Lombok Seribu Tenda Hingga Kematian Kian Akrab

Lombok dikenal Pulau Seribu Masjid dalam sekejap berubah menjadi Pulau Seribu Tenda, dan kematian terasa begitu akrab.
Lombok Seribu Tenda Hingga Kematian Kian Akrab | Korban gempa bertahan hidup di pengungsian, tinggal di tenda. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Mataram, (Tagar 26/8/2018) - Lombok yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid, kini dalam waktu sekejap berubah menjadi Pulau Seribu Tenda. Sejak gempa bumi 7,0 skala richter mengguncang Lombok pada Minggu malam (5/8), tenda jadi tumpuan nasib. Hidup dalam tenda pengungsian, seribu harapan warga digantungkan.

Minggu malam (5/8) sekira pukul 19.23 Wita menjadi catatan waktu yang tak terlupakan bagi masyarakat yang tinggal di Lombok. Bumi Lombok terguncang hebat, merobohkan puluhan ribu rumah. Catatan Badan Penanggulan Bencana (BNPB) menyebutkan hingga lebih dari 500 jiwa manusia tewas akibat tertimpa reruntuhan bangunan.

Bukan hanya sekali, bahkan ribuan kali Lombok "dihajar" lindu berkali-kali sejak sebelumnya pada Minggu pagi (29/7) lindu berskala 6,4 mengguncang Lombok Utara dan Lombok Timur. Ratusan rumah dan bangunan lainnya hingga ratusan korban nyawa tewas.

Pada Kamis siang, (9/8) Lombok diguncang 6,2 skala richter. Lindu berskala besar, 6,9 terulang kembali menggetarkan Lombok pada Minggu malam, (19/8). Hingga gempa magnitudo 5.6, pada 26 Agustus 2018, pukul 02:33:18 Wita, Lokasi 8.47 LS, 116, 93 BT, 41 km Timur Laut Lombok Timur, pada kedalaman 10 Km, kembali dirasakan di Lombok barat, Lombok utara, Sumbawa, Lombok timur, Mataram, hingga Kuta dan Denpasar Bali.

Gempa LombokAnak-anak di pengungsian. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Rentetan kejadian itu bukan hanya mengakibatkan korban jiwa dan banyaknya properti bangunan yang roboh, namun juga kekalutan dan rasa traumatik yang tinggi menyelimuti warga seantero Lombok dan Sumbawa.

Ketakutan akut itu membuat warga menggantungkan keselamatannya sementara hidup di bawah tenda pengungsian. Bukan hanya warga yang rumahnya hancur, namun warga yang rumahnya tak mengalami kerusakan serius sekalipun tak luput ikut tidur di dalam tenda. Posko-posko tenda pengungsian darurat berdiri bak seribu cendawan tumbuh di musim penghujan.

"Saya sudah ndak berani tidur di dalam rumah. Jangankan tidur dalam rumah, setiap kali mau masuk rumah, perasaan saya mau lindur aja, saya takut," ungkap Hairiah (65) warga Cakranegara, Mataram. Dia serta dua anak, satu menantu dan dua cucunya memilih tinggal di tenda pengungsian sejak lindu 7,0 skala richter mengguncang Lombok.

Hal yang sama diungkapkan Opan (30) warga Desa Jeringo, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Ia dan keluarganya membikin tenda di halaman rumahnya yang ikut roboh diterjang lindu 7,0 SR.

Gempa LombokMenjemur pakaian di pengungsian. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

"Beginilah keadaan kami sekarang. Rumah saya bagian depannya memang tampak tak ikut roboh, tapi di dalamnya dinding-dinding kamar tidur dan dapur roboh semua. Saya sudah ndak berani masuk rumah. Gempa yang terus-menerus ini bikin ngeri," ujarnya kepada Tagar News saat berkunjung ke rumahnya.

Opan pun bercerita saat kejadian gempa. Istrinya Ika (30) sedang hamil besar. Saat malam pukul 19.23 Wita, Ika hendak masuk ke dalam rumah sambil menggendong anak perempuanya yang baru 2,5 tahun. Ia hendak menyiapkan makanan buat Opan yang masih berada di luar halaman rumah, ia baru saja pulang kerja di Mataram. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat. Ika yang masih berada di ruang dapur menjerit ketakutan.

Atap dapur yang tak berplafon runtuh seketika mengenai punggungnya, di tengah kepanikannya, ia berlari keluar sambil menunduk untuk melindungi anaknya yang masih dalam gendongan. Dinding kamar runtuh, namun bersyukur tak mengenai badannya. Listrik padam, bumi gelap tanpa penerang.

