Untuk Indonesia

Marlina Janda Muda yang Penggal Kepala Markus

Marlina si janda muda penggal kepala Markus, salah satu adegan film "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" yang mulai tayang di bioskop pada 16 November.
“Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak”, film panjang keempat Indonesia yang masuk seleksi Cannes, setelah sebelumnya Tjoet Nja’ Dhien (1988), Daun di Atas Bantal (1998), dan Serambi (2006). (Gambar: Ist)

Jakarta, (Tagar 10/11/2017) - Setelah melanglang buana di festival-festival film internasional terhitung dari Mei hingga Oktober 2017, film "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" karya sutradara Mouly Surya mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada 16 November mendatang.

Film yang dibuat selama tiga tahun ini telah lolos seleksi festival film internasional antara lain Festival Film Cannes pada Mei 2017, New Zealand international Film Festival dan Melbourne Film Festival pada Agustus 2017, Toronto International Film Festival dan Festival International du Film de Femmesde Sale (FIFFS) Maroko pada September 2017, serta Sitges Fantastic Film Festival, Busan international Film Festival, dan QCinema International Film Festival pada Oktober 2017.

"Cukup jauh perjalanan 'Marlina' sampai pulang lagi ke Indonesia. Para penonton, pembuat film, dan pelaku industri perfilman di luar negeri sangat antusias melihat film ini. Rasanya ingin sekali masyarakat Indonesia bisa merasakan antusiasme yang sama," ujar Mouly Surya dalam pemutaran terbatas film tersebut di Jakarta, Kamis (9/11).

Keluar Zona Nyaman

Mouly Suryo menyebut film besutannya menawarkan sebuah cerita dan pengalaman baru bagi penonton film Indonesia.

"Film ini akan mengajak penonton keluar dari zona nyaman. Film ini mengangkat tentang keberagaman bangsa kita itu seperti apa," kata Mouly.

Menurut Mouly kesan keluar dari zona nyaman itu dirasakan bukan hanya oleh penonton tetapi juga orang yang terlibat dalam produksi film ini termasuk dirinya.

"Ketika saya memutar film ini di luar negeri misalnya, banyak yang tanya Indonesia kan 80 persen Muslim, kenapa saya tidak melihat ada orang berjilbab di film kamu. Saya jawab, ya ini saya di pulau yang mayoritas agamanya Merapu, bahkan bukan Katolik atau Kristen. Ini adalah keberagaman bangsa kita yang menurut saya sangat menarik untuk diangkat," tutur sutradara 37 tahun ini.

Karena cerita dan alurnya yang tak biasa, Mouly pun enggan untuk menargetkan jumlah penonton filmnya di Indonesia, lagi pula dia tak terlalu berpikir banyak mengenai hal itu. Tetapi jika melihat antusiasme penonton luar negeri, dia berharap banyak akan mendapat respons yang sama dari penonton di dalam negeri.

"Di festival film mungkin cukup jauh perjalanan Marlina ini. Di Cannes (Perancis) antusiasme dari kritikus dan media luar biasa. Saya sangat senang. Begitu juga ketika diputar di Catalonia (Spanyol), Toronto (Kanada), dan Busan (Korea Selatan). Saya berharap di Indonesia pun sama," kata dia.

Ide cerita film yang antara lain dibintangi oleh Marsha Timothy (Marlina), Dea Panendra (Novi), Egi Fedly (Markus), dan Yoga Pratama (Frans), berasal dari sutradara senior Garin Nugroho.

Hadirkan Gaya Barat

Mouly Surya mengatakan, film garapannya ini menonjolkan genre western dan juga peranan gender. Genre western sendiri lazim dikenal sebagai gaya film Amerika yang menggambarkan Amerika abad ke 19 dengan kisah moralitas sederhana dan menekankan kerasnya kehidupan gurun-gurun yang kering dan tandus.

Menurut Mouly ide itu terlintas seiring riset yang dia lakukan di Sumba, tempat pengambilan gambar film. "Waktu saya ke Sumba, ada elemen genre western yang terlintas dan saya pelajari ketika kuliah. Terasa mereka jauhnya dari perkotaan. Ini jadi lebih komunikatif dan menarik,' kata Mouly.

Secara geografis, Indonesia memang tidak biasa diangkat dengan genre western, namun hal itu justru jadi keunikan film ini. "Memang tidak biasa untuk genre ini tapi karena tidak biasa jadi menarik. Genre western jadi kendaraan Marlina agar lebih dekat dan universal untuk ditonton. Karena tidak mudah memahami kehidupan di pedalaman Sumba," ucap Mouly.

