Untuk Indonesia

Kolom Kosong, Mampukah Merebut Kembali Suara Rakyat yang Dicuri?

rakyat pemilik “suara Tuhan” tidak perlu berkecil hati. Kesempatan “merebut kembali suara Tuhan” yang dicuri oleh sistem oligarki masih ada.
Ilustrasi (Tagar)

Oleh: Martin Yehezkiel Sianipar

Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada tahun ini akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020. Konsep pemilihan langsung seperti saat ini merupakan hasil dari suatu rangkaian proses sistem demokrasi yang dianggap paling baik bagi Indonesia pasca reformasi. Telah kita ketahui bahwa sistem demokrasi di Indonesia mulai dibenahi kembali setelah melalui babak baru melewati sekian lama kekuasaan orde baru yang diakhiri pada reformasi tahun 1998. 

Rakyat sudah dikunci dengan sistem politik oligarki dan malah diperparah dengan tidak tersedianya pilihan kandidat lain yang diberikan oleh parpol.

Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan sistem demokrasi kita sampai saat ini masih belum bisa dikatakan ideal apalagi sempurna. Salah satu fenomena ketidaksempurnaan sistem politik di tanah air, yaitu semakin banyaknya fenomena daerah yang menyelenggarkan pilkada dengan calon tunggal. KPU menyatakan akan ada dua puluh lima (25) daerah yang menyelenggarakan Pilkada tahun 2020 dengan calon tunggal. Masyarakat di kedua puluh lima daerah ini akan dihadapkan dengan kenyataan bahwa Pilkada yang mereka ikuti hanya menawarkan satu kandidat kepala daerah saja.

Selama ini kita ketahui bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik bagi Negara Indonesia dari berbagai sistem politik yang ada. Sebagai negara multietnis, Indonesia sepatutnya menjalankan sistem demokrasi dengan baik agar mampu menaungi keberagaman latar belakang masyarakatnya. Dengan prinsip demokrasi Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan), sistem politik ini didasarkan dengan tujuan mulia bahwa suara hati nurani mayoritas rakyat merupakan legitimasi spiritual bahwa kekuasaan datang atas kehendak Tuhan yang menggerakkan. 

Artinya, kekuasaan berasal dari memperoleh suara mayoritas rakyat melalui konsep trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sehingga kebijakan yang lahir dari sistem politik seperti ini diharapkan dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat itu sendiri (bonum commune). Walaupun kenyataannya, pelaksanaan politik praktis kita masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya.

Sebenarnya sistem demokrasi kita sudah dituangkan dalam sila keempat Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Artinya, sistem demokrasi telah disetujui oleh para founding fathers kita untuk menjadi salah satu pilar ideologis yang dimiliki oleh Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan modern. Merupakan suatu kegagalan bagi Pancasila apabila secara de facto rakyat Indonesia ternyata dipimpin oleh sistem demokrasi yang bercorak teokrasi (sesuai dengan ajaran agama tertentu), atau oleh monarki (sesuai dengan keluarga atau dinasti politik tertentu). 

Kenyataannya sudah mulai muncul gelaja-gejala tersebut pada sistem perpolitikan kita yang cenderung membelokkan sistem demokrasi di Indonesia. Kita menyaksikan bahwa masih terdapat parpol maupun organisasi politik seperti ormas yang menganut ideologi teokrasi ataupun sistem dinasti. Parpol maupun ormas tertentu sudah terang-terangan membawa identitas keagamaan tertentu demi meraih sebanyak mungkin dukungan dari mayoritas agama tertentu pula. Belum lagi sudah tidak menjadi rahasia umum adanya parpol yang dikelola berdasarkan modal sosial (kekerabatan/kekeluargaan) dan modal kapital yang kuat sehingga akan menciptakan budaya korup dan jebakan pola oligarki politik.

Idealnya sistem demokrasi Indonesia harus diluruskan kembali sesuai dengan ideologi Pancasila terutama sila keempat. Artinya, sebaiknya sistem demokrasi kita dikembalikan kepada rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tentunya demi efisiensi, Indonesia melaksanakan demokrasi melalui sistem perwakilan atau perlemen melalui wakil rakyat. 

