Korporasi Perusak Hutan Adat dan Pengemplang Pajak di Sumut-Riau

Pemerintah dinilai membiarkan industri pulp and paper merampas wilayah adat, kriminalisasi masyarakat adat, di Sumut dan Riau.
Kawasan konsesi PT TPL di Sumatera Utara. (Foto: tobapulp.com)

Medan - Pemerintah dinilai membiarkan industri pulp and paper merampas wilayah adat, kriminalisasi masyarakat adat, merusak ekosistem keanekaragaman hayati, membakar hutan dan lahan di Sumatera Utara dan Riau.

Lebih jauh korporasi yang diduga menjadi pengemplang pajak hingga penyandang dana terus menggelontorkan dana jumbo yang membuat korporasi tersebut melakukan kejahatan.

Hal ini diungkap dalam media briefing yang digelar Koalisi Advokasi Rimba Rakyat (KOARR) Sumatera di D'Caldera Coffee di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Jumat, 5 Februari 2021. 

Direktur Porgam Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi sebagai salah satu narasumber mengatakan, kehadiran PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Tanah Batak, Sumatera Utara, melahirkan banyak persoalan. 

Ketegangan dan konflik agraria terus meningkat di areal konsesinya. Masyarkat adat pun terus melawan klaim perusahaan di wilayah adat mereka.

Di tengah konflik yang tak terselesaikan, berbagai proyek strategis nasional yang hadir dengan tiba-tiba juga menambah persoalan. Terbaru penunjukan Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai areal pengembangan program food estate.

Ada 23.225 hektare di Humbang Hasundutan yang dialokasikan untuk areal food estate. Negara mengklaim bahwa status areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi (20.354 ha) dan hutan produksi terbatas (2.871 ha).

Sekitar 16.000 hektare areal ini merupakan pengurangan luas konsesi PT TPL. Di sisi lain, masyarakat adat juga mengakui itu merupakan wilayah adat.

Ada dua komunitas masyarakat adat yang saat ini berjuang mempertahankan wilayah adat mereka di areal tersebut, yakni komunitas Pandumaan-Sipituhuta dan komunitas Pargamanan Bintang Maria-Parlilitan. 

Selain berpotensi meningkatkan konflik agraria, program strategis nasional ketahanan pangan ini juga berpotensi menimbulkan deforestasi.

“Penetapan Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 2.383 hektare oleh KLHK pada 30 Desember 2020 lalu membingungkan dan mengecewakan Masyarakat Adat Pandumaan- Sipituhuta, karena secara sepihak pemerintah mengalokasi 2.051 hektare wilayah adat mereka yang menjadi areal ketahanan pangan. Padahal di areal 2.051 hektare tersebut, dari pendataan yang dilakukan 25 Januari lalu, terdapat sekitar sejutaan pohon kemenyan. Masyarakat adat menolak hutan kemenyan mereka dijadikan areal ketahanan pangan,” kata Delima Silalahi.

Dia menyebut, pemerintah juga membiarkan PT TPL mengkriminalisasi Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Tapanuli Utara, dan Masyarakat Adat Huta Natumingka di Kabupaten Toba, yang selama ini berupaya mempertahankan keutuhan wilayah adat.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tano Batak Roganda Simanjuntak, pembicara lainnya mengungkap pada akhir 2020, PT TPL melaporkaan ke Polres Tapanuli Utara lima orang Masyarakat Adat Ompu Ronggur dan satu orang Masyarakat Adat Huta Natumikka ke Polres Toba. PT TPL menuduh mereka melakukan tindak pidana penggunaan kawasan hutan dan perusakan tanaman.

Ini kata Roganda, menambah daftar panjang masyarakat adat korban kriminalisasi di Tano Batak. Sampai saat ini sudah ada 70 orang warga masyarakat adat yang dikriminalisasi PT TPL karena mempertahankan wilayah adat dan menghentikan perusakan hutan. Upaya kriminalisasi ini juga semakin kuat karena perilaku pihak kepolisian yang diskriminatif dan tidak profesional.

“Aktivitas PT TPL yang merusak lahan pertanian yang diusahai secara turun-temurun mengancam keberlangsungan hidup mereka. Juga penghancuran hutan adat untuk alih fungsi menjadi tanaman monokultur, memperparah kerusakan lingkungan dan pencemaran air,” kata Roganda Simanjuntak.

Padahal tanpa pendanaan dari LJK, April langsung atau tidak berhenti melakukan perusakan hutan dan perampasan wilayah masyarakat adat

Manager Kajian dan Advokasi Walhi Sumut Putra Septian menimpali, sesuai hasil analisis Walhi, PT TPL menjadi penyumbang laju deforestasi terbesar di Sumut dalam 10 tahun terakhir yang dilegalkan pemerintah.

Dari total 167.912 hektare izin konsesi PT TPL, seluas 46.885 hektare berada di kawasan bentang alam Tele.

“Dampaknya, kerusakan hutan alam, merusak tangkapan air dan mengganggu sumber kehidupan masyarakat adat, seperti hutan kemenyan,” kata Putra Septian.

PT TPL Gelapkan Pajak

Dalam kegiatan itu diungkap pula temuan Forum Pajak Berkeadilan, yakni dugaan pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak ekspor pulp larut PT TPL pada 2007-2016 yang berpotensi merugikan kerugian negara sebesar Rp 1,9 triliun.

Koordinator Jikalahari, Made Ali mengatakan, modusnya diduga melakukan salah klasifikasi jenis yang diekspor, yang dilaporkan sebagai pulp grade kertas berkode HS 470329, yakni kode produk bleached hard wood kraft paper (BHKP) yang digunakan untuk memproduksi kertas dan tisu.

