Krisis Guru dan Kesenjangan Jawa-Luar Jawa

Persoalan pendidikan terpenting yang mesti diperhatikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Tulisan pengamat pendidikan Darmaningtyas.
Pengemudi ojek online Go-Jek membawa poster ucapan selamat kepada Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim di Solo, Jawa Tengah, 23 Oktober 2019). Nadiem Makarim ditunjuk Presiden Joko Widodo jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (Foto: Tagar/ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha).

Oleh: Ki Darmaningtyas

Pengangkatan Nadiem Makarim (NM) sebagai pendiri GoJek sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang membawahi Pendidikan Dasar dan Menengah serta Perguruan Tinggi telah menimbulkan kontroversi. 

Banyak yang memiliki optimisme baru bahwa NM akan membawa suasana baru dalam birokrasi pendidikan, paling tidak memecah kebekuan birokrasi yang penuh monoton selama berpuluh tahun, tapi ada pula yang meragukan kapasitasnya dalam mengelola pendidikan nasional yang begitu luas dan kompleks. 

Tulisan ini mencoba membedah salah satu persoalan dasar pendidikan kita dengan harapan dapat menjadi masukan bagi Mendikbud baru. Hal ini penting, mengingat kalau disimak pernyataan-pernyataan resmi yang disampaikan kepada public, kesannya bahwa persoalan pendidikan kita hanya terkait dengan masalah kurikulum dan teknologi saja.

Krisis Guru PNS

Guru, merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan. Kurikulum yang jelek di tangan guru yang bagus akan menghasilkan lulusan yang bagus. Sebaliknya, kurikulum yang bagus di tangah guru yang jelek, hasilnya tetap jelek. Pendidikan di Finlandia dikenal bagus karena guru-guru di sana berkualitas. Yang menjadi guru di Finlandia adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan seperti halnya yang menjadi dokter dan instinyur. 

Sayang kita justru dihadapkan pada masalah krisis guru, baik kuantitas maupun kuliatas, terutama yang berstatus sebagai guru PNS (pegawai negeri sipil/ASN). Jika ada yang mengatakan bahwa kita kelebihan guru, itu yang bersangkutan tidak mengetahui persoalan lapangan. Sebelum 2012 radi guru:murid kita memang baik, tapi sejak 2012 jumlah guru PNS kita terus menyusut setiap tahunnya.

Kita memang kelebihan guru, tapi itu guru honorer yang standar upah dan kompetensinya amat beragam, tidak dapat diharapkan menjadi garda depan untuk membenahi mutu pendidikan nasional. Guru yang berstatus PNS sangat kurang, lebih dari 50% kurangnya dari total kebutuhan guru pendidikan dasar dan menengah. Bahkan Kabupaten/Kota di Bodetabek pun kekurangan gurunya mencapai ribuan orang. Hal itu disebabkan Pengangkatan guru SD (Inpres) secara besar-besaran terjadi antara kurun 1974 – 1984 bersamaan dengan pendirian ratusan ribu SD Inpres sejak 1973. 

Pengangkatan guru SMP dan SMK/SMA secara besar-besaran berlangsung antara periode 1980-1990-an melalui pembukaan Program Diploma I, II, dan III. Para guru tersebut sesuai dengan usia pensiun 60 tahun, sejak 2012 secara berangsur menjalani masa pensiun. Masa pensiun yang massif tersebut masih berlangsung hingga 2019 ini. Di sisi lain, pengangkatan guru PNS selama satu dekade terakhir ini amat sedikit, tidak sebanding dengan jumlah guru yang pensiun. Akibatnya, secara kuantitatif, kita mengalami krisis guru PNS.

Kebutuhan guru secara fisik itu tidak dapat digantikan oleh kehadiran teknologi, kalau sekolah dianggap sebagai tempat menyemai pendidikan karakter. Oleh karena itu, persoalan krisis guru ini perlu mendapatkan atensi dari Mendikbud, Menteri Keuangan, maupun Menteri PAN.

Solusi dalam waktu singkat yang dapat diambil oleh Pemerintah adalah menawarkan kepada PNS non guru untuk beralih profesi menjadi guru PNS di sekolah dasar maupun menengah. Hal itu mengingat ABPN terbatas, sehingga tidak mampu mengangkat guru secara massif dalam waktu singkat, di sisi lain sering dikeluhkan banyak PNS di sejumlah kementerian yang terlalu banyak dan kurang produktif. PNS yang masih muda tapi kurang produktif itu lebih baik dialihdayakan menjadi guru dengan dibekali ilmu dikdaktika secara singkat. Sangat mungkin di antara mereka juga telah memiliki passion menjadi guru.

Pada tahun 2002 ketika Pemerintah saat itu merekrut guru kontrak, pernah menawarkan kepada para PNS di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk pindah menjadi guru di daerah masing-masing. Namun karena saat itu gaji guru amat kecil dan tidak ada pendapatan lain, maka tidak banyak PNS di Depdiknas yang berminat alih profesi. Sekarang gaji guru PNS dengan tunjangan profesinya sudah cukup besar, sehingga sangat mungkin banyak PNS non guru yang berminat pindah profesi menjadi guru. Tawaran tersebut perlu dicoba lagi pemerintah demi mencukupi kebutuhan guru.

Kirisis guru tersebut tidak hanya terjadi secara kuantitatif, tapi juga kualitatif, karena mayoritras guru yang ada sudah berusia 50 tahun ke atas dan di antara mereka hanya sedikit yang pernah mengikuti pelatihan selama menjadi guru. Bandingkan dengan guru-guru di Singapura yang selalu mendapatkan pelatihan setiap tahunnya dengan biaya dari negara. 