Namun, mungkin karena umur demokrasi kita pasca reformasi yang belum dewasa atau karena etos kerja masyarakat Indonesia, sistem perwakilan kita ini menjadi titik kritis pelaksanaan politik praktis yang masih banyak bolongnya dan tidak mencerminkan perwakilan rakyat sesungguhnya. Bahwa rakyat selama ini hanya memiliki kekuasaan politis pada saat-saat pemilu saja. Setelah itu, para penguasa yang dipilih rakyat tadi mengambil alih kekuasaan dalam setidaknya lima tahun ke depan.

Beberapa fenomena mundurnya demokrasi yang terjadi di Indonesia didukung dengan gejala-gejala bahwa sistem politik Indonesia saat ini sudah dikuasai oleh oligarki politik maupun politik dinasti. Gejala-gejala tersebut dipertegas bahwa di kalangan masyarakat bukan menjadi rahasia umum kalau terdapat praktik-praktik mahar politik, politik uang, politik identitas, dan berbagai bentuk ketidakidealan lainnya dalam pelaksanaan politik praktis kita. 

Secara ringkas boleh dikatakan sistem perwakilan melalui parlemen hanya akan berfungsi sebagai topeng agar demokrasi di Indonesia masih dianggap eksis dan berfungsi. Hal-hal tersebut juga diperkuat dengan fakta bahwa hanya sedikit orang yang mempunyai akses ke sistem politik kita, yaitu mereka yang punya uang dan orang yang bisa mengumpulkan massa. 

Agaknya menjadi politisi dengan segudang prinsip idealisme dan kemampuan mumpuni sulit menembus sistem oligarki politik yang sudah terbangun tanpa punya modal kapital dan modal sosial untuk memperoleh akses politik. Sehingga yang terjadi saat ini, politisi yang ada cenderung merupakan bagian dari sistem oligarki yang hanya berpikir bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan semata.

Fenomena oligarki dalam sistem politik kita dewasa ini tentunya sangat merugikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam negara demokrasi. Prinsip demokrasi Vox Populi, Vox Dei saat ini boleh dikatakan menjadi terlalu berani kita klaim sebagai bagian dari demokrasi kita. Maksudnya, apakah benar “suara rakyat” yang diperoleh dalam Pemilu kita selama ini benar-benar menjadi representasi “suara Tuhan”, sehingga banyaknya kebobrokan dalam sistem pemerintahan kita selama ini berasal dari Tuhan juga? 

Ataukah yang selama ini terjadi “suara Tuhan” telah “dicuri” melalui mekanisme sistem politik kita, karena kita belum sungguh-sungguh melaksanakan sistem demokrasi dan politik secara ideal dan dengan integritas yang tinggi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah sepatutnya muncul dibenak kita yang sungguh-sungguh mendambakan pemerintahan yang bersih dan semata-mata dijalankan demi kemaslahatan rakyat banyak.

Dalam demokrasi, tindakan “mencuri suara Tuhan” merupakan suatu kejahatan yang celakanya saat ini sedang dipertontonkan sistem politik kita tanpa tedeng aling-aling. “Mencuri suara Tuhan” lewat ambisi politik jangka pendek, egoisme kelompok, politisi yang tidak bermoral, menghalalkan jalan pintas walau mengambil hak orang lain, dan sikap-sikap korup lainnya dipertontonkan dalam politik praktis kita sejauh ini. 

Para pencuri “suara Tuhan” ini tentunya juga berpotensi menenggelamkan demokrasi kita dengan cara mendistorsi sistem politik dengan berbagai ketidakjujuran, pembohongan, pembodohan, dan manipulasi. Apalagi maraknya politik identitas dan politik uang yang sudah dan akan terjadi dianggap hal yang wajar dalam dunia politik praktis yang kejam dan hanya berorientasi materi juga merebut kursi kekuasaan.

Seiring dengan kondisi tersebut, masyarakat di berbagai daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan calon tunggal perlu untuk mempertimbangkan berbagai fenomena yang terjadi saat ini dalam atmosfer demokrasi di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut merupakan hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tidaklah berlebihan dikatakan bahwa kenyataan tentang maraknya calon tunggal dalam pilkada merupakan bentuk mismanajemen parpol dalam sistem politik kita yang pada akhirnya berpotensi menyuburkan oligarki dan elitisme politik. 

