Legenda Pembunuhan Sri Tanjung dan Surati di Banyuwangi

Setidaknya ada tiga cerita yang disebut-sebut sebagai cikal bakal penamaan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dua di antaranya tentang pembunuhan.
Kawasan Rowo Bayu di Wilayah Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Di kawasan ini Prabu Tawang Alun pernah membangun Kerajaan Blambangan. (Foto: Tagar/Hermawan)

Banyuwangi – Air sumur tua di Pendopo Sabaha Sawgata Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur, yang berada di area Rumah Dinas Bupati Banyuwangi saat ini, tak jarang mengeluarkan aroma semerbak. Sumur itu disebut-sebut sebagai tempat Pangeran Sidapaksa membunuh Putri Sri Tanjung, istrinya.

Pangeran Sidapaksa membunuh Putri Sri Tanjung atas tuduhan selingkuh. Padahal, tuduhan itu sama sekali tidak benar. Karena Putri Sri Tanjung tidak bersalah, setelah dia meninggal darahnya yang menetes berbau wangi. Itulah yang menjadi cikal bakal nama Banyuwangi, yang dalam bahasa Indonesia berarti air yang harum.

Cerita Legenda Banyuwangi (2)Air Sumur Sri Tanjung di kawasan Pendopo Sabaha Swagata Blambangan Banyuwangi, yang merupakan Rumah Dinas Bupati Banyuwangi saat ini, disebut-sebut sering berbau wangi. (Foto: Tagar/Hermawan)

Selain legenda Putri Sri Tanjung, setidaknya ada dua cerita legenda lain yang diyakini menjadi asal-usul pemberian nama Banyuwangi, yakni kisah Dewi Surati dan Raden Banterang dan berdasarkan cerita Serat Darmagandul.

Kesetiaan Sri Tanjung

Sejarawan Banyuwangi, Suhailik menjelaskan, jika berdasarkan Kidung Sri Tanjung, Pangeran Sidapaksa awalnya mengabdi kepada Raja Sulakrama, raja di Sinduraja. Suatu ketika Sulakrama memerintahkan Sidapaksa meminta obat kepada Begawan Tambapetra di desa Prangalas.

Setibanya di sana, Sidapaksa jatuh hati pada Sri Tanjung, yang merupakan cucu Begawan Tambapetra.

“Begawan Tambapetra akhirnya tidak memberikan obat kepada Sidapaksa namun menganjurkan agar raja bertanya kepada para pujangga tentang obat yang diinginkanya,”Suhailik memulai ceritanya, Sabtu, 24 Oktober 2020.

Saat malam tiba, diam-diam Sidapaksa membawa lari Sri Tanjung. Hilangnya Sri Tanjung diketahui keesokan harinya oleh ibu Sri Tanjung yaitu Sri Wani. Dia pun menanyakan keberadaan anaknya pada Begawan Tambapetra.

Begawan Tambapetra mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah tahu bahwa Sri Tanjung dibawa lari oleh Sidapaksa, yang disebutnya masih merupakan cucunya juga.

Setibanya Sidapaksa di kerajaan Sinduraja, Prabu Sulakrama sangat iri melihat Sidapaksa pulang membawa istri yang sangat cantik. Dia pun menyusun rencana untuk membunuh Sidapaksa dan merebut istrinya.

“Sehingga Sidapaksa disuruh ke Kayangan menyampaikan surat dan menagih hutang dewa berupa tiga batang emas dan tiga gulung benang. Sedangkan isi surat itu, adalah menyatakan bahwa Sidapaksa bermaksud mau menyerang kayangan, untuk itu diminta para dewa membunuh Sidapaksa,” kata penulis buku Lingkar Waktu ini.

Sidapaksa berangkat ke Kayangan dengan bantuan istrinya, Sri Tanjung, yang memberikan selendang antakusuma peninggalan ayahnya. Sepeninggal Sidapaksa ke Kayangan, Prabu Sulakrama membujuk Sri Tanjung agar mau menjadi istrinya. Tetapi Sri Tanjung menolaknya. Dia tetap setia pada suaminya.

Setibanya Sidapaksa di Kayangan, dia menyerahkan surat Prabu Sulakrama kepada Dewa Indra. Namun para dewa justru menyerangnya karena isi surat itu. Terjadilah pertempuran sengit, dan beberapa dewa berhasil dikalahkan.

Tetapi, Dewa Indra maju berhasil menangkap Sidapaksa. Kemudian Sidapkasa dijatuhi hukuman penggal kepala. Ketika hendak dipenggal, Sidapaksa selalu memanggil orang tuanya serta para pandawa. 

