KPK Ogah Berbenah, Salahkan Buzzer

Sebagian orang yang menolak revisi UU KPK, membuat narasi kambing hitam. Mereka menyalahkan yang tak sepakat sebagai buzzer. Tulisan Eko Kuntadhi.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

Sebagian orang yang menolak revisi UU KPK, membuat narasi ingin mencari kambing hitam. Mereka menyalahkan orang yang tidak sepakat dengan idenya, lalu menuding sebagai buzzer. Seolah publik ini gak punya pikiran, dan hanya oleh satu-dua orang yang dituduhkan sebagai buzzer maka publik terpengaruh.

Yang paling keras adalah tudingan sial narasi ada 'taliban' di KPK, diembuskan buzzer sedemikian rupa. Publik katanya terpengaruh. Maka dukungan masyarakat pada KPK melorot. Bahkan dalam survei Kompas, lebih banyak orang yang setuju UU KPK direvisi ketimbang yang menolak.

Sekali lagi, anggapan ini beranjak dari asumsi, masyarakat itu bodoh. Gak punya opini dan pikiran. Gampang diombang-ambingkan. Mereka dianggap seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Nurut begitu saja apa yang disampaikan buzzer.

Anggapan ini kayaknya terlalu over estimated terhadap siapa pun yang dituding buzzer. Jika buzzer diasumsikan sebagai orang yang mengkampanyekan pikirannya ke publik via media sosial, rasanya baik pendukung revisi UU KPK maupun penolak, sama-sama punya buzzer. Sama-sama punya pendukung militan.

Sama-sama punya pentolan yang terus mengkampanyekan idenya. Dan dalam masyarakat terbuka, wajar saja ada perdebatan. Ketika UU KPK direvisi, jangan mutung juga. Jangan langsung menuding ulah buzzer.

Lantas bagaimana sebuah ide yang dilemparkan di media sosial bisa diterima publik? Inilah yang gak dibahas. Sebab menuding bahwa ini adalah kerja para buzzer sudah membuat pihak yang kalah --penolak revisi-- merasa puas. Setidaknya ada excuse terhadap kekalahan narasinya.

Sekali lagi, anggapan ini beranjak dari asumsi, masyarakat itu bodoh. Gak punya opini dan pikiran. Gampang diombang-ambingkan.

Begini. Sehebat apa pun sebuah informasi disampaikan atau diarahkan, jika publik tidak menemukan fenomena itu dalam kenyataan tetap saja tidak akan laku. Narasinya akan tertolak dengan sendirinya.

Sebuah narasi akan diterima masyarakat justru ketika publik melihat kesesuaiannya dengan kenyataan. Narasi soal ada 'taliban' di KPK, misalnya, gak akan dipercayai orang kalau orang-orang di KPK jauh dari gambaran itu. Tapi jika simbol-simbol yang ditampilkan pegawai KPK menguatkan narasi taliban ya, orang akan percaya.

Jadi apakah isu ada 'taliban' di KPK semata kerja buzzer? Bukan. Itu kerja dan ulah karyawan KPK sendiri. Merekalah yang ingin diasumsikan sesuai dengan simbol-simbol keagamaan yang ditampakkan. Mereka senang diasumsikan sebagai 'taliban'. Sebab mereka bangga menggunakan simbol-simbol itu.

Ada istilah, kalau masuk ke KPK, seperti berada di kantor Radio Rodja. Cara berpakaian orangnya sama. Bahasanya juga sama : akhi, antum, ukthi, ana.

Tapi orang yang menampilkan simbol-simbol agama dalam pakaian bukan hanya di KPK. Institusi lain juga banyak karyawannya yang suka menampilkan simbol-simbol agama. Kenapa yang dituding 'taliban' hanya KPK?

Penuding ada buzzer yang bermain dalam isu KPK, seperti semacam pelarian dari kenyataan bahwa KPK memang bermasalah.

Iya, tapi institusi hukum yang kekuasaanya hampir tidak terbatas adalah KPK. Inilah letak masalahnya.