Sementara dari sisi gender, film ketiga Mouly ini menampilkan lapisan-lapisan yang menarik dari sosok Marlina.

"Marlina sebagai janda, pernah jadi ibu, dan pernah jadi korban kekerasan," kata dia.

Sudut pandang perempuan memang menjadi karakteristik Mouly, sebagaimana dua filmnya yang lain. Tetapi di film ini hal itu terjadi secara kebetulan mengingat ide cerita berasal dari Garin Nugroho.

"Mengangkat perempuan bukan sesuatu yang disengaja, karena di Marlina saya bekerja dengan premis Mas Garin. Tetapi bagaimana hubungan antara lelaki dan perempuan akan selalu ada," kata dia.

Premis awal yakni kekerasan kampung yang tidak hanya terjadi di Sumba tetapi juga di banyak daerah lain di Indonesia tetap dipertahankan oleh Mouly dan Rama Adi sebagai penulis skenario, tetapi ditambahkan detil-detil budaya "kendaraan" berupa genre western ala film-film koboi.

Sulit Tahan Emosi

Aktris Marsha Timothy mengaku sulit menahan emosi saat berperan sebagai tokoh Marlina dalam film ini. "Susah sih, karena untuk Marlina dari sutradaranya sendiri menginginkan si karakter perempuan ini tidak mengeluarkan emosi yang meluap-luap," ujar Marsha.

Dalam film berdurasi 90 menit itu Marsha berperan sebagai Marlina, seorang janda muda yang hidup di Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang diserang dan dirampok ternaknya.

Kawanan perampok berjumlah tujuh orang itu mengancam nyawa, harta, juga kehormatan Marlina di hadapan suaminya yang sudah berbentuk mumi, duduk di pojok ruangan.

Untuk membela diri, Marlina membunuh beberapa orang anggota perampok tersebut dengan racun yang dicampur dalam makanan, dan memenggal kepala Markus (Egi Fedly), si bos perampok.

Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala Markus yang ia penggal malam sebelumnya.

Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra) yang menunggu kelahiran bayinya dan Franz (Yoga Pratama) yang menginginkan kepala Markus untuk kembali disatukan dengan tubuhnya.

Meski harus menghadapi peristiwa berat itu sendiri, Marsha sebagai Marlina dituntut untuk tampak tegar dan justru cenderung dingin tanpa ekspresi.

"Kalaupun nangis juga Mouly maunya tidak cengeng nangisnya," tutur ibu satu putri itu.

Tantangan lain yang dihadapi Marsha selama proses pembuatan film adalah mempelajari budaya dan dialek Sumba, juga berakting di lokasi dengan cuaca Sumba yang cukup ekstrem.

Menjalani proses lokakarya dan riset selama tiga bulan dan bergaul dengan ibu-ibu Sumba diakui sangat membantu dirinya untuk mendalami karakter perempuan Sumba.

"Setelah sering mengobrol dengan mereka menggunakan dialek Sumba, saya jadi lebih dapat feel-nya," ujar istri aktor Vino G Bastian itu.

Sulitnya memainkan peran sebagai Marlina ternyata berbuah manis saat Marsha diganjar penghargaan aktris terbaik dari Sitges International Fantastic Film Festival 2017.

Dalam festival yang diselenggarakan di Catalonia, Spanyol, Oktober lalu itu Marsha berhasil mengalahkan aktris Hollywood asal Australia, Nicole Kidman.

"Saya bersyukur dan bangga sekali. Tidak menyangka sih, yang jelas alhamdullilah banget. Mungkin keberuntungan sedang ada di pihak saya," tutur Marsha.

Selain lolos dalam festival film internasional yang cukup bergengsi dan aktris terbaik untuk Marsha Timothy dari Sitges International Fantastic Film Festival, "Marlina" juga memperoleh penghargaan film dengan skenario terbaik pada FIFFS Maroko edisi ke-11 sertapenghargaan film terbaik Asian NestWave dari The QCinema Film Festival, Filipina.

Film yang berkategori 17+ menurut Lembaga Sensor Film ini merupakan produksi bersama Cinesurya dan KaningaPictures (Indonesia), dengan beberapa mitra ko-produksi internasional yaitu Sasha & Co Production (Prancis), Astro Shaw (Malaysia), HOOQ Originals (Singapura) dan PurinPictures (Thailand). (ant/yps)

Berita terkait