Akhirnya diketahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan pandawa dan kedatangannya bukan untuk menyerang kayangan.

Sidapaksa kembali ke Siduraja dengan membawa tiga batang emas dan tiga gulung benang. Parabu Sulakrama menyambutnya dan menyatakan bahwa Sri Tanjung berselingkuh denganya. Sidapaksa sangat percaya kepada ucapan Prabu Sulakrama. Dia langsung pulang menjemput isitrinya.

“Sesampainya di Kepatihan, Sri Tanjung dibawa ke kuburan Gandamayu dan ditusuk. Sebelum ajal, Sri Tanjung berpesan, apabila bau darahnya harum maka dia tidak bersalah. Dan ternyata bauh darah Sri Tanjung harum,” kata Suhailik melanjutkan.

Kata Suhalik, harumnya bau darah Sri Tanjung menandakan bahwa dia tidak bersalah. Sehingga Sidapaksa menjadi sangat menyesal dan menjadi gila.

Dewi Surati dan Raden Banterang

Legenda asal-usul nama Banyuwangi selanjutnya adalah kisah Dewi Surati dan Raden Banterang. Raden Banterang merupakan seorang putra mahkota yang tanpan dan sangat dicintai rakyatnya. Tetapi dia pemarah dan tidak tenang, sehingga sering merugikan dirinya sendiri.

Cerita Legenda Banyuwangi (3)Sumur Sri Tanjung di kawasan Pendopo sering sekali dikunjungi para wisatawan yang penasaran dengan legenda Putri Sri Tanjung Pangeran Sidapaksa. (Foto: Tagar/Hermawan)

Raden Banterang sering berburu ke hutan. Suatu ketika saat berburu dia terpisah dengan para pengawalnya dan bertemu dengan Dewi Surati, putri Raja Klungkung, Bali, yang sangat cantik. Mereka bertemu di sebuah anak sungai.

“Dewi Surati melarikan diri dari kerajaanya karena Kerajaan Klungkung Bali diserbu dan ayahnya gugur di medan perang. Dan ternyata yang menyerbu Kerajaan Klungkung itu ayahnya Raden Banterang,” ujar Suhailik

Mendengar cerita Dewi Surati, Raden Banterang menjadi iba dan jatuh cinta pada kecantikannya. Dia pun membawa Dewi Surati ke istana, dan tidak lama mereka menikah.

Sesekali Dewi Surati berjalan-jalan di luar gerbang istana, hingga suatu hari dia berjumpa dengan seorang pengemis berpakaian compang-camping, yang ternyata Raden Surata, kakak kandungnya yang tengah menyamar.

Raden surata berniat membalas dendam atas kematian ayahnya. Saat bertemu Dewi Surati, dia meminta Dewi Surati untuk membunuh Raden Banterang dan ayahnya. Namun Dewi Surati menolak permintaan kakaknya, karena Raden Banterang sangat baik kepada dirinya.

Raden Surata sangat kesal atas penolakan itu, dan mengancam akan membalas penolakan Dewi Surati itu, karena Raden Surata menggap Dewi Surati menghianati ayahnya.

Suatu ketika, saat Raden Banterang berburu di hutan, dia bertemu dengan Raden Surata yang masih mengenakan pakaian compang-camping. Raden Surata mengatakan pada Raden Banterang bahwa dia melihat Dewi Surati bertemu dengan laki-laki putra Raja Klungkung dan merencanakan pembunuhan terhadap Raden Banterang dan ayahnya.

Pengemis itu juga mengatakan bahwa sebagai bukti kebenaran laporannya maka di bawah tempat tidur Raden Banterang akan ditemukan ikat kepala dan pisau milik laki- laki putra Raja Klungkung tersebut.

Sesampainya di istana Raden Banterang encari dan menemukan ikat kepala dan pisau di bawah tempat tidurnya. “Raden Banterang menjadi marah dan menuduh Dewi Surati merencanakan pembunuhan terhadap dirinya dan ayahnya. Tapi Dewi Surati menolak tuduhan itu,” ujar Suhailik

Raden Banterang pun membawa Dewi Surati ke tepi laut, di dekat sungai, untuk dibunuh. Tapi Dewi Surati mengatakan jika dia mati dan air sungai itu berbau wangi, artinya tuduhan suaminya tidak benar.

“Sebelum Raden Banterang menusuknya, Dewi Surati terlebih dahulu menyeburkan ke sungai dan tidak lama kemudian Raden Banterang mencium bau yang sangat wangi.”

