Kisah Warga Aceh Mencari Nafkah dari Ukiran Nama Orang Mati

Lokasi usaha pembuatan batu nisan milik Mizuar ini berada di Jalan Nasional, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Contoh batu nisan yang sudah jadi buatan Mizuar, 51 tahun, pemilik usaha pembuatan batu nisan Indah Marmer. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Aceh Barat - Bau khas Isosianat begitu terasa ketika lelaki itu menyemburkan cat semprot ke atas mal yang melapisi lempengan segiempat berisi keterangan kematian seorang Tionghoa. Di atas lempengan tersebut tertulis bahwa yang empunya meninggal dunia pada 06 September 2020.

Sementara itu, puluhan batu nisan memiliki bentuk yang seragam, melengkung seperti kubah diletakkan beberapa barisan, merapat ke dinding. Masing-masing batu nisan memiliki sepetak granit berwarna hitam serta tulisan berwarna keemasan di tengahnya.

Batu nisan itu tampak memiliki tekstur yang halus serta terasa sejuk ketika disentuh. Dari warnanya, kelihatan bahan utama untuk pembuatan tonggak penanda kuburan itu adalah white portland cement alias semen putih.

Di seberang tumpukan batu nisan tersebut berdiri meja di mana Mizuar, 51 tahun, sedang bekerja. Di depannya terdapat gunungan kardus yang sudah dilipat-lipat, menindih satu sak semen serta terkesan dibiarkan berantakan bersama barang lainnya, seperti timba dan kaleng cat.

Tempat itu mungkin terkesan agak horor bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, ia dipenuhi oleh nama-nama orang yang sudah meninggal dunia, dengan jumlah hampir memenuhi setengah ruangan yang luasnya semakin ke dalam semakin menyempit.

Bagi Mizuar sendiri, pemandangan seperti itu sudah tentu biasa saja. Toh, ia memang hidup dengan cara mengabadikan nama-nama orang yang sudah mati melalui usaha pembuatan batu nisan miliknya.

Budaya masih menganggap batu nisan tidak butuh.

Lokasi usaha pembuatan batu nisan milik Mizuar ini berada di Jalan Nasional, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Ia berupa ruko dengan ruangan yang terbilang sederhana serta terletak di pinggir jalan.

Jika tidak memperhatikan dengan saksama, orang yang lalu-lalang tidak akan tahu bahwa di situ terdapat tempat pembuatan batu nisan. Karena terletak di tengah kota, tempat itu terlihat beda sendiri dibandingkan dengan bangunan lainnya, apalagi terdapat gedung bank lokal yang masih satu deret dengan ruko milik Mizuar, pun kantor bank konvensional di seberangnya, selain kedai kopi, toko peralatan olahraga, hingga furnitur, di kiri dan kanannya.

Sebagai penanda, Mizuar menancapkan dua buah batu nisan di halaman rukonya. Kedua batu nisan tersebut merupakan pesanan seseorang untuk keluarganya yang telah meninggal dunia, namun, belakangan tidak jadi diambil karena suatu sebab.

Batu Nisan di Aceh BaratMizuar, 51 tahun, pemilik usaha pembuatan batu nisan bernama Indah Marmer yang merintis usaha sejak 1995. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Merintis di Tengah Euforia Minyak Nilam

Tahun 1995, Mizuar merintis usaha pembuatan batu nisan dengan modal sebuah rumah sewa di depan Simpang Babussalam, kurang lebih 2 tahun sebelum pindah ke tempatnya yang sekarang. Ia cukup nekat karena berani memulai sesuatu yang terbilang kurang memiliki prospek pada masa itu.

Sebelumnya, lelaki yang mengaku sempat bekerja serabutan sewaktu merantau ke sejumlah kabupaten di Aceh ini telah memutuskan untuk menetap di Aceh Barat lantas mulai berpikir tentang usaha apa yang tepat untuk dijalaninya. Pada saat yang sama, masyarakat sedang tergila-gila dengan perkebunan nilam yang dipercaya telah membuat sebagian orang kaya mendadak.

"Harga nilam saat itu Rp 1.300.000, satu kilo," Mizuar mulai bercerita kepada Tagar, Sabtu, 31 Oktober 2020, sore.

Ia sempat terpengaruh dengan ajakan teman-temannya untuk ikut berkebun nilam, namun, di tengah perjalanan, Mizuar mulai ragu. Dirinya yakin bahwa semua euforia tersebut akan segera meredup seiring banyaknya orang yang menjadi pekebun musiman.

"Saya pikir, semakin banyak yang panen, harga nilam akan semakin kurang dan otomatis merosot," ujarnya.

