Klitih dan Dua Geng Legendaris di Yogyakarta

Warga Yogyakarta membenci klitih dan berniat membasminya. Tapi dulu di Yogyakarta punya dua geng legendaris. Lalu apa yang membedakannya?
Sebanyak 10 pelajar yang yang diduga pelaku klitih diamankan oleh petugas Polresta Yogyakarta saat akan balas dendam. (Foto: Tagar/Evi Nur Afiah)

TAGAR.id, Yogyakarta - Klitih, sebuah kata yang populer di masyarakat Yogyakarta. Warga membenci kata itu. Keberadaannya meresahkan, membuat tidak nyaman, mencoreng citra Yogyakarta dan lainnya. Klitih identik dengan hal negatif. Kenakalan yang dilakukan anak usia remaja, atau pelajar lebih tepatnya.

Klitih, perilaku yang tidak bertanggung jawab itu kembali mengemuka akhir-akhir ini. Setidaknya ada enam kasus klitih dalam sebulan terakhir, pelaku melukai korban dengan senjata tajam. 

Di Kota Yogyakarta dua kali, tepatnya di Jalan Balairejo Muja Muju Umbulharjo dan Jalan Brigjend Katamso Gondomanan. Di Sleman tiga kejadian dalam satu malam; yakni Jalan Angga Jaya, Jalan Perumnas Gorongan dan Jalan Moses Gatutkaca Condong Catur. Di Bantul kejadian di Jalan Siluk-Panggang, Kecamatan Imogiri.

Pertanyaannya, apa benar klitih baru muncul dalam beberapa tahun terakhir ini? Jawabnya tidak. Kenakalan pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak dulu, tapi namanya bukan klitih. Karena setiap zaman, memiliki nama dan kenakalan yang berbeda.

Dulu di era 1990-an, di Yogyakarta ada dua geng pelajar, Joxzin dan Q-zruh atau JXZ dan QZR. Peta basis massa kedua geng ini jelas. Joxzin menguasai Yogyakarta bagian selatan, yang berbasis di Kauman, Karangkajen dan Kotagede. Q-zruh mendominasi di Yogyakarta bagian selatan yang memiliki basis di daerah Terban Gondokusuman, Jalan Magelang, Jalan Solo.

Banyak yang menyebut, identitas termasuk 'ideologi' yang dipegang kedua geng ini jelas. Joxzin identik dengan Hijau, sedangkan Q-zruh itu Merah dan sebagian Kuning.

Menariknya, dua geng besar yang legendaris ini jarang atau bahkan belum pernah bentrok. "Setahu saya belum pernah bentrok. Mungkin person anggotanya pernah, tapi tidak membawa bendera masing-masing, tidak mengatasnamakan Joxzin dan Q-zruh," kata Isnawan, wartawan senior Yogyakarta, Senin 19 Januari 2020.

Menurut dia, dua geng ini seperti saling menghormati satu sama lain. Jika Joxzin lagi masalah dengan geng lain, Q-zruh memilih diam. Begitu juga saat Q-zruh punya masalah dengan geng lain, Joxzin juga memilih tidak memihak. "Urusanku ya urusanku, urusanmu ya urusanmu," kata Wawan, sapaan akrabnya.

Kenakalan era Joxzin dan Q-zruh dengan klitih sekarang ini berbeda. Perbedaan mencolok terletak pada nyali. Dulu orang berani berantem atau bentrok itu karena punya nyali, punya keberanian. "Kalau sekarang, pelaku klitih itu tidak punya nyali. Bawa senjata tajam itu bukti kalau sebenarnya tidak punya nyali," kata Wawan.

Inung pendiri geng Joxzin YogyakartaSalah satu pendiri Joxzin, Nurzani Setiawan atau Inung (kanan). (Foto: Dok. Pribadi/Tagar/Agung Raharjo)

Perbedaan Klitih dengan Geng JXZ dan QZR

Salah satu pendiri Joxzin, Nurzani Setiawan mengatakan klitih berbeda dengan geng anak muda zaman dulu, baik dari motivasi, pelaku, pola berkelahian maupun target. "Dulu, ketika anak-anak berkelahi jarang sekali menggunakan senjata walaupun harus kontak fisik secara langsung, dengan keberanian tinggi tanpa pengaruh alkohol," kata kepada Tagar, Kamis 15 Januari 2020.

Sekarang ini, kata dia, faktanya sudah berbeda, klitih banyak kasus terjadi dengan pelaku di bawah pengaruh alkohol. "Selain itu cara mereka asal nyabet target dengan senjata tajam, nyabet orang yang tidak dikenal itu kan ngawur," katanya.

Pria yang akrab disapa Inung ini mengatakan, perbedaan lain yang mencolok adalah motivasi dan target kasus klitih tidak jelas. Sama-sama sebagai geng anak-anak muda, saat ini klitih adalah sekumpulan anak muda yang cenderung memainkan nyali namun tanpa tujuan yang jelas.