Pertanda Sunan Kalijaga

Kisah lain tentang asal-usul nama Banyuwangi berasal dari serat Darmagandhul, yang mengisahkan tentang pengislaman Prabu Brawijaya oleh Sunan Kalijaga. Saat itu, Majapahit diserbu oleh para wali dan pasukan Demak, namun Prabu Brawijaya yang tidak mau menghadapi putranya, yaitu Raden Patah meningalkan istana.

“Perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, sebab Prabu Brawijaya bermaksud menyebrang ke Bali,” ujar Suhailik.

Cerita Legenda Banyuwangi (4)Pendopo Sabaha Swagata Blambangan, Banyuwangi, Rumah Dinas Bupati Banyuwangi yang dulunya juga menjadi pusat pemerintahan Bupati pertama Mas Alit. (Foto: Tagar/Hermawan)

Sementara itu, Raden Patah bertemu dengan Nyai Ampeldenta yang menunjukkan beberapa kesalahannya atas penyerbuan terhadap Majapahit. Nyai Ampeldenta menganjurkan Raden Patah mengutus sahabatnya untuk meminta Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit.

“Sunan Kalijaga yang diutus Raden Patah menyusul Prabu Brawijaya. lalu Sunan Kaligaja dan sahabatnya berhasil menyusul Prabu Brawijaya di Blambangan, sebelum dia menyebrang ke Bali,”kata Suhailik

Waktu itu, Sunan Kaligaja mengatakan, bahwa dirinya diutus oleh Raden Patah untuk meminta Prabu Brawijaya kembali ke Istana Majapahit. Awalnya Prabu Brawijaya tidak percaya, tapi meihat kesungguhannya, dia pun mempercayai kata-kata Sunan Kalijaga.

Prabu Brawijaya kembali ke istana. Sunan Kalijaga pun mengajak Prabu Brawijaya untuk memeluk agama Islam. Prabu Brawijaya tertarik dengan yang dikatakan oleh Sunan Kalijaga, dan dia berniat untuk memeluk agama Islam. Sebagai salah satu syarat, rambut Prabu Brawijaya harus dipangkas.

“Tapi pada waktu rambut Prabu Brawijaya pada dipangkas ternyata tidak mempan. Itu pertada meski Prabu Brawijaya sudah menyatakan memeluk Islam, akan tetapi batinnya belum sepenuhnya mau memeluk Islam,”kata Suhailik

Setelah Prabu Brawijaya menyatakan kesediaannya memeluk Islam secara lahir dan batin, barulah rambutnya bisa dipangkas. Dia pun mengajak pembantunya yakni, Sabdopalon untuk mengikuti jejaknya.

Tetapi Sabdopalon menolaknya, bahkan dia marah dan kecewa kepada Prabu Brawijaya. Dia menjabarkan keutamaan agama Buda (Budi), yaitu agama yang telah dianut turun temurun oleh orang Jawa. Mereka pun berdebat, dan Sabdopalon memahami bahwa itu merupakan takdir tuhan.

Sunan Kalijaga yang menyaksikan perdebatan tersebut berusaha membantu Prabu Brawijaya. Ia ingin membuktikan tentang kebaikan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan membuat tanda.

“Tanda yang dibuat Sunan Kalijaga itu, berupa air didalam kolam, Apabila air yang ada didalam kolam itu berbau wangi maka agama Islam itu adalah agama yang baik,” kata Suhailik.

Meskipun Sunan Kalijaga telah meyakinkan tentang kebenaran agama Islam, Prabu Brawijaya sangat menyesal masuk agama Islam. Walaupun Sabdopalon juga menyarankan agar Prabu Brawijaya tetap memeluk agama Islam karena itu merupakan takdir hidupnya. [] (PEN)

Baca juga:

Pot Lukis Imut, Cantik, dan Unik dari Yogyakarta

Makna Warna Seragam Prajurit Keraton Yogyakarta

Berita terkait
Nuansa Kental Jawa Klasik Gedung Milik Jokowi di Solo
Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) memiliki gedung bernuansa klasik yang disewakan untuk pesta di Solo. Saat ini gedung itu dikelola oleh Gibran.
Perjalanan Buruh Pabrik di Tangerang Meraih Mimpi
Seorang buruh pabrik di Tangerang yang mengisahkan perjalanan hidupnya mulai saat awal merantau hingga saat ini mendapatkan jabatan di kantornya.
Harapan Besar Pembuat Keripik Pisang Kepok di Bantaeng
Seorang pemuda di Bantaeng, Sulawesi Selatan memroduksi keripik pisang kepok dari bahan lokal di daerahnya. Ini harapannya pada pemkab setempat.
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.