Pengelolaan guru oleh Pemda dan Pemprov juga buruk karena guru diperlakukan seperti buruh, yang harus bekerja dari pagi sampai siang di sekolah sehingga tidak punya kesempatan meningkatkan kompetensinya dengan mengikuti acara-acara pelatihan, seminar, diskusi di luar sekolah, atau melihat pertunjukan yang dapat menginspirasi dirinya. 

Dengan kata lain, pengelolaan guru saat ini mengantarkan guru semakin kurang pergaulan (kuper). Wajar bila mereka kemudian tidak percaya diri di depan publik. Oleh karena itu, program pendidikan dan latihan (Diklat) untuk semua guru secara terstruktur perlu dilakukan oleh Pemerintah bila serius ingin memperbaiki kualitas pendidikan nasional. 

Selama ini, guru yang mengikuti Diklat di pusat Diklat guru hanya itu-itu saja dari tahun ke tahun. Pusat Diklat guru di bawah Kemdikbud sebaiknya memiliki data base guru-guru yang sudah pernah mengikuti Diklat dan belum guna menghindari terjadinya pengulangan Diklat untuk seorang guru, tapi tidak tersentuh sama sekali bagi guru yang lain.

Kesenjangan Sarpras dan Kualitas

Saya bersyukur bahwa sampai 2019 ini sudah lebih dari 250 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi, baik di Jawa maupun luar Jawa, termasuk di Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Dari sanalah saya melihat langsung adanya kesenjangan sarana dan prasarana (Sarpras) pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. Sekolah-sekolah (negeri) di Jawa umumnya berada di tepi jalan utama dengan gedung yang megah dan sarana yang lengkap. 

Tapi di luar Jawa kita selalu bertanya, di mana lokasi sekolah? Sering lokasi sekolah berada di dalam kampung yang tidak didukung dengan akses sarana transportasi publik, bahkan halaman sekolah pun penuh rerumputan dan dapat dipastikan becek pada saat musim hujan. Kondisi gedungnya saja kumuh, apalagi sarana pendidikan lainnya, tentu minim sekali, tidak selengkap di Jawa. Ini bukan kasusistik, tapi dapat ditemukan di semua wilayah di luar Jawa.

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan nasional tidak bisa tunggal, harus lihat kondisi lokal.

Sekolah-sekolah di luar Jawa itu mayoritas kekurangan guru PNS. Satu SD memiliki empat guru PNS itu sudah hebat. Padahal, sosok guru di daerah-daerah seperti itu masih amat dibutuhkan karena proses pembelajaran hanya dapat dilakukan dengan tatap muka, mengingat daya listrik dan sinyal HP juga terbatas.

Di daerah kepulauan lebih menyedihkan lagi, selain prasarana dan sarana yang memprihatinkan, akses menuju ke sekolah juga menjadi masalah besar. Anak-anak pergi/pulang sekolah dengan menggunakan perahu tradisional yang kelebihan muatan dan tidak disertai baju pelampung, pergi/pulang sekolah bagi mereka ibarat menyabung nyawa saja. Bagi mereka yang amat diperlukan adalah lokasi sekolah yang dekat dengan rumah dan guru yang mencukupi, sehingga dapat membantu proses pembelajaran secara lancar. Teknologi, memang penting, tapi bukan yang terpenting bagi mereka saat ini.

Kesenjangan prasarana dan sarana, serta kekurangan guru tersebut otomatis berdampak pada kesenjangan kualitas. Pengalaman terlibat menjadi juri Pelajar Pelopor Keselamatan yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan sejak 2011 memberikan pembelajaran kepada saya betapa senjangnya kualitas pendidikan antara Jawa dan luar Jawa amat jauh. 

Para pelajar dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan umumnya mampu membuat bahan presentasi dengan power poin yang menarik, bahkan inovasinya pun cukup canggih, sementara yang dari Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, dan NTT power poinnya hanya berupa tulisan deskripsi saja dan tidak ada gagasan baru yang ditawarkan. 

Saya sering meratap sedih saat mendengarkan presentasi mereka, karena itulah realitas yang sebenarnya terjadi di dunia pendidikan kita, begitu lebarnya kesenjangan Sarpras dan kualitas pendidikan Jawa dan luar Jawa. Itu merupakan PR besar untuk diatasi. 

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan nasional tidak bisa tunggal, harus lihat kondisi lokal. Pengembangan pendidikan berbasis teknologi amat cocok untuk sekolah-sekolah di perkotaan, tapi itu penderitaan bagi sekolah-sekolah di pedesaan, terlebih yang daya listrik dan sinyal HP lemah. Semoga hal-hal riil di lapangan seperti ini mendapat perhatian dalam membuat kebijakan pendidikan nasional. 

Penulis: Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta


Berita terkait
Menanti Formula Nadiem Makarim di Dunia Pendidikan
Penunjukan Nadiem Makarim merupakan keputusan yang sangat berani dari Bapak Presiden Jokowi untuk dunia pendidikan.
Abdul Fikri Optimis Nadiem Makarim Majukan Pendidikan
Abdul Fikri Faqih mengaku optimis dengan dipilihnya Nadiem Anwar Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Berharap Kabinet Jokowi 2019-2024
Presiden Jokowi segera mengumumkan kabinet barunya. Presiden harus tetap berkomitmen memberantas korupsi. Opini Lestantya R. Baskoro
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.