Konflik Tanah Adat di Danau Toba, Ini Penjelasannya

Pemprovsu maupun Badan Otorita Danau Toba (BODT) sedang fokus mengembangkan desa wisata dan Sigapiton.
Pemprovsu maupun Badan Otorita Danau Toba (BODT) sedang fokus mengembangkan desa wisata dan Sigapiton. (Foto: Istimewa)

Medan, (Tagar 12/2/2019) - Sigapiton salah satu desa di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Desa ini berada tepat di bibir Danau Toba yang saat ini menjadi perhatian dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu).

Belakangan ini, Pemprovsu maupun Badan Otorita Danau Toba (BODT) sedang fokus mengembangkan desa wisata dan Sigapiton. Nantinya, akan dijadikan desa percontohan untuk dikembangkan.

Namun, sepertinya wacana tersebut tidak berjalan mulus. Pasalnya, pihak Pemprovsu melalui Dinas Pariwisata maupun BODT belum pasti 100 persen diterima oleh masyarakat, yang sebagian besar bermarga Manurung disana.

Hal tersebut ditegaskan pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Prof Dr Bungaran A Simajuntak, seusai diskusi yang digelar oleh Bakumsu dan dihadiri oleh mahasiswa dan elemen hukum, Senin (11/2) pukul 16:00 WIB dikantor Bakumsu Jalan Harmonika Baru, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan.

"Itu sudah lama kami bicarakan, rupanya ada penjelasan penjelasan tidak dijelaskan dari BODT, misalnya apakah (masyarakat Sigapiton) tahu arti resort? Rupanya masyarakat disana tidak tahu apa arti resort. Harusnya yang begini juga diberitahu kepada masyarakat agar masyarakat tahu. Terangkan kepada masyarakat bahwa nantinya akan dibangun jalan yang bisa langsung ke desa itu, tidak lagi lewat perairan lagi dan akan dipungut retribusi (karcis). Bagaimana dengan masyarakat desa itu jika mereka juga dipungut tiket masuk," jelas Prof Dr Bungaran A Simajuntak.

Sebagian besar masyarakat menolak, tanah warga yang akan diambil oleh pemerintah dengan sebutan pembebasan.

"Lalu kedua masalah tanah warga yang mau diambil, saya bilang kenapa tanah kalian (warga Sigapiton) diambil? Lalu dijawab masyarakat bahwa itu pembebasan dan masyarakat juga tidak tahu apa arti pembebasan," kata Prof Dr Bungaran A Simajuntak menambahkan bahwa pembebasan diduga tanpa dibayar.

Sambung lelaki yang sering disapa pak BAS ini mengatakan, bahwa tanah di Desa Sigapiton adalah tanah adat, bukan tanah perorangan.

"Orang lain bisa masuk kedesa itu tinggal disitu memakai tanah disitu tetapi hanya memakai, bukan memiliki. Jadi seluruh masyarakat Desa Sigapiton menolak kebijakan dari BODT yang tidak menjelaskan secara terperinci. Harapan kita agar rakyat tidak boleh dirugikan, jangan karena pariwisata membuat rakyat menjadi korban," terangnya. []

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.