"Jadi mereka terdorong biar dibilang punya nyali. Jika melihat kasus-kasus klitih yang terjadi, mereka melakukan secara membabi buta tapi tidak menguasai ilmu bela diri," katanya.

Inung mengakui saat masih muda bersama geng Joxzin, sering ada perkelahian. Namun mereka berkelahi dengan motivasi dan target yang jelas. Pun, pola berkelahi dalam batasan tertentu, tidak sampai mematikan.

"Dulu banyak kasus perkelahian dialami Joxzin, tapi tidak ada yang sampai mengakibatkan korban meninggal dunia. Targetnya bukan asal orang, tapi mereka yang berurusan dengan Joxzin," kata dia.

Menurutnya, anggota geng Joxzin rata-rata memiliki bekal bela diri. Mereka mayoritas dari pelajar dari sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kota Yogyakarta. "Mereka bisa tapak suci (bela diri), kalau berkelahi mengetahui bagian tubuh mana yang harus diserang, tanpa menggunakan senjata, tanpa pengaruh alkohol atau minuman keras," ungkapnya.

Inung mengungungkapkan, meski Joxzin sebuah geng, namun berkelahi bukan karena mencari gara-gara. Tapi karena ada geng yang mendahului, lalu terpancing. "Ketika ada yang memancing keributan dengan Joxzin maka berani melawan untuk mempertahankan identitas kelompok," katanya.

Inung mengakui, Joxzin mengukir sejarah 'keberingasan' anak-anak muda yang sering kali harus berurusan dengan pihak berwajib. Namun kenakalan itu tidak sampai membuat orang atau korban lain meninggal, berbeda dengan klitih.

Dia menjelaskan pada era 80-an saat Joxzin terbentuk, diawali dari komunitas olah raga sepatu roda. Nama Joxzin sendiri diawali dari sekumpulan anak-anak yang saat itu sering berkumpul di Pojok Benzin di Alun-alun Utara Yogyakarta. Awalnya hanya komunitas kecil olaha raga sepatu roda, namun terus membesar hingga akhirnya ada banyak coretan atau vandalisme di tembok-tembok.

"Joxzin itu singkatan Pojok Benzin, kemudian ada yang salah menyebut Jogja Zindikat. Ada juga yang menyebut Joko Zinting," kata Inung.

Selaku pendiri Joxzin, Inung mengaku prihatin dengan kasus klitih di Yogyakarta. Sebagai solusi mengatasi kasus klitih, Inung memberikan tiga langkah solusi. Pertama, perbaiki kurikulum pendidikan dengan mamasukkan mata pelajaran budi pekerti di sekolah mulai dari tingkat TK sampai SMA.

Berikutnya, perkuat pendidikan keluarga serta perketat peredaran segala bentuk minuman beralkohol. "Nah, saya melihat khususnya Perda di Sleman dan Bantul, masih lemah dalam menangani minuman keras atau peredaran segala macam pil terlarang," katanya.

sd-smpKeenam pelajar yang diduga klitih diamankan Selasa 31 Oktober 2019 dini hari tadi. (Foto: dok Humas Polda DIY/Tagar/Evi Nur Afiah)

Motivasi Remaja Berperilaku Klitih

Beberapa tahun lalu, kata klitih" bukan dikonotasikan sebagai perbuatan yang merusak atau melukai orang lain. Klitih adalah pergi tanpa tujuan yang jelas atau ngelayap. Seiring berjalannya waktu, arti klitih seolah bergeser menjadi tindakan membuat onar, bahkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok remaja.

Sosiolog dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono mengatakan klitih merupakan persoalan kriminalitas, kekerasan, juga persoalan anak muda, yang terjadi di Yogyakarta. "Jadi, ini kan sebuah fenomena yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, dari pelaku, penyebab, dan fenomenanya," ucapnya pada Rabu, 8 Januari 2020.

Jika dilihat dari pelakunya, mereka merupakan remaja berusia antara 15 hingga 18 tahun. Mereka tidak melakukan aksi kriminal yang berskala besar. Tapi, dampak dari aksi mereka sangat luar biasa meresahkan, mulai dari pengerusakan, melukai orang lain, bahkan hingga ada korban yang meninggal dunia.

"Fenomena kriminalitasnya kan bukan yang seperti perampokan, tapi semacam kekerasan, yang bisa dikatakan lebih banyak untuk menunjukkan eksistensi orang muda itu, bagaimana keterdesakan remaja-remaja itu," lanjutnya.

Para pelaku klitih sebenarnya terdesak dalam sebuah proses sosial, sehingga mereka mengungkapkan kekecewaan dan stresnya, serta membangun identitasnya dengan tindakan kekerasan-kekerasan itu.

Untuk mengetahui penyebab aksi klitih, harus dilihat dari proses terbentuknya, yakni proses-proses peminggiran mereka, bagaimana mereka tersingkir dari lingkungannya. "Karena kenakalan-kenakalan dan kekerasan remaja itu kan tidak tiba-tiba datang. Orang tidak tiba-tiba menjadi klitih itu kan tidak ada. Ini melalui sebuah proses," ujarnya.