Jika karyawan KPK menampilkan simbol-simbol yang tidak netral, dengan kekuasaan sangat besar, ini sangat mengkhawatirkan publik. Sebab diasumsikan mereka bisa saja bias dalam bekerja. Bisa saja punya preferensi dalam menangani sebuah kasus.

Meskipun tidak jaminan juga orang yang tanpilannya netral bisa bertindak adil. Tetapi setidaknya tampilan yang tidak netral memberi peluang masyarakat menilai, ruang bias itu terbuka sangat lebar.

Revisi UU KPK yang menghadirkan dewan pengawas independen, menjadikan orang lebih enak memandang KPK. Sebab kekhawatiran mereka soal ada 'taliban' di KPK setidaknya bisa dikurangi. Toh, dalam UU yang baru KPK bukan tanpa pengawasan.

Singkatnya begini. Penuding ada buzzer yang bermain dalam isu KPK, seperti semacam pelarian dari kenyataan bahwa KPK memang bermasalah. Siapa yang membuat masalah itu? Ya, orang-orang KPK sendiri. Termasuk mereka yang mendukung secara membabi buta kesucian KPK.

Bahwa ada satu dua orang di media sosial yang opininya diterima publik, jangan juga langsung menuding dia adalah buzzer. Sebab jika publik gak melihat korelasinya dengan kenyataan, buzzer sehebat apa pun gak akan bekutik.

Mereka gak menjelaskan kenapa mereka takut diawasi oleh dewan pengawas.

Sebab masyarakat tidak bodoh. Mereka bukan kerbau yang pasrah saja diarahkan opininya. Mereka juga berpikir. Mereka juga punya informasi. Mereka juga melihat dan menilai.

Toh, kalau mau disebut buzzer, bukan saja ada di kubu yang setuju revisi, yang menolak revisi juga punya buzzer. Sayangnya buzzer yang menolak revisi argumennya dianggap masyarakat jauh dari realitas. Mereka hanya berkutat pada ide lama bahwa lembaga lain itu penjahat. Siapa pun yang mau menyentuh KPK adalah pembela koruptor.

Sedangkan isu-isu krusial di dalam KPK yang kemudian ditangkap publik, gak pernah dijelaskan secara terbuka.

Mereka misalnya, gak pernah menjelaskan, apa makna penyerahan mandat kepada presiden oleh seorang Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif. Mereka gak bisa menjelaskan kenapa konferensi pers soal Firli Bahuri dilakukan sesaat menjelang pemilihan Capim KPK.

Mereka gak menjelaskan kenapa mereka takut diawasi oleh dewan pengawas, selain asumsi bahwa pengawas itu pasti busuk. Pasti pro koruptor. Seolah hanya karyawan KPK saja yang bersih.

Asumsi merasa paling suci sendiri ini, justru dilihat makin menguatkan isu 'taliban' itu. Sebab biasanya, gerombolan berkedok agama selalu berangkat dari pikiran, 'saya benar, yang lain salah'. Saya anti korupsi. Selain saya adalah korup.

Buzzer gak akan didengar kalau publik tidak melihat kesesuaian ocehannya dengan fakta. Dan ketika penolak revisi UU KPK malah menyalahkan buzzer akibat kekalahannya, tandanya mereka tidak mau mendorong KPK untuk berbenah. Mereka hanya mau beronani dengan pikirannya sendiri saja.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait
Mahasiswa Bogor Dukung Revisi UU KPK
Ratusan massa yang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bogor Peduli KPK (AMBPK) menggelar aksi mendukung pengesahan revisi UU KPK.
Revisi UU KPK Tidak Ujug-ujug Muncul Belakangan Ini
Revisi UU KPK tidak ujug-ujug muncul belakangan ini kemudian disahkan begitu saja. Berikut terjal berliku jalannya dari 2011 hingga 2019.
Infografis: Fakta-fakta Revisi UU KPK
Ada yang mendukung dan ada yang menolak revisi UU KPK. Walaupun demikian pada akhirnya revisi tersebut disahkan. Berikut fakta-fakta melingkupinya.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.