'Mari Goblok Bareng' di Festival Lima Gunung

"Ini sindiran halus, 'Mari Goblok Bareng' malah menghasilkan sesuatu yang cerdas. Yang datang ke festival ini menjadi cerdas," ujar Tyas.
Penampilan paguyuban Grasak dari Tepus saat tampil pada Festival Lima Gunung XVI di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (30/7). FLG VXI menampilkan 60 kelompok kesenian dari komunitas lima gunung yang mengangkat tema "Mari Goblok Bareng" yang terinspirasi fenomena media sosial dan teknologi yang berkembang pesat. (Foto: Ant/Mohammad Ayudha)

Kawasan Gunung Merbabu memasuki petang ketika menyeruak gergeran di rumah Kuwat, salah satu warga yang rumahnya dijadikan tempat menginap tamu Festival Lima Gunung XVI/2017 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Tiga hari dua malam puncak festival seakan menjadi retret memahami tema "Mari Goblok Bareng" yang diusung seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), Kabupaten Magelang dalam pergelaran tahunan mereka.

Berbagai media massa menyampaikan berita festival tanpa sponsor tersebut, sedangkan media sosial sejak beberapa waktu sebelum festival hingga pascafestival terus mengirim kabar tentang acara itu, baik tulisan, foto, maupun video pendek. Salah satu media di Yogyakarta, bahkan menuliskan laporan jurnalistiknya dengan menaruh judul, "Festival 'Bersponsor' Tuhan".

Suasana gergeran di rumah Kuwat yang dengan keluarganya juga membuka warung makan dadakan di depan Padepokan Warga Budaya Gejayan, pimpinan Riyadi, menyeruak karena sejumlah tamu yang menginap gratis di tempat itu bercerita tentang tema "Mari Goblok Bareng".

Kala itu, mereka telah seharian mengikuti pementasan puncak Festival Lima Gunung dengan total sekitar 60 grup kesenian dari komunitas maupun jejaringnya di berbagai kota dan luar negeri.

Salah satu di antara mereka di rumah Kuwat, membacakan perbincangan melalui jaringan pribadi media sosial. Ceritanya, seorang warga Kota Magelang menonton festival dan jajan makan di salah satu warung. Tidak disebutkan pemilik warung, namun diperkirakan dibuka oleh salah satu warga setempat.

Seseorang itu bercerita membeli nasi sambel terung dan lauknya udang dua ekor. Ia ditarik membayar Rp15.000. Ia membandingkan dengan menu serupa di "Tuin van Java" (pusat kuliner di Alun-Alun Kota Magelang) yang paling-paling seharga Rp2.500.

"Ha..ha... aku digobloki. Pengalamanku hari ini. Tapi ya gak apa-apa, rezeki mereka," ujarnya.

Lawan perbincangan japri, selain membalas dengan ucapan selamat karena telah menikmati "Mari Goblok Bareng" pada Festival Lima Gunung juga menuliskan ceritanya yang kaget karena isterinya ternyata juga hadir dalam festival tersebut.

"Bojoku yo jebule teka (Isteriku ternyata juga datang, red.) nonton festival, melu (ikut, red.) goblok bersama juga," begitu jawabannya.

Mengalir jawaban dari lawan japri, dengan menyebut bahwa virus goblok sudah menjalar ke mana-mana.

"Sampeyan ki yo ra pengertian, ngerti acara apike koyo ngono kok bojo ditinggal (Anda memang tidak empati, ada acara festival yang luar biasa seperti itu, tidak mengajak isteri, red.)," begitu katanya.

Jawaban lawan japrinya, "Aku juga goblok bersama", masih dibalas lagi dengan kiriman kalimat, "Nek wis muni goblok njuk raiso ngritik je. Kekunci" (Kalau sudah bilang goblok tidak bisa mengkritik. Terkunci, red.)".

Itulah sepenggal ungkapan pemahaman tentang tema "Mari Goblok Bareng" dalam festival yang membuat gergeran sejumlah orang di rumah Kuwat petang itu. Kuwat dan isterinya ikut tertawa dalam perbincangan mereka yang hangat saat jeda menuju lanjutan pementasan malam harinya, Minggu (30/7).

Nyaris tidak ada orang yang marah, kecewa, sedih, galau, atau merasa harkatnya direndahkan ketika ungkapan-ungkapan "goblok" memeriahkan panggung pementasan festival.

Rangkaian festival itu antara lain berupa pentas tarian dan musik tradisional maupun kontemporer, performa seni, pidato kebudayaan, pengajian peresmian masjid desa, sarasehan budaya, peluncuran buku antologi puisi, pekan swafoto, pameran seni rupa, dan kirab budaya, serta pemukulan gong sebagai tanda puncak festival.

Dalam pidato di atas panggung seluas 120 meter persegi dengan instalasi burung garuda dan naga terbang ukuran raksasa dari bahan- bahan alam, Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto selain berterima kasih atas partisipasi semua kalangan untuk menyemarakkan festival, juga menyatakan kebebasan setiap orang untuk membangun persepsi masing-masing tentang tema "Mari Goblok Bareng".

"Terima kasih atas partisipasi siapa saja yang hadir dalam festival ini. Terima kasih kepada media, hadirin selama tiga hari. Anda memiliki persepsi masing-masing tentang 'Mari Goblok Bareng' Ini festival hati, kita bisa berkumpul, semoga kita bahagia dan gembira," katanya setelah memimpin kirab budaya para seniman mengelilingi jalan-jalan dusun di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut di kawasan Gunung Merbabu itu.

