Untuk Indonesia

KPU Berhasil Batasi Ruang Gerak Eks Koruptor

Tidak satu pun bakal calon legislator (bacaleg) eks koruptor masuk daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI pada Pemilu 2019.
Ilustrasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Foto: Ant/Rudi Mulya)

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) tampaknya telah berhasil membatasi ruang gerak bakal calon legislator, terutama mereka yang akan berlaga pada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasalnya, tidak satu pun bakal calon legislator (bacaleg) eks koruptor masuk daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI pada Pemilu 2019. KPU RI tidak memasukkan nama mereka dalam DCT. Hal ini dibuktikan dalam Keputusan KPU RI Nomor 1129/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018 tentang DCT Anggota DPR RI Pemilu Tahun 2019.

Dalam keputusan yang diumumkan pada hari Kamis (20/9) itu tidak ada bacaleg eks terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi yang masuk DCT. Bisa dikatakan, sebanyak 7.968 calon anggota DPR RI (terdiri atas 4.774 laki-laki dan 3.194 perempuan) tidak pernah tersangkut tiga kejahatan tersebut.

Tidak sedikit di antara eks narapidana koruptor yang akan melaju ke Senayan terganjal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kendati Mahkamah Agung telah membatalkan Pasal 4 Ayat (3), Pasal 7 Huruf g PKPU Nomor 20 Tahun 2018 karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dalam Keputusan KPU tentang DPC Anggota DPR RI tidak ada caleg eks terpidana korupsi.

Padahal, dalam Pasal 463 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, putusan MA yang membatalkan keputusan KPU, penyelenggara pemilu ini wajib menetapkan kembali sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Akan tetapi, sebelum MA memutuskan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 7 Ayat (1) Huruf g PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tidak sesuai dengan UU Pemilu, sejumlah pimpinan parpol sudah menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (vide Pasal 6 Ayat 1 Huruf e). Parpol pun akhirnya tidak menyertakan eks terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Sejumlah parpol ada yang mengganti bacaleg eks narapidana itu dengan kader lainnya meski saat itu proses uji materi PKPU pencalonan anggota legislatif terhadap UU Pemilu masih berlangsung di Makhamah Agung.

"Terganjal" Perbawaslu

Tidak hanya menaati PKPU, bakal calon anggota DPR RI eks narapidana kasus korupsi juga harus memenuhi ketentuan di dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Perbawaslu RI) ketika akan mengajukan gugatan atas keputusan KPU.

Dalam Perbawaslu RI Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum, bakal calon anggota legislatif yang telah mendaftarkan diri kepada KPU bisa mengajukan sengketa proses pemilu ke Bawaslu.

Namun, bacaleg eks koruptor harus memenuhi Pasal 7B Perbawaslu RI Nomor 18 Tahun2018 (perubahan pertama atas Perbawaslu RI Nomor 18 Tahun 2017) ketika mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu itu. Mereka harus diwakili oleh parpol sesuai dengan tingkatannya. Misalnya, bacaleg tingkat pusat (anggota DPR RI) diajukan oleh ketua umum dan sekretaris jenderal partai.

Di sisi lain, parpol yang terikat oleh pakta integritas tidak mendaftarkan kadernya yang terlibat tiga kejahatan tersebut sebagai calon anggota legislatif, termasuk "tidak mendukung" bacaleg yang akan mengajukan gugatan ke Bawaslu.

Parpol tingkat pusat tampaknya lebih baik mengganti kadernya daripada menuai tuduhan tidak konsisten jika tetap mengajukan permohonan sengketa atas nama kadernya ke Bawaslu RI. Namun, ada pula pucuk pimpinan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang mengajukan permohonan tekait dengan keputusan tidak memenuhi syarat (TMS) bagi bacalegnya yang pernah menjadi terpidana korupsi.

Tidak heran, hasil identifikasi Bawaslu RI terhadap bacaleg di semua tingkatan pada tanggal 25 Juli 2018, tidak menemukan bakal calon anggota DPR RI eks terpidana korupsi. Bacaleg eks terpidana korupsi sebanyak 199 orang itu tersebar di 11 provinsi, 93 kabupaten, dan 12 kota.

Sebanyak 36 di antara mereka mengajukan permohonan sengketa ke Bawaslu atas pencoretan nama mereka dalam daftar calon sementara (DCS) oleh KPU setempat. Selain mereka, terdapat dua bakal calon anggota DPD RI: Abdullah Puteh (asal Daerah Pemilihan Provinsi Aceh) dan Syahrial Kui Damapolii (asal Dapil Sulawesi Utara) yang juga mengajukan permohonan yang sama. Bawaslu akhirnya mengabulkan permohonan 38 bacaleg tersebut.

KPU lantas menunda keputusan Bawaslu itu dengan alasan menunggu putusan MA terkait dengan uji materi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Pasca-putusan MA, atau setelah 13 September 2018, KPU melakukan revisi terhadap dua PKPU tersebut. Salah satu ketentuan dalam draf PKPU itu, memberi kesempatan kepada bacaleg eks terpidana kasus korupsi untuk melengkapi berkas pencalonan paling lambat tiga hari setelah peraturan KPU ini diundangkan.

Hingga Sabtu (22/9), dua PKPU itu belum masuk Lembaran Negara Republik Indonesia. Apakah setelah diundangkan, PKPU ini mampu meminimalkan jumlah bacaleg eks koruptor menjadi caleg, atau malah sebaliknya bertambah? (D Dj Kliwantoro/ant)

Berita terkait