

Meski menekankan aturan main yang harus diikuti, Niken menekankan, sepanjang pers bertanggungjawab dan menyampaikan informasi sesuai dengan data fakta yang akurat, tidak ada pembatasan dari UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai UU Pers dilindungi haknya apabila dalam menjalankan tugas jurnalistiknya menerima keberatan dari masyarakat terkait penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan tidak akan dijerat UU ITE.

Kata dia, pemerintah selalu mendukung kebebasan pers, ditunjukkan dengan tidak mengeluarkan peraturan pemerintah untuk mengimplementasikan UU Pers karena tidak mengatur konten dari visi media.

Namun, dalam hal kebebasan pers, pemerintah melindungi masyarakat dari terpaparnya informasi negatif melalui literasi. Tidak mencampuri konten sepanjang tidak melanggar undang-undang, peraturan, dan kode etik jurnalistik.

Menjadi bebas memang mudah. Akan tetapi, ingat tanggung jawab yang menyertainya. Kalau selalu lempar batu sembunyi tangan, kapan mau bijak dan dewasa? (Dyah Dwi A/ant/yps)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.