Baca juga: 

Dalam catatan otoritas di Tiongkok menerima kiriman dissolving pulp (pulp larut) dari Indonesia. Periode itu hanya PT TPL yang memproduksi pulp larut di Indonesia.

Pulp larut digunakan memproduksi viscose tercatat dengan kode HS 470200 yang digunakan untuk memproduksi viscose untuk produk tekstil, dan harganya jauh lebih tinggi dibanding pulp grade kertas.

Sepanjang 2007-2016 total ekspor pulp larut Indonesia tercatat sebanyak 150.000 ton. Namun, Tiongkok mencatat mengimpor pulp larut dari Indonesia sebanyak 1,1 juta ton.

Pada 2017, PT TPL sudah melaporkan produk ekspornya sebagai pulp larut, tapi justru April Grup, korporasi di Riau yang pengendali utamanya sama dengan PT TPL, yaitu Sukanto Tanoto, diduga mengulang praktik misklasifikasi tersebut pada ekspornya dari Riau ke Tiongkok.

Di Riau, April Grup dalam komplek PT RAPP telah membangun PT Asia Pasific Raya (PT APR) untuk memproduksi viscose. PT APR telah menyusun ANDAL dan AMDAL dan dalam proses sosialisasi melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Riau.

“Anehnya, April justru mengembangkan penambahan kapasitas produksi pulp dan dissolving menjadi 5,8 juta ton per tahun dari 2,8 juta ton per tahun yang berasal dari Sumatera dan Kalimantan. Jika hanya mengandalkan dari tanaman industri mustahil bisa terpenuhi, penebangan hutan alam atau menerima kayu dari hutan alam adalah cara cepat memenuhi bahan baku tersebut,” kata Made Ali. 

Temuan Jikalahari, April Grup melalui anak usahanya PT NPM mendanai HKM untuk menebang hutan alam seluas 1.565 hekater di Kabupaten Kuansing yang merupakan hutan alam tersisa di bentang ekosistem keanekaragaman hayati Rimbang Baling.

Temuan lainnya, sepanjang 2015-2019 April Grup sengaja membakar hutan dan lahan seluas 74.416 hektare yang menyebabkan polusi asap di Riau, juga menebang hutan alam dan membuat kanal baru di areal PT RAPP distrik Siak-Pelalawan.

Di tengah hendak menebang hutan alam dan terus merampas hutan tanah masyarakat adat di Sumatera, April Grup tiba-tiba meluncurkan April 2030 yang berisi komitmen mencakup;

Mencapai nol emisi karbon dari penggunaan lahan; mengurangi 25 persen intensitas emisi karbon produk; memperkuat perlindungan, konservasi dan restorasi alam, memastikan tidak ada kawasan lindung yang hilang; menghapus kemiskinan ekstrim pada masyarakat dan mendorong perkembangan sains di lahan gambut tropis.

“Ini bentuk greenwashing untuk mengelabui lembaga jasa keuangan (LJK) agar terus menggelontorkan dana jumbo,” kata Made Ali.

Temuan TuK Indonesia dan Profundi, Grup Royal Golden Eagle mendapat bantuan pendanaan dalam bentuk utang dan penjaminan dari bank luar negeri senilai US $ 3.675,46 miliar atau setara dengan Rp 47 triliun pada periode 2015-Oktober 2019.

Setidaknya, 15 kreditur terbesar salah satunya untuk April Grup berasal dari bank BRI dan BNI.

“Langsung atau tidak, otoritas jasa keuangan (OJK) bertanggung jawab atas kerusakan hutan dan kehidupan masyarakat adat di Sumatera karena membiarkan lembaga jasa keuangan menggelontorkan dana pada April,” kata Made Ali.

“Padahal tanpa pendanaan dari LJK, April langsung atau tidak berhenti melakukan perusakan hutan dan perampasan wilayah masyarakat adat. Hanya OJK yang punya peran itu untuk memaksa perbankan menghentikan pendanaan pada April Grup,” sambungnya.

Kesempatan itu KOARR pun merekomendasikan kepada Menteri LHK mencabut izin PT TPL dan April Grup di Sumatera, lalu mengembalikan wilayah adat masyarakat yang selama ini dirampas oleh korporasi.

Menteri LHK menghentikan food estate yang justru menimbulkan konflik dengan masyarakat adat karena proses penetapannya tanpa melibatkan masyarakat adat.

OJK mengevaluasi kinerja dan dampak pembiayaaan LJK yang menggelontorkan dana di sektor yang merisikokan hutan dan rakyat, khususnya April Grup. 

OJK perlu segera mengeluarkan regulasi lingkungan, sosial dan tata kelola yang sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan dalam waktu cepat menerapkan No Deforestasi, No Peat, dan No Exploitation (NDPE) dalam pembiayaan. []

Berita terkait
Geger, Warga Jepara Temukan Kerangka Manusia di Hutan Donorejo
Kerangka manusia yang tidak diketahui identitasnya ditemukan di hutan Kecamatan Donorejo Jepara.
Banjir Kalsel, KLHK: Karena Anomali Cuaca Bukan Luas Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegaskan, banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan disebabkan anomali cuaca bukan soal luas hutan.
Warga Subulussalam Sepakat Lestarikan Hutan Adat
Empat desa di wilayah Subulussalam, Aceh menyepakati pembentukan kawasan Hutan Desa atau Hutan Adat.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.