MAKI Laporkan Deputi Penindakan KPK ke Dewas

Koordinator MAKI Boyamin Saiman sebut laporan itu berisikan tentang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Karyoto.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. (Foto: Tagar/Rizkia Sasi)

Pematangsiantar - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan Deputi Pimpinan Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Karyoto atas penyampaian release kegiatan Pperasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Mei 2020 kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui siaran persnya mengatakan, laporan itu telah disampaikan melalui email, Selasa, 26 Mei 2020. Laporan itu berisikan tentang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Karyoto.

Semestinya jika giat tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasinya maka potensi gagal adalah kecil.

"Karyoto melakukan release sendirian, hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberi pernyataan terkait penanganan suatu perkara (kasus) kepada media adalah pimpinan KPK dan atau Juru Bicara (Jubir) KPK," katanya kepada Tagar.

Pada poin berikutnya, MAKI mempermasalahkan penyebutan nama lengkap terduga pelaku OTT yang diamankan KPK. Seyogiyanya menurut mereka, dalam hal seperti ini yang harus dilakukan adalah hanya menyebutkan inisial.

"Penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang diamankan dan atau pemeriksaan, padahal semestinya penyebutan nama dengan inisial demi azas praduga tidak bersalah dan selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT," ujarnya.

Dia menambahkan, Karyoto dalam narasi pembukaan awal release menyatakan merespon pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT.

"Dapat kami jelaskan sebagai berikut, hal ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk release," kata dia.

MAKI menjelaskan, kegiatan tangkap tangan terhadap staf Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail. 

"Mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk melakukan giat tangkap tangan. Semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya sehingga ketika sudah dilakukan giat tangkap tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya," ucapnya.

Perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan tersebut, Boyamin menduga OTT tidak melibatkan Jaksa yang bertugas di KPK. 

"Hal ini berdasar hasil giat tangkap tangan yang gagal karena semestinya jika OTT dilakukan dengan melibatkan Jaksa semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK. Dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan penanganan perkara termasuk OTT semestinya melibatkan Jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, kewenangan para pihak, dan analisis SWOTnya," kata dia.

Selanjutnya, OTT diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi Penyelidikan sebagaimana ditentukan SOP dan KUHAP untuk pengamanan seseorang atau penangkapan dan permintaan keterangan para pihak dari Staff dan Rektor UNJ, kata Boyamin.

Karyoto melakukan release sendirian, hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK.

"Semestinya jika giat tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasinya maka potensi gagal adalah kecil. Kegiatan tangkap tangan sesuai prosedur standar adalah dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait. Dalam kegiatan tangkap tangan ini jika dilakukan penyadapan maka saya yakin tidak ada ijin penyadapan dari Dewas atau jika tidak dilakukan penyadapan maka telah melanggar SOP KPK," ujarnya.

"Kami membatasi diri untuk tidak memasuki pokok perkara apakah dalam OTT tersebut terdapat Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau tidak ada TPK. Selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan yang berlaku," tambah Boyamin. []

Berita terkait
MAKI Sebut OTT Rektor UNJ Supaya KPK Dianggap Bekerja
MAKI menilai OTT terhadap Rektor UNJ Komarudin supaya KPK dianggap bekerja. Pelimpahan kasusnya ke Polri juga dinilai janggal.
MAKI: KPK Mau-maunya Urus Penyaluran Bansos Covid-19
MAKI memandang masih banyak lembaga negara yang mampu mengawasi bansos Covid-19, tetapi kenapa KPK mau-maunya urus penyaluran bansos?
Lembeknya Dewas KPK Dianggap Tak Pantas Bergaji Tinggi
Dewan Pengawas (Dewas KPK) bergaji lebih Rp 80 juta per bulan. Dinilai lembek berkinerja, Dewas KPK apakah pantas bergaji tinggi?
0
Pemimpin G7 Janjikan Dana Infrastruktur Ketahanan Iklim
Para pemimpin dunia menjanjikan 600 miliar dolar untuk membangun "infrastruktur ketahanan iklim" perang Ukraina juga menjadi agenda utama