Di tengah kegelapan, Opan yang sedang berada di luar masuk menyelamatkan anak dan istrinya. Mereka berhasil keluar dan mencari tempat yang aman dari reruntuhan bangunan. Bersama keluarga dan tetangganya berkumpul di halaman. Suara tangis dan rapal takbir dan istigfar berkumandang, memecah keheningan malam yang gelap gulita.

Gempa LombokPetugas medis melayani kesehatan pengungsi korban gempa Lombok. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Selang beberapa menit kemudian, kabar buruk datang. Beberapa orang tak dikenal datang mengendarai motor sambil berteriak mengumumkan air laut di Pantai Ampenan tengah pasang dan sudah masuk ke perkampungan warga. Apalagi malam itu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mataram sempat mengeluarkan peringatan dini tentang adanya potensi tsunami.

Dalam suasana kekalutan dan ketakutannya mendengar kabar akan datangnya tsunami, warga Desa Jeringo berhamburan naik ke atas bukit untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Tak sulit bagi warga untuk mencapai puncak bukit, sebab topografi desa berada dekat areal perbukitan. Kampung sepi tak berpenghuni, ditinggal warganya.

Opan dan keluarganya yang lain tak ikut mengungsi ke atas bukit. Gadget tetap ia nyalakan untuk memantau informasi dari aplikasi BMKG yang ia unduh sebelumnya. Beberapa menit kemudian peringatan dini tentang adanya potensi Tsunami telah dicabut BMKG. Opan lega, ia sudah mulai bisa bernapas dengan tenang. Denyut jantungnya tak bergemuruh lagi.

Dini hari, hingga menjelang subuh, ia dan anggota keluarganya yang lain memberanikan diri masuk ke dalam rumah untuk mengambil terpal. Mereka mendirikan tenda seadanya di halaman di sela reruntuhan dan puing-puing rumah yang roboh.

Gempa LombokGedung tinggi dihajar gempa. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Senin pagi (6/8) warga Desa Jeringo turun dari atas bukit. Isu tsunami yang ditakutkan tak kunjung terjadi. Warga turun dengan hati lega. Setelah melihat kembali keadaan rumah mereka yang rata dengan tanah, laporan tentang berita kehilangan barang-barang berharga kembali menghampiri warga.

"Kalau isu soal banyaknya maling itu bukan isu hoaks lagi. Itu benar, karena di sini, saya dengar ada yang menyebutkan 10 unit motor warga Desa Jeringo hilang saat malam akan terjadinya tsunami itu. Ada juga yang kehilangan uang dan barang berharga lainnya," tutur Opan.

Kehilangan itu mungkin terjadi, lanjut dia, karena saat Minggu malam (5/8) semua warga mengungsi, meninggalkan rumah masing-masing, takut terjadi gempa susulan dan adanya isu tsunami.

Seperti dituturkan Opan dan dari pantauan Tagar News di lokasi, Desa Jeringo termasuk desa yang mengalami kerusakan parah akibat terjangan gempa bumi bertubi-tubi. Hampir 95 persen rumah warga ambruk. Bangunan lainnya ada yang tidak ikut ambruk, tapi mengalami keretakan sana-sini di dindingnya.

Gempa LombokBangunan porak-poranda akibat guncangan gempa. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Bulan Madu di Tenda

Di sisi lain, tenda menjadi kebutuhan utama korban gempa Lombok, selain tentunya makanan, air bersih, dan obat-obatan. Terlebih bagi warga yang sangat terdampak akibat terjangan gempa yang tak berkeseduhan selama hampir satu bulan. Titik pusat gempa pun tidak hanya di Lombok, namun juga berpindah ke Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, akibat banyak yang warga yang meninggalkan rumah meski kondisinya masih bagus, BNPB harus mengirim terpal gulung dan tenda tambahan ke Pulau Lombok. Totalnya 30 ribu buah. Dari jumlah tersebut, 22 ribu buah sudah tiba di Lombok dan sisanya dalam proses pengiriman.

"Tenda ini memang masih ada kekurangan, karena kebutuhan tenda bertambah. Sebab, masyarakat yang seharusnya tidak perlu di pengungsian karena rumahnya masih bagus memilih tidur di halaman rumah untuk antisipasi gempa," terangnya.

Sementara itu di Mataram, ketersediaan tenda menjadi komoditas kebutuhan dadakan yang semakin meningkat. Sebelum gempa pada Minggu, (19/8) lalu tenda-tenda pengungsian di tanah lapang terlihat agak berkurang, sebagian warga pindah membangun tenda di depan teras rumah. Sebagian warga lainnya kembali membangun tenda di lapangan, bergabung dengan warga  lainnya dari pelbagai asal lingkungan tempat tinggal.

