KontraS Tolak Undangan Istana Bahas Omnibus Law

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak memenuhi undangan dari Istana, ihwal pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan konferensi pers di Jakarta, mengingatkan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, 10 Desember 2019. (foto: Tagar/Fatan)

Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak memenuhi undangan rapat dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dengan agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law di Istana Negara.

Badan Pekerja KontraS Yati Andriyani menyatakan penolakan itu sebagai bentuk kritik atas sikap pemerintah yang terkesan menutup-nutupi penyusunan draf RUU Cipta Kerja. 

Dia menilai, undangan tersebut merupakan upaya-upaya menjadikan rapat untuk menjustifikasi keberadaan Omnibus Law.

Masyarakat sipil sempat mengalami kesulitan dalam mengakses draf RUU naskah akademik RUU tersebut, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunannya.

Baca juga: Presiden PKS Kritisi Omnibus Law RUU Cipta Kerja

"Kami menyampaikan penolakan kami untuk hadir dalam kegiatan tersebut," kata Yati dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 3 Maret 2020.

Yati menuturkan, hal lain yang menjadi pertimbangan KontraS menolak menghadiri undangan tersebut lantaran pemerintah telah menyerahkan draf RUU ke DPR beserta naskah akademik RUU Cipta Kerja, tanpa terlebih dahulu memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat.

"Sehingga kami memandang kegiatan ini dapat menjadi ruang justifikasi pembahasan dan pengesahan RUU tersebut. Setelah sebelumnya masyarakat sipil sempat mengalami kesulitan dalam mengakses draf RUU naskah akademik RUU tersebut, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunannya," kata dia.

Selain itu, Yati menilai substansi dalam RUU Cipta Kerja menunjukkan ambisi pemerintah dalam menarik investasi dengan mengorbankan hak asasi manusia, lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan agenda kesejahteraan maupun keadilan masyarakat lainnya.

Dia menegaskan, KontraS mendesak DPR dan pemerintah berhenti membahas RUU Cipta Kerja. 

Menurut Yati, DPR masih memiliki berbagai pekerjaan rumah dan pengesahan RUU lain yang lebih penting ketimbang mensahkan RUU Cipta Kerja.

"Seperti Revisi UU Pengadilan HAM, Revisi UU HAM, dan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM di Papua, dan lain-lain," kata Yati.

Baca juga: Bara JP: Omnibus Law Untuk Membuka Lapangan Kerja 7 Juta Pengangguran

Sebelumnya, massa dari buruh di wilayah Banten bergerak menuju Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi untuk meminta rekomendasi penolakan RUU Cilaka.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Buruh Banten Bersatu (AB3) itu berkumpul di kawasan industri niaga terpadu. Presidium AB3 Maman mengatakan pihaknya mengerahkan 2000 personel buruh menuju DPRD Banten.

"Ya kami maksimalkan minimal 2000 buruh untuk berangkat dari kawasan niaga terpadu Batu Ceper menuju Provinsi Banten," kata Maman, Selasa, 3 Maret 2020.

Adapun RUU Cipta Kerja Omnibus Law rencananya akan diketuk DPR RI bulan April 2020 mendatang. []

Berita terkait
Kiara Pastikan Omnibus Law Rugikan Nelayan Kecil
Kiara menyatakan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang RUU) Cipta Kerja berpotensi merugikan kalangan nelayan kecil Indonesia.
Ribuan Buruh Banten Tolak Omnibus Law Tenaga Kerja
Massa yang tergabung dalam berbagai organisasi buruh, pagi ini serentak ke DPRD Provinsi Banten minta rekomendasi penolakan Omnibus Law Cilaka
Omnibus Law 'Ciptaker' di Mata Said Iqbal
Polemik Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang oleh sejumlah buruh, dianggap lebih berpihak pada pengusaha terus berlanjut
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.