Setelah proses pembentukan itu terjadi, termasuk membentuk kelompok-kelompok, proses selanjutnya adalah aksi berupa tindakan kekerasan. Para pelaku melaksanakan aksinya karena mereka ingin memiliki identitas, kekuasaan, bahkan mungkin menginginkan adanya keuntungan dari segi ekonomi.

Bambang menjelaskan, aksi pelaku klitih muncul dari masyarakat yang tertutup, dalam artian menutup pintu untuk mereka, untuk kelompok-kelompok yang tidak sejalan. Para pelaku klitih merupakan orang-orang yang tersingkir, bukan hanya dari norma tapi juga struktur ekonomi, pendidikan, dan sosial.

"Misalnya orang sudah kelas bawah, nggak punya apa-apa, goblok le sekolah (di sekolah bodoh), kemudian nggak pernah punya peran dalam masyarakat, dianggap sebagai orang sing ora tau (yang tidak pernah) jelas, nggak beragama, itu dicap sebagai moralnya nggak bagus, isinya cuma ngisruh (membuat onar)," bebernya.

Akhirnya, judgement atau penghakiman oleh masyarakat itu tertanam dalam pikiran mereka, membentuk suatu keyakinan bahwa mereka memang remaja yang seperti itu. Hasilnya, mereka mereproduksi penilaian masyarakat tersebut dengan wujud tindakan kekerasan yang seperti klitih itu. "Jadi siapa yang membentuk? ya masyarakat sendiri. Siapa yang membuat mereka menjadi klitih? ya masyarakat sendiri," tegasnya.

pelaku klitih ditangkapSebanyak 10 pelaku pengrusakan warung makan dan penganiayaan dengan senjata tajam. (Foto: Tagar/Evi Nur Afiah)

Klitih Bukan Hal Baru, Orang Tua Saat Muda Pernah Nakal

Dari analisis kepolisian, aksi klitih semakin marak terjadi di Yogyakarta bukan hal yang baru. Orang tua saat ini pernah ada yang terlibat tindak kenakalan saat mereka masih remaja dulu. Namun yang membedakan adalah perkembangan teknologi informasi yang sudah demikian pesatnya.

Saat itu, kenakalan remaja dinilai kurang begitu menjadi perhatian publik karena tidak viral di media sosial maupun di pemberitaan media massa. Berbeda dengan saat ini, di era teknologi informasi yang telah berkembang pesat, kenakalan remaja apalagi klitih begitu cepat tersampaikan ke masyarakat.

Kapala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY Komisaris Besar Polisi Yuliyanto mengatakan di era saat ini, informasi apa pun sudah tidak bisa dihindari lagi. Netizen orang menyebutnya menjadi lebih aktif menekan ponsel pintarnya lalu share ke publik. 

"Aksi Klitih adalah fenomena dari dulu saya kira sudah ada. Dari zaman yang sekarang sudah mulai menua juga mungkin mengalami masa remajanya nakal, bukan fenomena baru," katanya di Yogyakarta, Selasa 14 Januari 2020.

Pengaruh media sosial yang membuat fenomena klitih itu cepat menjadi viral. Hal ini yang pada akhirnya juga berdampak kepada masyarakat yang membaca atau menyaksikan tayangan yang mereka peroleh dari media konvensional atau media sosial. "Karena orang-orang kita sekarang apa-apa viral. Jadi yang membedakan dulu dan sekarang itu ada pada kecanggihan teknologi," ucapnya.

Mereka yang mendapat informasi itu menjadi resah karena banyaknya pelaku-pelaku aksi kenakalan remaja yang tertangkap oleh pihak kepolisian. Tak hanya itu, korban klitih juga sampai ada yang meninggal. Akibatnya menjadi kekhawatiran banyak orang untuk beraktivitas khususnya pada malam hari.

Lalu bagaimana cara mencegah aksi klitih yang tepat? Kata Kombes Pol Yuliyanto yaitu dengan tidak melakukan kejahatan atau mencegah klitih dengan tidak membawa senjata tajam di jalanan sambil berkeliaran. Itu tindakan yang keliru. "Membawa senjata tajam di tempat umum itu keliru. Karena dia bisa saja menjadi korban atau juga pelaku," ucapnya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Saran Sri Sultan HB X Mengatasi Klitih di Yogyakarta
Klitih semakin meresahkan warga Yogyakarta. Sultan memberi saran agar dialog dengan keluarga diutamakan dalam mengantisipasi klitih.
Begini Cara Polisi Menangani Klitih di Yogyakarta
Aksi klitih atau kejahatan anak muda di Yogyakarta sudah meresahkan. Warga kawatir dan tidak nyaman keluar malam. Polisi punya cara mengatasinya.
Keinginan Warga Yogyakarta tentang Klitih
Warga Yogakarta mayoritas menyebut klitih sudah meresahkan dan membuat tidak nyaman. Salah satu keinginan warga, polisi semakin intensif patroli.
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.