Oleh: Lestantya. R. Baskoro
TIGA suster katolik dari Putri Bunda Hati Kudus (PBH) menyanyikan lagu “Hari Lebaran.” Mereka bersimpuh, wajahnya cerah dan gembira bak menyambut hari lebaran, dan suaranya jernih, merdu, menyanyikan lagu ciptaan komponis terkemuka Indonesia Ismail Marzuki pada 1950-an itu.
Penampilan ketiganya itu langsung viral di media sosial. Menyegarkan suasana hari-hari akhir puasa, juga hiruk pikuk perdebatan perihal PSBB atawa antara pulang kampung dan mudik. Kita bisa tersenyum juga terharu melihat demikian dalamnya “penghayatan” para biarawati tersebut mendendangkan Hari Lebaran –sebuah lagu riang yang merekam suasana lebaran di Betawi dengan irama berbau jazz-- yang dinyanyikan pertama kali oleh grup Lima Seirama dan disiarkan melalui RRI pada 1952:
Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran
reff:
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perey
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
reff:
Maafkan lahir dan batin,
'lang tahun hidup prihatin
Cari wang jangan bingungin,
'lan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
reff:
Maafkan lahir dan batin,
'lang taon hidup prihatin
Kondangan boleh kurangin,
Korupsi jangan kerjain
Tentu ada hirarki yang mengizinkan para suster itu berdendang. Pengambilan gambar, bagaimana mereka memberi salam, juga kekompakan bernyanyi jelas bukan ujug-ujug. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berlatih menyanyikan lagu tersebut sehingga bisa seindah itu. Mungkin di sebuah sudut halaman susteran yang dipenuhi pohon rindang atau di sebuah ruang -dengan piano di dalamnya- dan sejumlah teman mereka –para suster lain- yang menonton dan ikut berdendang.
Dan ulama, pemuka agama adalah sumber contoh tauladan itu semua. Ia jauh dari jenis makhluk yang mau menang sendiri, yang tak mau disalahkan...
Ucapan selamat lebaran melalui "Hari Lebaran" itu menyejukkan kita sebagai bangsa dengan beragam agama. Sebuah lagu –yang diciptakan dan dinyanyikan dengan hati- memang bisa mengikat siapa pun. Tak peduli latar belakang dan strata sosialnya. Kita misalnya masih bisa mengingat bagaimana, lagu "Sewu Kuto" Didi Kempot dinyanyikan ribuan penonton secara koor dengan latar belakang mereka yang beraneka ragam: pegawai, mahasiswa, tukang becak, penjual bakso, satpam dan seterusnya. Sama-sama menikmati, sama-sama menghayati.
Ulama, Sumber Tauladan
Ucapan ketiga suster melalui "Hari Lebaran" ini mendapat sambutan hangat. Sejumlah pengurus organisasi Nahdlatul Ulama -organisasi Islam terbesar di Indonesia- menyebut yang dilakukan para suster itu hal positif untuk membangun kehidupan bernegara, membangun sebuah kerukunan beragama.
Semestinya memang demikian. Keragaman Indonesia merupakan keniscayaan yang tak bisa dipungkiri atau dihindarkan. Para founding fathers -bapak bangsa ini- juga telah memahaminya sejak awal-awal rapat untuk merumuskan kemerdekaan dan membangun bangsa ini. Para pemuka agama -Islam, Kristen, Katolik- telah duduk satu meja berhari-hari untuk kemudian menyatukan tekad membangun bangsa ini di atas keragaman. Soekarno, Hatta, Soepomo, dan lain-lain, paham para pemuka agama itu –yang suara dan pengaruhnya demikian besar pada masyarakatnya- merupakan orang-orang yang tak mungkin ditinggalkan dalam membentuk negeri bernama Indonesia.
Kita tahu, perjalanan bangsa ini kemudian banyak diselamatkan oleh para pemuka agama. Ketika Indonesia membutuhkan pesawat, misalnya, para ulama di Aceh ikut menyerukan warga Aceh mengumpulkan harta mereka membantu republik membeli pesawat terbang –yang kemudian diberi nama Dakota RI 001 Seulawah –mengambil nama Gunung di daerah Pidi, Aceh. Saat peristiwa G 30 S, para ulama di Jawa Tengah dan Timur, berada di garis depan menjaga NKRI.
Pemuka agama adalah sumber kesejukan bangsa ini. Mereka adalah mataair yang menjadi sumber energi agar bangsa ini kokoh berdiri, bersatu, tak retak –apalagi pecah. Jika mereka menjadi bagian sumber keretakan maka mereka sudah mengkhianati para founding fathers –yang diantaranya para ulama dan pemuka agama pula.
Lagu lebaran yang dinyanyikan para suster menjelang lebaran -di masa pandemi Covid-19 yang membuat kaum muslimin kali ini tak bisa “menyemarakkan" masjid --dan ikhlas memilih shalat di rumah demi menghindarkan penyebaran Corona- adalah kesejukan untuk kita semua. Betapa memang sebenarnya keragaman itu indah. Saling menghargai itu indah. Saling memberi nasihat dan koreksi itu indah. Dan ulama, pemuka agama adalah sumber contoh tauladan itu semua. Ia jauh dari jenis makhluk yang mau menang sendiri, yang tak mau disalahkan, yang tega menghardik orang kecil –bahkan untuk sesuatu yang mungkin bermanfaat bagi dirinya, misalnya, memakai masker demi tak tertular virus Corona...[]