Liberalisasi Omnibus Law Buat BUMN Militer Sulit Berkembang

Sukamta mengatakan ada celah liberalisasi dalam Undang-Undang Omnibus Law, yang berpotensi membuat BUMN Bidang Pertahanan sulit berkembang.
Anggota DPR RI Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sukamta saat dialog dengan awak media di Kota Yogyakarta pada Sabtu 8 Februari 2020. (Foto: Tagar/Hidayat)

Jakarta - Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan ada celah liberalisasi dalam Undang-Undang Omnibus Law (UU OBL), yang berpotensi membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidan Pertahanan semakin sulit berkembang.

Sukamta menyebut, celah berbahaya itu ada dalam hal kepemilikan modal dan pengawasan. Hal itu berdasarkan UU Omnibus Law pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama, dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Dalam Negeri.

Saat ini praktis hanya Pindad yang eksis dalam industri alat utama pertahanan. Namun, perkembangan Pindad dalam sektor bisnis terbilang biasa-biasa saja

"UU Omnibus Law ini mengubah lanskap industri pertahanan Indonesia. Sebelumnya dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 11 disebutkan bahwa industri alat utama hanya pemerintah yang menugaskan kepada BUMN Pertahanan sebagai pemandu utama untuk memproduksi industri alat utama," kata dia melalui keterangan tertulis seperti dikutip Tagar, Jumat, 16 Oktober 2020.

Dia menyayangkan dalam Omnibus Law itu, kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama pertahanan.

"Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta. Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri," ujarnya.

Menurut anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR ini, kepemilikan modal menjadi krusial karena menyangkut arah, kebijakan usaha, serta kerahasiaan data terkait produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta.

"UU OBL ini jelas akan banyak mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) khususnya dalam hal penanaman modal di bidang alat utama pertahanan. Selama ini, sesuai dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI badan usaha alat utama mensyaratkan 100 persen modal berasal dari dalam negeri," kata dia.

"Namun dengan masuknya badan usaha dalam negeri non pemerintah maka bisa jadi tidak harus 100 % modal berasal dari dalam negeri. Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati," kata Sukamta menambahkan.

Doktor bidang teknik lulusan Inggris ini menyatakan kondisi perusahaan pelat merah di bidang militer masih memprihatinkan. Keprihatinan terhadap perusahaan BUMN itu kata dia, terlihat dari modal, dukungan riset dan development, serta penjualan yang masih terbilang minim. Hal ini membuat industri pertahanan Indonesia lesu darah.

"Liberalisasi yang akan terjadi akibat UU OBL ini membuat BUMN bidang militer sulit berkembang. Saat ini praktis hanya Pindad yang eksis dalam industri alat utama pertahanan. Namun, perkembangan Pindad dalam sektor bisnis terbilang biasa-biasa saja," ucapnya.

Terkait Pindad, dia menjelaskan, tahun 2019 perolehan kontrak baru bernilai Rp 7,31 triliun yang menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 3.39 triliun dan laba bersih hanya Rp101,07 miliar.

"Padahal di tahun 2019 anggaran alutsista TNI mencapai Rp 11,33 triliun namun dari anggaran tersebut lebih dari 40 persen dipergunakan untuk membeli alutsista impor," ujarnya.

Selanjutnya, Sukamta menyebut masih ada BUMN bidang militer yang kondisinya lebih parah lagi. Kondisi itu katanya, karena melenceng dari tujuan awal didirikan.

"Ada BUMN plat merah dengan core bisnis sesuai niat awal didirikan ialah bahan peledak, malah bisnis sektor militer hanya Rp 92,6 milliar artinya kurang dari 5% dari total pendapatan tahun 2018 yang mencapai Rp 1,9 triliun. Pendapatan usaha perusahaan paling besar berasal dari usaha tambang umum dengan nilai Rp 1,16 triliun, konstruksi sebesar Rp 518 miliar dan sektor migas Rp 213 miliar. Nama BUMN itu PT Dahana," kata Sukamta.

Lantas, dia mengingatkan bahwa dalam konteks bisnis pembukaan, peluang swasta bagi bisnis alat utama pertahanan sangat menarik. Namun dia mengimbau, bahwa membuka bidang usaha tertutup dan strategis ibarat mata pisau. Bisa jadi pertahanan Indonesia semakin kuat atau sebaliknya tumpul.

"Bab perizinan industri pertahanan kini tidak lagi di bawah Kemenhan. Kemenhan hanya jadi pengawas. Maka, soal izin ini harus ketat, tegas dan terukur. Agar bisa sesuai tujuan yaitu memperkuat pertahanan Indonesia. Jangan sampai liberalisasi industri pertahanan ini membuat ada kekuatan militer tidak resmi di luar institusi militer Indonesia," kata dia.

"Kita harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang membebaskan industri pertahanannya. Akibatnya ada kekuatan yang sulit dikendalikan di luar institusi militer negara," sambung Sukamta.

Dia menegaskan, pro kontra mengenai UU Omnibus Law masih terus berlanjut, setelah perkara jumlah halaman kini mulai ke hal substansi pasal-pasal yang telah disetujui.

"Salah satu yang ramai diperbincangkan ialah masuknya Industri swasta dalam industri alat utama. Pemerintah berdalih cara ini bisa menggairahkan industri," ucap Sukamta.[]

Berita terkait
Fadli Zon Sebut Ada Agen Provokator Saat Demo Omnibus Law
Fadli Zon mengungkap kejadian dibalik kisruhnya demo penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) beberapa waktu lalu.
Fadli Zon: Banyak Anggota DPR Belum Pahami Omnibus Law Ciptaker
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai anggota dewan banyak belum paham Omnibus Law UU Cipta Kerja karena tidak dibagikan saat pengesahan.
Jokowi Sebut Peran BUMN Penting Dampingi Petani dan Nelayan
Jokowi menyampaikan bahwa terdapat satu contoh sukses dari korporasi petani dan nelayan yang telah memiliki model bisnis.