Oligarki dan elitisme dalam politik praktis kita dewasa ini dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang ternyata mampu “membeli” suara rakyat. Suara rakyat yang dibeli itu ternyata adalah “titipan dari Tuhan” dan ternyata dijual kemudian dengan harga yang sangat murah kepada para politisi. Sehingga masih relevanlah pertanyaan tadi ‘apakah demokrasi kita masih memiliki prinsip Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan) atau suara Tuhan itu sudah dicuri?’ Dengan kata lain fenomena calon tunggal dalam pilkada cenderung bertendensi sebagai praktik “pencurian suara Tuhan” oleh parpol dalam sistem politik oligarki. Rakyat sudah dikunci dengan sistem politik oligarki dan malah diperparah dengan tidak tersedianya pilihan kandidat lain yang diberikan oleh parpol.

Namun, rakyat sebagai pemilik “suara Tuhan” tidak perlu berkecil hati. Pilihan dan kesempatan untuk “merebut kembali suara Tuhan” yang dicuri oleh sistem oligarki dan pilkada dengan calon tunggal itu ternyata masih ada. Kesempatan itu ada dan dimungkinkan oleh undang-undang bahwa sistem demokrasi kita ternyata menyediakan “kolom kosong” sebagai pilihan dalam pemungutan suara yang disediakan untuk mengizinkan pemilih menyatakan ketidaksetujuan terhadap calon tunggal dalam sebuah kontestasi Pilkada. 

Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi beberapa daerah yang gagal memberikan setidaknya dua pilihan dalam pilkada apapun alasannya. Sehingga rakyat masih memiliki “ruang demokrasi” untuk menyuarakan aspirasinya apabila kandidat tunggal yang disediakan parpol-parpol tersebut tidak atau kurang mewakili sikap politiknya.

Menjelang hari pelaksanaan kontestasi Pilkada Serentak yang sebentar lagi dilaksanakan, muncul juga fenomena di berbagai lapisan masyarakat berupa “gerakan perlawanan” ataupun “ketidaksetujuan” terhadap pilihan calon tunggal tersebut. Ekspresi “gerakan perlawanan” maupun ketidaksetujuan tersebut dinyatakan dalam bentuk dukungan terhadap pilihan kolom kosong. 

Semoga lahirnya berbagai ekspresi tersebut memang muncul karena dorongan untuk kembali ke arah demokrasi yang benar, yaitu merebut kembali “suara Tuhan”. Sehingga prinsip demokrasi Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan) sungguh merupakan cerminan demokrasi dalam politik praktis kita. 

Kemudian pertanyaan yang kembali muncul adalah: apakah jika nanti terjadi kemenangan “kolom kosong” dapat dikatakan bahwa rakyat telah merebut kembali suaranya yang dalam demokrasi dikatakan pula sebagai representasi “suara Tuhan”, Vox Populi, Vox Dei itu? Tentunya pertanyaan tersebut akan terjawab seiring berjalannya waktu. Mari kita renungkan kembali pertanyaan ini sambil berharap yang terbaik. 

Walaupun memiliki harapan saat ini kepada sistem politik kita merupakan salah satu cara mudah untuk menjadi frustrasi di tengah-tengah aktivitas kita dalam bekerja apapun profesi kita. Untuk itu, sebaiknya kita tidak perlu berharap apapun kepada sistem politik kita saat ini. Yang perlu kita lakukan adalah tetap menjadi pribadi-pribadi yang belajar untuk berpegang teguh pada apa yang benar, yang adil, dan yang baik. Sehingga kualitas pemimpin yang muncul nantinya adalah cerminan dari masyarakat itu sendiri.

*Martin Yehezkiel Sianipar, Staf Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIE Sultan Agung Pematangsiantar

Berita terkait
Sisi Positif Jika Kolom Kosong Menang di Pilkada Siantar
Pilkada Kota Pematangsiantar dimenangkan kolom kosong, hal itu membuktikan kedewasaan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.
Humbahas Paslon Tunggal, Eks Petinju Rilis Lagu Kolom Kosong
KPU Humbahas, Sumut, tetapkan pasangan calon tunggal Dosmar Banjarnahor dan Oloan Paniaran Nababan melawan kolom kosong di Pilkada.
Pilkada Siantar Calon Tunggal, Kolom Kosong Bergerak
Sebanyak 25 daerah di Indonesia menghadirkan kolom kosong melawan pasangan calon tunggal, termasuk di Kota Pematangsiantar, Sumut.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.