Ma'Baca-baca, Kolaborasi Adat dan Agama Suku Bugis

Tradisi Ma'Baca-baca, Kolaborasi Adat dan Agama di suku Bugis-Makassar.
Tradisi Ma' Baca-baca saat hari Lebaran yang dilakukan sebagian besar masyarakat Suku Bugis-Makassar. (Foto: Tagar/Afrilian Cahaya Putri)

Bone - Ma' Baca-baca berarti membacakan doa dihadapan hidangan makanan yang menjadi sebuah tradisi suku Bugis-Makassar, masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Ma'baca-baca umumnya dilakukan masyarakat saat Lebaran maupun dalam rangkaian acara ritual adat Bugis-Makassar, baik itu pernikahan, akikah, sunatan, hingga ketika ingin memasuki rumah baru.

Ritual Ma'Baca-baca ini biasanya dilakukan oleh orang yang dianggap sesepuh atau tokoh masyarakat dalam sebuah kampung atau orang yang dituakan dalam sebuah keluarga.

Dimana, dihadapan sesepuh akan dihidangkan makanan yang telah ditata dalam sebuah nampan yang orang Bugis menyebutnya  'Bakik', dilengkapi dengan tungku kecil yang disebut dupa-dupa yang berisikan bara api. 

Baca juga: Lemang Bambu, Oleh-oleh Khas Jeneponto Sulsel

Nantinya bara api tersebut akan ditaburi bubuk berwarna merah sehingga menghasilkan asap yang berbau menyengat. Disitulah sesepuh memulai Ma'baca-baca.  

Ma'Baca-baca sendiri bagi kalangan suku Bugis-Makassar tidak dianggap sebagai sebuah kesyirikan. Mengingat doa yang dipanjatkan bukanlah berupa mantera, melainkan salawat dan sederet ayat-ayat Alquran yang ditujukan kepada Allah SWT. Dimana, di Suku Bugis sendiri tradisi ini memunculkan sebuah kolaborasi antara adat istiadat dengan agama.

Saya cukup mendengar dengan jelas, kalimat-kalimat ayat suci diucapkan oleh sesepuh kampung saat melakukan Baca-baca. Satu persatu nampan berisikan makanan tersebut dibacakan doa.

Tradisi ini sudah menjadi keyakinan turun temurun suku Bugis-Makassar dari nenek moyang. Terlebih orang Bone. Sehingga sulit untuk ditinggalkan meskipun zaman sudah berganti.

"Atur piring disetiap bakik Nak, masukkan satu persatu lauknya," seru Nenek Nuhari dari dalam dapur.

Baca juga: Jen'ne Tallasa, Permandian Modern di Tengah Perkampungan

Disetiap nampan berisi lauk pauk yang beragam dan juga tidak ketinggalan beras ketan putih ataupun hitam yang disebut "Sokko" atau orang Makassar menyebutnya "Songkolo".

Selain Songkolo, juga ada makanan khas Bugis-Makassar lainnya, yakni Buras atau Burasa. Makanan khas Bugis-Makassar ini menyerupai lontong, hanya saja selain bahan utamanya beras, Buras menggunakan santan yang membuat rasanya gurih dan dibungkus dengan daun pisang. Tidak ketinggalan pula kelapa muda dan pisang turut disajikan disebuah warah terpisah.

Wujud Rasa Syukur

Mengimplementasikan rasa syukur orang tentu berbeda-beda. Di suku Bugis sendiri, bentuk implementasi dari rasa syukur tidak hanya dengan sebuah ucapan. Melainkan dengan sebuah tindakan. 

Dengan melakukan Ma' Baca-baca menjadi salah satu wujud ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT atas limpahan rezeki yang diberikan selama ini.

Nenek Nuhari, adalah nenek saya yang sudah sejak dulu kala rutin melakukan Ma' Baca-baca, bahkan nyaris tidak pernah melewatkan momentum lebaran tanpa tradisi tersebut.

"Tidak boleh kalau tidak dilakukan, ini bentuk rasa syukur kita kepada Allah (Puang Allah Ta'ala)," ucapnya  dengan logat Bugisnya yang kental sembari menuangkan nasi disetiap piring.

Baca juga: Menyusuri Adat Attauriolong Masyarakat Bugis

Ada yang menarik dari tradisi Ma' Baca-baca dikeluarga saya. Dalam setiap nampan atau Bakik yang berisi makanan tersebut akan didoakan dan ditujukan kepada sebuah objek tertentu. Misalnya saja, nampan A doanya ditujukan kepada ke-7 adik saya yang telah duluan dipanggil Allah.

Begitupun dengan nampan B yang doanya ditujukan untuk rumah baru yang belum lama ini saya beli, dan seterusnya.

Didatangi Leluhur

Nenek meyakini, jika tradisi Ma' Baca-baca ini tidak dilakukan maka ada yang mengganjal dihatinya, seperti ada yang kurang. Dan parahnya lagi, dirinya akan mimpi didatangi para leluhur. Itu sebabnya, Nenek tidak pernah sekalipun melewatkan tradisi Ma'baca-baca ini ketika ada hal baik yang datang di keluarganya, baik itu kepada anaknya, maupun para cucunya.

Wajib Disantap Bersama

Hidangan yang telah di baca-baca dengan doa tersebut wajib disantap bersama-sama, baik itu keluarga hingga memanggil tetangga, selain berbagi nikmat, makan bersama ini juga dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim dalam kehidupan bertetangga.

"Ayo kerumah, sudah di baca-baca makanan, panggil semua yang ada disitu," suara nenek kedengaran saat memanggil tetangga untuk makan bersama.

Sebagai seorang cucu yang masih awam dengan tradisi seperti ini, saya pernah meluncurkan protes. Menurut saya apa yang dilakukan nenek tidaklah diperbolehkan dalam agama. Jika dilihat sepintas, orang awam akan menilai tradisi ini adalah bentuk kesyirikan.

Melihat aksi protes tersebut, Nenek bahkan membalasku dengan nada kesal dan marah. Menurutnya, jika tidak sesuai dengan logika saya, nenek melarang saya untuk memakan  apa yang telah dihidangkan.

Melihat respon nenek dengan wajah kesalnya, saya pun diam dan tidak berniat lagi mengomentari apa yang menjadi kepercayaan nenek Nuhari. []

Baca juga: Bocah Pemburu Koin di Danau Toba

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.