Massa kira-kira puluhan ribu orang, baik warga desa-desa Gunung Merbabu sekitar Dusun Gejayan maupun para tamu festival dari berbagai kota dan luar negeri yang memadati panggung festival, dibuat tersenyum dan tertawa gembira ketika dalam suatu performa dipimpin Inung, mereka bersama-sama dengan serempak mengucapkan "goblok".

Dari kursi rodanya, ia meminta massa mengucapkan "goblok" setelah dirinya mengakhiri kalimat dengan kata "grak". Terdengar ia meneriakkan, "pasukan siap...grak!", massa pun meneriakkan kata "goblok". Teriakan, "Komunitas Lima Gunung siap...grak!", massa menjawab dengan, "goblok". "Presiden Lima Gunung Sutanto...grak!" juga dijawab massa dengan, "goblok".

Selain itu, terdengar teriakan Inung, "Saya... grak!" yang juga dijawab massa dengan kata, "goblok". Begitu juga ketika teriakannya, "Kepada anda sendiri... grak!", massa kemudian membalas dengan, "goblok". Dan gergeran pun menyeruak mengiringi tepuk tangan meriah.

Sebelum disahut tabuhan gamelan dengan irama rancak pengiring tarian kontemporer desa "Geculan Bocah" oleh anak-anak Gejayan, semua penonton festival yang tertawa gembira itu, kemudian dibawa merefleksikan keindonesiaan dengan bernyanyi bersama-sama lagu "Indonesia Pusaka".

Dengan dua penari melambai-lambaikan bendera "Merah Putih" di panggung festival, massa hanyut dalam rengkuhan lantunan lagu "Indonesia Pusaka", karya Ismail Marzuki.

Sejumlah pementasan kesenian lainnya dalam rangkaian puncak Festival Lima Gunung (28-30 Juli 2017) menyelipkan ungkapan gergeran atas tema "Mari Goblok Bareng" sebagai refleksi kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang oleh mahasiswi filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Laily Prihatingtyas, disebut sebagai sindiran halus.

"Ini sindiran halus, 'Mari Goblok Bareng' malah menghasilkan sesuatu yang cerdas. Yang datang ke festival ini menjadi cerdas," ujar Tyas yang juga mantan direktur utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko itu.

Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) hadir pada malam pertama rangkaian puncak Festival Lima Gunung, Jumat (28/7), setelah pimpinan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), memimpin pengajian warga Gejayan untuk meresmikan pembangunan masjid desa itu, sore harinya. Peresmian masjid itu masuk dalam rangkaian festival.

Cak Nun yang bagian dari sanak kadang Komunitas Lima Gunung dan sahabat karib budayawan serta inspirator utama komunitas itu, Sutanto Mendut, dalam sarasehan budaya di panggung festival, memberikan pencerahan atas pemahaman tema "Mari Goblok Bareng".

"Judul 'Mari Goblok Bareng' adalah judul paling cerdas di dunia. Ada pinter goblok, apik elek, penak sengsara. (pintar-goblok, baik-buruk, bahagia-sengsara, red.)," katanya.

Diungkapkan oleh Cak Nun bahwa orang yang mengaku goblok sesungguhnya tidak goblok, tetapi orang mengaku pintar maka dipastikan goblok.

Oleh karena itu, tema festival tahun ini justru mengajak setiap orang untuk bersama-sama tidak keminter (sok pintar, red.) sebagaimana orang desa karena kerendahan hatinya sering mengaku sebagai tiyang bodho atau wong goblok (orang bodoh).

Jurus sakti orang desa untuk keluar dari problemnya, dikatakannya justru dengan mengaku diri sebagai wong goblok dan wong elek (orang jelek).

"Jadi judulnya sebenarnya, ayo bareng-bareng ora keminter (tidak merasa pintar, red). 'Nek ndesa goblok merga iso rumangsa, nek kutho rumangsa iso. Festival e wong goblok Lima Gunung. Ini kumpulan orang yang emoh keminter'. (Kalau orang desa mengaku goblok karena mereka rendah hati, kalau kota tinggi hati. Ini festivalnya orang goblok Lima Gunung, kumpulan orang-orang yang tidak sok pintar, red.)," katanya.

Cak Nun pun mengungkapkan gembira berkesempatan hadir dalam festival tersebut. Festival Lima Gunung dengan tema "Mari Goblok Bareng" disebutnya menjadi ungkapan puncak cinta manusia Lima Gunung, sedangkan mereka yang hadir dalam festival adalah orang-orang yang memegang semangat saling tresna atau saling mencintai sesama.

"Aku seneng banget goblok bareng," ucapnya yang disambut gergeran massa malam itu.

Respons gergeran massa yang hadir dalam puncak festival, dianggap budayawan Sutanto Mendut sebagai potret atas realitas bersama dalam berbagai aspek kehidupan saat ini.

Bagi mereka yang tidak bisa hadir langsung dalam rangkaian festival pun diyakini memahami dengan baik atas tema reflektif "Mari Goblok Bareng".

"Ini memang potret kita bersama. Yang berpengaruh untuk kebersamaan itu kalau tidak "goblok bareng" ya "pintar bareng". Tidak mungkin berguna kalau goblok sendiri atau pintar sendiri," ucapnya dalam perbincangan di pojok belakang panggung garuda pada tengah malam terakhir puncak Festival Lima Gunung.

Ketika ditanya "Akankah pemahaman tema itu bergulir kepada publik yang lebih luas pascafestival?", ia menjawab dengan singkat dan moderat, "Setidaknya akan mengurangi sikap 'keminter' manusia Indonesia". (Fet/Ant/M. Hari Atmoko)

Berita terkait