Untuk Indonesia

Kontekstualisasi Izin Rumah Ibadah

Pembangunan rumah ibadah, khususnya untuk kaum minoritas, masih menjadi persoalan. Peran pemerintah lebih adil diperlukan.
Wisata Religi ke Lima Gereja Unik Indonesia. (Foto:Foto : Instagram/m_azriansyah)

Oleh: Tri Wahyuni

BELUM lama ini Menkopolhukam Mahfud Md menyampaikan ke publik adanya kemungkinan untuk merevisi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006 soal izin pendirian rumah ibadah (Koran Tempo, 27/12/2019). Peraturan tersebut perlu dimodifikasi dengan mempertimbangakan kondisi sosial di masyarakat.

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, cita-cita untuk hidup rukun antar pemeluk agama memang belum menjelma kenyataan penuh. Marak terjadi penutupan rumah-rumah ibadah di beberapa daerah di Indonesia.

Dilansir dari Beritagar.id (21/2/2019), selama lima tahun terakhir, sudah 32 gereja ditutup oleh pemerintah daerah. Selain 32 gereja, rumah ibadah lain yang juga ditutup, lima masjid Ahmadiyah.

Perihal perizinan rumah ibadah menjadi salah satu sumber persoalan. Syarat pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Dalam peraturan tersebut disyaratkan harus ada Kartu Tanda Penduduk dari 90 orang minimal pengguna rumah ibadah dan 60 orang persetujuan masyarakat setempat. Dalam soal inilah sering menjadi persoalan.

Sense of minority inilah yang selama ini absen dalam pembahasan kehidupan beragama.

Dalam soal tempat ibadah, misalnya, mengatur tempat ibadah bagi Muslim di Aceh tidak bisa disamakan dengan Muslim di Papua atau Manado. Pengaturan tempat Ibadah umat Kristen di Medan atau Manado juga tidak bisa disamakan dengan umat Kristen di Aceh atau Sumatera Barat. Begitu juga mengatur tempat ibadah bagi umat Hindu di Bali tak bisa disamakan dengan di Jawa dan tempat lainnya.

Sebab ada tempat-tempat yang mana umat tertentu menjadi kalangan minoritas. Penyamarataan pengaturan dalam pendirian rumah ibadah membuat umat yang dalam posisi minoritas di suatu tempat akan kesulitan untuk beribadah sesuai agamanya.

Rumadi Ahmad dalam tulisan berjudul RUU Perlindungan Umat Beragama menyebutkan, bahwa paradigma dalam menjaga kerukunan umat beragama mestinya memiliki sense of minority. Yaitu sebuah sikap sensitif terhadap kelompok minoritas. Sense of minority inilah yang selama ini absen dalam pembahasan kehidupan beragama.

Pemerintah daerah selaku penanggung jawab terkait perizinan rumah ibadah sekaligus penyelesaian sengketa rumah ibadah seringkali lembek dan kalah. Akibatnya, insiden diskriminasi dan intoleransi menjadi terkesan sengaja dilakukan. Sudah menjadi rahasia umum, selain karena sikap lembek pemerintah daerah pada tekanan massa kelompok intoleran, mereka juga memelihara kelompok-kelompok tersebut sebagai konstituen politiknya (Bonar Tigor, 2017)

Mestinya pemerintah daerah lebih peka terhadap perlindungan beribadah ini karena pemerintah daerah bersinggungan langsung dengan masyarakat daerah yang beragam sifatnya. Dalam hal menerbitkan izin banguan tempat ibadah, perlu diperhitungkan sebuah upaya bagi kelompok minoritas dalam pemenuhan haknya untuk menjalankan agama dan kepercayaan.

Setiap individu bebas memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Hak Asasi Manusia yang juga dicantumkan dalam Konstitusi Republik Indonesia juga menjamin, tidak hanya kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaanya masing-masing, tetapi juga dalam hal beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sebagaimana itu tertulis dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Kemudian pada Pasal 28E Ayat (2) disebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 lebih tegas menyebutkan, bahwa kewajiban Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedang pasal selanjutnya (Pasal 28J UUD 1945) menyatakan, setiap orang untuk wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebagai sebuah negara kebangsaan yang religius, pemerintah harus melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan ideologi negara itu melalui sebuah putusan pada November 2017 lalu. MK mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah wajib melakukan banyak perubahan dan meningkatkan kepekaan terhadap minoritas di Indonesia. Pemerintah melindungi dan menjamin kebebasan beragama. Yaitu berupa melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill). Mengingat amanat konstitusi dan Putusan MK terkait pengujian pasal penghayat kepercayaan, pemerintah mesti mengambil langkah untuk memulihkan martabat dan menghentikan diskriminasi yang terjadi terhadap kelompok minoritas.

Kelompok minoritas mesti memiliki akses terhadap layanan publik yang disediakan oleh negara, seperti pendidikan pencatatan sipil untuk pernikahan, layanan sekolah, akses terhadap kesehatan dan pelayanan publik lainnya, serta perlindungan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. []

Penulis peneliti pada Institute for Population and National Security. Alumnus Houston Community Collage, Texas

Berita terkait
Rumah Ibadah Bukti Nyata Keberagaman di Sumsel
Hampir seluruh warga negara Indonesia telah paham dan mengerti mengenai 4 pilar kebangsaan dari pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945.
Pemkot Jambi Segel Rumah Ibadah, GMKI Keluarkan Seruan Aksi Bersama
Fokus isu "Pemerintah, Polri, dan TNI Jangan Tunduk Pada Tindakan Intoleran", "Pemerintah Lindungi Hak Konstitusi Setiap Warga Negara", "Mahasiswa dan Rakyat Indonesia Menolak Aksi Kebencian dan Intoleran".
Membersihkan Mesjid dari Kotoran Politik Ala Nahdlatul Ulama
Ketua Lembaga Ta'mir Masjid (LTM) PBNU Mansur Syaerozi melihat banyak masjid digunakan oleh kelompok politik untuk dijadikan kegiatan kampanye politik praktis dan politik kekuasaan.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.