Gempa LombokBertahan di pengungsian. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Semakin bertambahnya jumlah tenda pengungsian seperti terpantau di Lapangan Pajang Timur, Kelurahan Pejanggik, Kota Mataram. Awalnya tenda yang ada berjumlah sekitar lima belasan tenda. Kini hampir lebih lima puluhan tenda berdiri sejak gempa (19/8) lalu.

Bukan hanya itu, Bahrudin (55) warga Lingkungan Karang Kemong, Kelurahan Cakranegara, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram memanfaatkan kondisi pengungsian untuk menggelar barang dagangannya. Ia menjadi pengungsi sekaligus berdagang di lokasi pengungsian.

"Saya mengungsi di sini, sekalian buka dagangan. Kalau di rumah kan saya tutup sejak gempa itu. Sedikit membantu kebutuhan warga pengungsi di sini yang butuh berbelanja. Hasilnya lumayan juga. Daripada saya nutup terus nunggu kondisi aman gempa, sampai kapan, kan kita ndak tahu juga," ungkapnya.

Gempa LombokMencari sesuatu dari reruntuhan rumah. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Hal berbeda dilakoni Novriyawan (29) dan Dewi Sintia (25). Pasangan pengantin ini melangsungkan akad nikahnya, Sabtu (25/8) kemarin di tengah tenda darurat pengungsian warga di Dusun Gegurun, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur.

"Ya, mau gimana lagi. Udah lama kami tunda rencana pernikahan kami. Sejak tiga bulan sebelumnya kami rencanakan nikah di tanggal 13 Agustus 2018 kemarin. Tapi tertunda terus gara-gara gempa ini ndak berhenti-berhenti,"

Dipilihnya tanggal 25 Agustus pun, ungkap Dewi kepada Tagar News, jadwal awalnya sebenarnya tanggal 26, namun karena beredarnya isu tsunami yang santer diisukan di media sosial, hasil rembug keluarga memutuskan hari pernikahannya dimajukan jadi tanggal 25. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana, tenda-tenda dan warga pengungsi di lokasi akad di halaman SDN 3 Pohgading menjadi saksi bahwa jodoh pasangan pengantin ini tidak bisa lagi ditunda, meskipun dalam keadaan darurat bencana gempa.

Gempa LombokBahan kain apa saja yang bisa dipakai untuk membuat tenda, untuk berteduh dari panas di pengungsian. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Setelah akad dilangsungkan pada pagi hari Sabtu (25/8) siang harinya ia dan suami berkemas meninggalkan Dusun Gegurun yang memang letaknya berada dekat dengan pantai. Dewi dan suami mengungsi ke tenda pengungsian Desa Danger, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur. Berjarak sekitar 20 kilo meter dari Pohgading.

"Pohgading ini desa yang terdampak cukup parah setelah Desa Batuyang. Dua desa ini satu wilayah kecamatan. Banyak warga mengungsi. Desa sepi semua. Warga-warga pada pindah ke kecamatan lain yang lebih aman dari tsunami," tutur Dewi.

Masa bulan madu dijalankan di tenda pengungsian. Dewi pun mengaku harus menahan diri dari kebutuhan batiniah; suami dan dirinya belum berani masuk tidur di dalam kamar rumah, karena takut akan adanya gempa susulan.

Berlindung di Kuburan

Terbatasnya lahan dan minimnya tanah lapang yang aman dari terpaan reruntuhan bangunan, banyak warga di Kota Mataram yang membikin tenda di atas areal tanah pemakaman.

Gempa LombokTenda di mana-mana. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

"Lahan terbatas, tanah lapang yang aman dari guncangan gempa lokasinya jauh. Makanya kami memilih membuat tenda di sini, di atas kuburan ini," tutur Munawir (45).

Lokasi kemah pengungsian di atas lahan kuburan itu terletak di Lingkungan Punia Saba, Kelurahan Punia, Mataram. Terdapat 6 tenda dibuat berukuran 4x6 dan 10x4 meter. Tenda dihuni sekitar 50an Kepala Keluarga dari dua Rukun Tetangga.

Warga yang membangun tenda di atas areal kuburan jumlahnya kian banyak. Di Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang lokasinya berada di Lingkungan Peresak, Kelurahan Pagutan, Kota Mataram warga sekitar juga menjadikannya sebagai tempat membangun tenda pengungsian

"Sudah lama mereka mengungsi di kuburan ini. Mereka sudah tidak takut hantu. Apalagi roh-roh bergentayangan. Kematian sudah terlalu sering mereka rasakan, datang mengancam sejak kejadian gempa terus-menerus, ndak ada hentinya," tutur Hafiz, warga Pagutan. []

Berita terkait