Lima Argumen Orang dengan Gangguan Jiwa Harus Dilindungi Hak Memilih Dalam Pemilu

Berikut ini lima argumen orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) harus dilindungi hak memilih dalam Pemilu 2019.
Pasien penderita gangguan jiwa menjalani perawatan di dalam kamar di eks Terminal Cilembang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (17/10/2018). Yayasan Mentari Hati yang berdiri sejak 2007 merupakan tempat rehabilitasi para pasien mengidap gangguan jiwa yang ditemukan dipinggir jalan untuk disembuhkan dan dikembalikan kepada keluarganya dengan jumlah pasien 142 orang, dan berharap peran pemerintah memberikan pelayanan kesehatan. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)

Jakarta, (Tagar 27/11/2018) - Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas menilai kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental, sebagai langkah tepat sesuai tuntutan organisasi-organisasi disabilitas yang telah bertahun-tahun disuarakan kepada KPU dan pihak-pihak lain yang terkait. 

Berikut ini lima argumentasi yang mendasari mengapa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau penyandang disabilitas mental harus dilindungi hak politik, khususnya hak memilihnya, oleh negara.  

1. Secara Filosofis

Penyandang disabilitas mental adalah manusia yang memiliki hak asasi yang setara sejak kelahirannya. Salah satu hak asasi manusia (HAM) yang
dimaksud adalah hak politik, khususnya dalam hal ini adalah hak memilih, yang dalam pemenuhannya tidak dapat dibatasi oleh negara, kecuali berdasarkan putusan pengadilan atau undang-undang. Sampai saat ini tidak ada putusan pengadilan dan undang-undang yang melarang penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya dalam Pemilu 2019.  
 
2. Secara Yuridis

Dalam hal ini penyandang disabilitas mental yang dimaksud adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama, sehingga wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum", ketentuan dalam pasal ini secara tegas melarang adanya pembedaan perlakuan di hadapan hukum, termasuk dalam hal pengaturan mengenai hak memilih.  

Selain itu, tidak ada satu pun pasal dalam UU Pemilu yang melarang penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya. Bahkan dalam pasal 5 UU Pemilu disebutkan bahwa, "Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu."

Serta pada Pasal 75 ayat (2) UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa, "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih". 

Larangan terhadap penyandang disabilitas mental sudah pernah diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 tentang  Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang dan ketentuan itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUUXIII/2015.

Dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hak ini dilindungi tanpa terkecuali. Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik serta langsung atau melalui perwakilan. 

Pasal 77 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/wali kota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain, termasuk: (a) berpartisipasi langsung untuk ikut dalam kegiatan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/wali kota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; (b) mendapat hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lainnya;

Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan dalam Pasal 148 ayat (1): penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

3. Secara Medis

Kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, Bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan. Penyandang disabilitas mental dengan disfungsi kognitif yang berat akan mempengaruhi kemampuan kapasitasnya, tetapi fungsi kognitif tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan.  
 
Umumnya penyandang disabilitas mental bersifat kronik dan episodik (kambuhan). Jika periode kambuhan terjadi di hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan, tentu tidak mungkin memaksakannya datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya. 

Namun, di luar periode episodik, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu. Kehilangan kapasitas memilih pada episode kambuh ini terjadi juga pada penyakit non jiwa atau penyakit fisik lainnya. Penderita epilepsi misalnya, tentu tidak dapat datang ke TPS untuk memilih jika pada hari pemilu ia sedang mengalami kekambuhan (kejang-kejang). Juga untuk penderita sakit gula (Diabetes Mellitus), bila pada hari pemilu sedang mengalami koma diabetikus sehingga harus masuk ICU maka tidak mungkin bagi penderita untuk datang ke TPS. 

Bahkan kehilangan kemampuan memilih juga dapat terjadi pada orang sehat yang tiba-tiba pada hari pencoblosan mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tidak sadar dan memerlukan perawatan intensif.

Hambatan pemulihan penyandang disabilitas mental yang serius bukan pada pengobatan klinis, tetapi pada faktor psikososial yang dihadapi oleh mereka.  Banyak penderita dengan gejala yang sudah hilang atau minimal setelah mendapatkan pengobatan, kembali kambuh karena mengalami berbagai tekanan psikososial saat ia berada di tengah keluarga dan masyarakat. 

Karenanya untuk mencapai pemulihan yang optimal, stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita harus dikurangi dengan memberikan informasi yang tepat tentang gangguan jiwa, serta dengan berbagai kebijakan yang melindungi penderita serta yang mendorong penerimaan masyarakat terhadap Penyandag Disabilitas Mental. Jelas, kebijakan-kebijakan yang melarang ODGJ untuk berpartisipasi dalam Pemilu sangat bertentangan dengan upaya yang seharusnya dilakukan.

4. Secara Sosiologis

Perkembangan masyarakat Indonesia, pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas sudah menuju kepada pembentukan lingkungan yang inklusif. Berbagai kegiatan sudah melibatkan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas mental termasuk dalam ragam penyandang disabilitas, sehingga segala upaya sosialisasi dan peningkatan interaksi penyandang disabilitas dengan masyarakat secara umum juga melibatkan penyandang disabilitas mental.
 
5. Secara Historis

Pelarangan hak memilih pada penyandang disabilitas tidak sesuai dengan perkembangan HAM secara internasional. Pada 1966, hak memilih dalam ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik) masih dibatasi secara leluasa. Pada 1996 hak memilih dalam ICCPR dibatasi tetapi dilakukan lebih ketat, yaitu dengan kriteria logis dan objektif. Baru pada 2006, melalui Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengubah sifat pembatasan atau penggantian menjadi dukungan (supportif) dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. 

Lalu pada 2013 Human Right Council menyatakan bahwa negara pihak harus meninjau kembali bentuk pengucilan atau larangan terhadap hak politik bagi penyandang disabilitas, dan harus mengambil tindakan-tindakan yang layak, termasuk dalam hal legislasi, yaitu mengubah atau menghilangkan regulasi yang ada, kebijakan-kebijakan tradisi dan kebudayaan yang melahirkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Dengan begitu, perkembangan HAM internasional justru cenderung semakin menjamin hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental.
 
Berdasarkan lima argumentasi tersebut, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas untuk Implementasi UU Penyandang Disabilitas mendukung kebijakan pendaftaran pemilih penyandang disabilitas mental oleh KPU untuk Pemilu 2019. [] 

Berita terkait