KPU Daftarkan Penyandang Gangguan Jiwa Sebagai Pemilih Pada Pemilu 2019

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendaftarkan penyandang gangguan jiwa sebagai pemilih pada Pemilu 2019.
Ilustrasi orang dengan gangguan kejiwaan di rumah sakit jiwa. (Foto: Okezone)

Jakarta, (Tagar 26/11/2018) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendaftarkan penyandang gangguan jiwa sebagai pemilih pada Pemilu 2019.

Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas Ariani Soekanwo, yang juga anggota KNOD, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (24/11) dilansir Antara menyampaikan apresiasinya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang turut mendaftarkan penyandang gangguan jiwa sebagai pemilih pada Pemilu 2019.

Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas (KNOD) menilai penyandang disabilitas mental perlu diberikan pengetahuan mengenai pelaksanaan pemilu sehingga kelak bisa menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya.

Kendati demikian, menurut dia, perlu ada sejumlah dukungan tambahan yang harus disediakan penyelenggara pemilu bagi penyandang gangguan jiwa guna menjamin hak politik mereka, di antaranya sosialisasi dan edukasi mengenai hak politik, pengetahuan mengenai kepemiluan, serta dukungan psikologis dan sosial.

"Secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan berpikir. Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan," tutur Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti.

Yeni menyampaikan penyandang disabilitas mental dengan gangguan kemampuan berpikir yang berat bisa jadi mempengaruhi kemampuan kapasitasnya, tetapi fungsi otak untuk berpikir tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan.

"Umumnya gangguan pada penyandang disabilitas mental bersifat kambuhan. Jika periode kambuhan terjadi di hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan, tentu tidak mungkin memaksakannya datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya," terang dia.

"Namun, di luar periode kambuhnya gangguan berpikir itu, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam pemilu," tambah Yeni.

Terkait dengan itu, Wakil Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Mahmud Fasa, yang tergabung dalam KNOD, mendorong KPU berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah agar memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan para penyandang gangguan mental, sehingga dapat memanfaatkan hak politik mereka dengan baik dan benar.

KNOD juga meminta KPU melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu lainnya untuk mendukung hak politik penyandang disabilitas mental.

Tidak Perlu Dipermasalahkan

Sementara itu di Palangkaraya, Legislator Kalimantan Tengah berharap masuknya nama orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ke dalam daftar pemilih tetap (DPT), tidak perlu dipermasalahkan.

Apakah nantinya orang dengan gangguan kejiwaan tersebut ikut atau tidak ikut memilih saat pemilihan umum, itu merupakan hak yang tidak bisa dilarang siapa pun, kata anggota DPRD Kalteng Sriosako di Palangka Raya, Jumat (23/11).

"Orang yang sehat dan terdaftar di DPT saja, ada dan bisa tidak menggunakan hak pilihnya. Kenapa orang dengan gangguan kejiwaan punya hak pilih dipermasalahkan. Digunakan atau tidak hak pilih itu, ya hak dia," tambah Sriosako.

Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Kalteng itu menyayangkan, adanya pihak-pihak yang mempermasalahkan adanya hak pilih orang dengan gangguan jiwa. Sebab, sepanjang masih penduduk Indonesia, orang dengan gangguan jiwa pun memiliki hak sama seperti yang sehat.

Ia mengatakan negara bahkan memiliki kewajiban untuk membantu menyembuhkan orang dengan gangguan kejiwaan. Langkah yang dapat dilakukan dengan menggratiskan para penyandang gangguan jiwa berobat ke mana saja.

"Kami pernah menyampaikan keinginan kepada pemerintah daerah agar orang gangguan kejiwaan terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan," ungkap Sriosako.

Menurut anggota Komisi A DPRD Kalteng itu, tak ada seorang yang ingin jadi penyandang gangguan jiwa. Meskipun begitu, seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan masih berpeluang untuk disembuhkan.

"Itulah kenapa negara juga perlu hadir dalam membantu penyandang gangguan kejiwaan dalam berobat. Apalagi kalau hanya masalah masuk DPT, ya harus terdaftar mereka. Itu hak yang harus diberikan negara," katanya. []

Berita terkait
0
Kesengsaraan dalam Kehidupan Pekerja Migran di Arab Saudi
Puluhan ribu migran Ethiopia proses dideportasi dari Arab Saudi, mereka cerita tentang penahanan berbulan-bulan dalam kondisi menyedihkan