Korban-korban Perkosaan di Prancis Kecam Perlakuan Polisi

Seorang korban perkosaan ditanya oleh polisi di Paris tentang apa yang dia kenakan pada hari naas itu, dan mengapa ia tidak melawan
Para aktivis hak-hak perempuan bawa poster bertuliskan "Perkosaan adalah tindak kriminal" dalam unjuk rasa jelang persidangan kasus dugaan perkosaan anak di bawah umur oleh tiga petugas damkar di Versailles, Perancis, 24 September 2020 (Foto: voaindonesia.com – Christophe Archambault/AFP)

Jakarta – Seorang korban perkosaan ditanya oleh polisi di Paris tentang apa yang dia kenakan pada hari naas itu, dan mengapa ia tidak melawan. Seorang perempuan lainnya dipaksa untuk menyentuh dirinya sendiri untuk menunjukkan bagaimana terjadinya serangan seksual itu, kepada seorang polisi yang skeptis tentang laporan yang disampaikannya.

Keduanya adalah sebagian dari ribuan perempuan Prancis yang mengecam keras polisi dalam kampanye daring terbaru tentang tanggapan polisi yang menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan atau salah menangani laporan mereka.

Anma Toumazoff meluncurkan tagar #DoublePeine, atau #DoubleSentencing, atau #HukumanGanda setelah ia mengetahui bagaimana seorang perempuan berusia 19 tahun yang melaporkan tentang perkosaan yang dialaminya di selatan Kota Montpellier, justu secara kasar ditanya balik oleh polisi apakah ia ikut menikmati selama perkosaan itu.

Tagar itu dengan cepat menjadi viral, di mana banyak perempuan menggambarkan pengalaman serupa di Montpellier atau kantor polisi di kota-kota lainnya di seluruh Prancis. Kelompok hak-hak perempuan Prancis “NousToutes” menghitung sedikitnya ada 30 ribu pernyataan tentang terjadinya perlakuan tidak menyenangkan seperti yang dialami korban di Montpellier itu dalam cuitan dan pesan-pesan lain yang dipasang di media sosial atau situs web tertentu.

Terlepas dari program pelatihan untuk polisi di Prancis baru-baru ini dan meningkatnya kesadaran seputar kekerasan terhadap perempuan, para aktivis mengatakan pihak berwenang harus melakukan lebih banyak hal untuk mengatasi beragamnya kejahatan seksual, dan untuk memberantas diskriminasi terhadap para korban.

Menjawab isu nasional itu, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, pekan lalu mengatakan “ada pertanyaan yang tidak bisa ditanyakan pada perempuan ketika mereka datang untuk menyampaikan laporan.” Ditegaskannya, “bukan menjadi kewenangan polisi untuk mengatakan apakah ada kekerasan dalam rumah tangga atau tidak, karena itu merupakan kewenangan hakim.”

Ia juga mengumumkan penyelidikan internal terhadap pos polisi di Montpellier itu.

Sebelumnya muncul kecaman terhadap apa yang disebut sebagai “pernyataan memfitnah” polisi, dan bahwa ada penyebarluasan “informasi palsu” dan “kebohongan” untuk mendiskreditkan polisi.

Toumazoff membantah meluncurkan kampanye anti-polisi, dan mengatakan tagar yang digagasnya bertujuan untuk mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan.

“Dengan membiarkan petugas yang tidak kompeten dan berbahaya bekerja di kantor polisi, maka pihak berwenang mempermalukan seluruh profesi itu,” ujarnya kepada Kantor Berita Associated Press (em/jm)/AP/voaindonesia.com. []

UU di Denmark Hubungan Seksual Tanpa Persetujuan Pemerkosaan

Para Pedofil di Gereja Katolik Prancis Beroperasi Sejak 1950

330.000 Anak-anak Korban Pelecehan Seksual Gereja Katolik di Prancis

200 Pelaku Pelecehan Seksual Gereja Katolik Jerman Terungkap

Berita terkait
Pengakuan Dua Pelaku Perkosaan Gadis Difabel di Makassar
Berikut pengakuan dua pelaku yang memperkosa gadis difabel di Makassar yang mereka kenal di media sosial Facebook
0
Kesengsaraan dalam Kehidupan Pekerja Migran di Arab Saudi
Puluhan ribu migran Ethiopia proses dideportasi dari Arab Saudi, mereka cerita tentang penahanan berbulan-bulan dalam kondisi menyedihkan