Kotak Kosong, Hantu yang Lucu di Pilkada Serentak

Kotak kosong kini bagaikan hantu, menakutkan. Benda mati yang bisa membuat ‘mati’ mahluk hidup. Kotak kosong jadi fenomena, dan kini menjadi sosok menakutkan di pemilihan kepala daerah.
Kemenangan kotak kosong tentu menjadi ironi. Sebagian masyarakat malah menganggapnya lucu.

Jakarta, (Tagar 2/7/2018) – Fenomena kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2018 kini menjadi isu menarik. Betapa tidak, di Pilkada yang baru berlalu, 27 Juni kemarin, ada 15 daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal. Artinya, sang pasangan calon itu bertarung melawan kotak suara kosong.

Uniknya, di beberapa daerah, sang kotak kosong ‘menang’ melawan pasangan calon. Apakah ini tanda ketidakpercayaan masyarakat terhadap pasangan calon tersebut? Entahlah. Belum ada studi khusus mengenai itu. Yang beredar hanya perkiraan sosiologis dan politis pengamat politik atas fenomena tersebut.

Menakutkan Tapi Lucu
Kotak kosong kini bagaikan hantu, menakutkan. Benda mati yang bisa membuat ‘mati’ mahluk hidup. Kotak kosong jadi fenomena, dan kini menjadi sosok menakutkan di pemilihan kepala daerah.

Sejatinya, kemenangan kotak kosong tak melulu karena pasangan calon tunggal tak disukai warga. Ada juga yang memilih kotak itu karena pasangan calon kepala daerah yang diusungnya tak bisa ikut pemilihan. Apa yang terjadi di Pemilihan Wali Kota Makassar mungkin bisa jadi bahan studi.

Di Makassar, calon hanya dua pasang, dan akhirnya tinggal satu karena pasangan calon lainnya didiskualifikasi KPU. Apa yang terfikir oleh warga yang jadi pendukung calon yang didiskualifikasi? Apa pula pikiran warga yang memang tak punya selera terhadap calon tersisa? Akhirnya, kotak kosong jadi sasarannya.

Kemenangan kotak kosong tentu menjadi ironi. Sebagian masyarakat malah menganggapnya lucu.

Penjabat
Lalu, jika kotak kosong menang, apakah ‘sang kotak’ si benda mati tersebut yang akan memimpin daerah itu?

Tidak demikian halnya. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada fenomena ini telah diantisipasi dan diatur, bagaimana jika satu daerah pemilihan, calon kepala daerahnya hanya satu pasangan calon.

Pasal 54D UU Pilkada mengatur, calon tunggal harus memenangkan lebih dari 50 persen suara sah. Kalau sang calon tunggal atak memenuhi kuota tersebut, perolehan suaranya tak mencapai 50 persen, maka pasangan calon itu boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.

Dalam Pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 diatur, KPU yang menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya. Pemilihan serentak berikutnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilaksanakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Periode berikutnya bukan periode lima tahun mendatang. Namun mengikut pada Pilkada Serentak terdekat yang akan digelar. Tahun 2020 adalah Pilkada Serentak yang diatur dalam UU No 10 Tahun 2016.

UU Pilkada juga mengatur, jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan hingga pelaksanaan pilkada serentak. (rif)

Berita terkait
0
Harga TBS Sawit Terjun Bebas, Sultan Najamudin Minta Pemerintah Tingkatkan Porsi Penggunaan CPO
Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Sultan B Najamudin mendorong pemerintah untuk melakukan akselerasi penyerapan stok CPO.