TAGAR.id - Serangan teror di Malaysia sempat memicu diskursus tentang pengaruh Jemaah Islamiyah dan organisasi asing. Namun, tersangka pelaku terbukti bertindak seorang diri, antara lain karena sempitnya ruang bagi gerakan jihadis. Kersten Knipp melaporkannya untuk DW.
Kampung Sungai Tiram yang terletak terpencil di luar Kota Johor Bahru, Malaysia, tidak menawarkan kehidupan normal bagi Radin Luqman. Suasana lengang menaungi sejumlah bangunan yang berceceran di sepanjang jalan, melengkapi
Bersekolah pun tidak dapat dilakukannya sebagaimana anak-anak lain. Dia sebaliknya diajar di rumah oleh kedua orang tua, yang berbaiat demi jihad kepada organisasi teror asal jiran Indonesia, Jemaah Islamiyah (JI).
Latar belakang inilah yang diyakini menggerakkan Luqman untuk menebar aksi teror pada 17/5/2024 lalu. Dia menyerang sebuah pos polisi di kota Ulu Tiram dengan sebilah pisau dan menusuk seorang perwira yang sedang bertugas. Luqman mengambil pistol dinas korban, menembak seorang polisi dan melukai petugas lain, sebelum akhirnya tewas tertembak dalam kontak senjata.
Luqman sendiri tidak berhubungan lagsung dengan Jemaah Islamiyah. Menurut hasil penyidikan, hanya sang ayah yang terikat resmi dengan organisasi teror tersebut. Otoritas Malaysia akhirnya mengumumkan tersangka sebagai pelaku individual dan tidak diarahkan oleh organisasi manapun.
"Aksi terisolasi" serigala penyendiri
Perkiraan serupa dilayangkan Saskia Schäfer dari Institut Studi Asia dan Afrika di Universitas Humboldt, Berlin, Jerman. Menurutnya, gerakan jihadis tidak memiliki ruang di Malaysia. "Serangan ini jelas merupakan aksi terisolasi," kata dia kepada DW.
Menurutnya, sulit dibayangkan kemunculan gerakan jihadis di Malaysia. "Sel teror tidak muncul tiba-tiba, melainkan disuapi oleh kepentingan sejumlah aktor, yang tidak dimiliki Malaysia."
Pakar Asia Tenggara Andreas Ufen dari Institut Studi Global dan Area Hamburg, GIGA, juga berpandangan serupa. Sudah selama bertahun-tahun Malaysia tidak lagi menjadi sasaran serangan teror.
Iklim restriktif bagi jihadis
Otoritas keamanan Malaysia dikenal ketat memantau sel-sel jihadis, dan tidak jengah menerbitkan surat penangkapan. Pada Juni lalu, misalnya, kepolisian Malaysia menahan Muhammad Sani, karena menyebar konten Islamic State di Facebook dan menyimpan materi propaganda ISIS.
Tuduhan yang lebih berat diarahkan kepada Aabid Zarkasi. Pria berusia 28 tahun ketangkap tangan pada bulan Juni lalu ketika sedang merakit bahan peledak. Dia diklaim berniat melancarkan serangan atas nama Islamic State.
Menurut laporan The Diplomat, Malaysia memang sejak lama menghadapi fenomena serigala penyendiri di kalangan radikal dan ekstremis. Mereka tidak bertindak di lingkup organisasi, melainkan di dalam keluarga atau di lingkungan pertemanan.
Sebabnya, serigala penyendiri dikenal sulit dideteksi otoritas keamanan. Selain lingkungan dekat, internet berperan besar dalam mendorong radikalisasi kelompok konservatif muslim di Malaysia.
Dukungan lemah di dalam negeri
"Malaysia sejauh ini tidak menghadapi organisasi atau aktor kuat yang bertekad menggerakkan kelompok jihadis demi menebar teror," kata Saskia Schäfer.
"Ditambah lagi, pemerintah mengontrol secara ketat. Kita harus pahami, bahwa Malaysia adalah sebuah negara otoriter yang mengatur dan mengawasi kehidupan beragama. Di dalam lingkup seperti ini, kelompok teror akan kesulitan merekrut jihadis baru," imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Andreas Ufen, dari Institut GIGA Hamburg. Sebagian besar partai di negara multi-etnis Malaysia, terutama yang dipilih oleh kelompok etnis Tionghoa dan India, berorientasi sekuler.
Adapun aspirasi mayoritas muslim kebanyakan diserap oleh Partai Islam Malaysia, yang dikenal secara lokal sebagai PAS.
"Posisi Islam ortodoks hingga ultrakonservatif, sampai batas tertentu, diadopsi ke dalam politik PAS. Dengan orientasi dasarnya yang moderat, PAS mampu menyerap arus reaksioner sekalipun dan memperkenalkannya ke dalam politik praktis, sehingga hampir tidak ada ruang di luarnya, untuk membuat jihadisme tumbuh besar.”
Keamanan melalui jaminan sosial
"Selain itu, pemerintah Malaysia sendiri cenderung berwajah Islami karena menerapkan prinsip agama dalam kehidupan bernegara," kata Saskia Schäfer lebih lanjut. "Ini berarti bahwa aspirasi Islam dihormati dan diperhitungkan dalam kerangka hukum yang ada.”
Menurut sebuah editorial di situs berita Fulcrum, di luar faktor keamanan, "otoritas di Malaysia juga harus mengatasi isu-isu seperti kesejahteraan masyarakat, kesadaran kesehatan mental, kesenjangan sosial ekonomi, akses yang setara terhadap pendidikan dan persepsi negatif tentang marginalisasi,” tulis media terbitan ISEAS – Yusof Ishak Institute tersebut.
"Bahkan jika tersangka digerakkan oleh motivasi agama, situasi sosial, ekonomi, keluarga dan kemasyarakatan yang dia hadapi juga mempengaruhi cara dia mempraktikkan naskah agama, dan dengan begitu keputusannya untuk menggunakan kekerasan." (rzn/as)/dw.com/id. []