Ia menginginkan usaha yang sifatnya berkelanjutan, sesuatu yang tetap dibutuhkan dari waktu ke waktu. Keputusannya pun jatuh pada usaha pembuatan batu nisan, sebuah pekerjaan yang pernah digelutinya semasa masih bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA), Banda Aceh.

"Saat itu, digaji cuma untuk uang sekolah, tahun 1983," kisahnya.

Batu Nisan di Aceh BaratBatu nisan polos tanpa keterangan yang merupakan bagian kaki dari pasangan bagian kepala, yang ada di tempat usaha pembuatan batu nisan milik Mizuar, 51 tahun. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Setelah berhasil membuka usaha, Mizuar pun sempat ingin mengubah haluan. Apa lacur, usaha pembuatan batu nisan miliknya teramat sepi pemesan.

"Budaya masih menganggap batu nisan tidak butuh," ujarnya.

Namun, ia tidak menampik adanya faktor lain yang menjadi alasan mengapa batu nisan cetakan kurang peminat pada masa itu. Yang pasti, hal tersebut telah menyebabkan dirinya sempat berpikir untuk banting kemudi ke usaha yang lain.

"Saat itu, sepasang batu nisan Rp 50.000. Sebulan paling kuat hanya satu yang pesan," kenangnya.

Ibarat kata, kaki sudah masuk setengah ke dalam air, maka mau tidak mau, lelaki ini mesti bertahan. Sebagai buah dari kesabarannya, lambat laun semakin banyak yang datang memesan batu nisan, bahkan kini, Mizuar telah menjadi pemilik sah dari ruko tempat ia membuka usahanya sekarang, dengan omzet yang terbilang lumayan.

"Memang terlihat beginilah, tapi, jelek-jelek milik sendiri," senyum kebanggan terlintas dari wajahnya karena harga jual tanah di tempat itu memang selangit disebabkan lokasinya yang berada di tengah kota.

Cat Batu Nisan di Aceh BaratPeralatan cat yang digunakan oleh Mizuar, 51 tahun, pemilik usaha pembuatan batu nisan Indah Marmer, untuk bekerja. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Cara Membuat Batu Nisan

Lantas, seperti apa sebenarnya proses pembuatan batu nisan-batu nisan tersebut? Menurut Mizuar, batu nisan yang dibuatnya memiliki dua bahan utama, yaitu semen biasa dan putih.

Kebanyakan salah penulisan. Namun, terkadang orang yang pesan yang salah.

Semen biasa menjadi inti batu nisan sementara yang putih menjadi pelapis luar atau bodi. Sebelum dicor ke dalam cetakan khusus dari beton, adonan diberi kerangka besi, sekalian dengan lempengan granit yang nantinya akan diukir dengan nama serta keterangan yang berkaitan dengan si pemilik batu nisan.

"Sesudah dicetak, besok baru dibuka. Gosok dulu, kemudian dompol, lalu gosok lagi untuk polesan terakhir," jelas dia.

Berbeda dari yang dulu, tahapan pengukirannya saat ini melalui cara yang lebih modern. Mulai dari desain berbasis komputer hingga pemotongan mal melalui mesin cutting sticker, dan terakhir, proses mengukir yang dilakukan dengan cara menuangkan cairan pelebur yang sering digunakan oleh pengrajin grafir.

"Mal keponakan saya yang bikin, baru nanti ukirnya di sini. Untuk ukiran, siram dulu sama cairan itu, supaya hancur sendiri, menurut cutting," terangnya.

Setelah tahap peleburan selesai, barulah ukiran diberi cat. Warna cat yang lazim digunakan adalah kuning emas yang menurut Mizuar serasi dengan warna granit yang hitam.

"Dari jauh pun terlihat indah. Beda waktu pakai marmer putih dulu, terkesan tidak cocok dengan warna catnya. Sekarang pun saya pakai cat semprot," kata Mizuar. 

Cat semprot dipilih karena diyakini lebih tahan lama dibandingkan cat minyak dengan kuas. Perubahan dalam penggunaan cat ini berawal ketika seorang pemesan komplain karena cat pada batu nisan yang dipesannya cepat luntur.

Batu Nisan di Aceh BaratMizuar, 51 tahun, pemilik usaha pembuatan batu nisan bernama Indah Marmer, sedang mengecat lempengan granit berisi keterangan kematian seorang Tionghoa. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Dengan modal berkisar antara Rp 50.000 - 75.000, sepasang batu nisan siap tancap dihargai Mizuar Rp 250.000. Yang datang memesan batu nisan ke tempatnya berasal dari tiga kabupaten, yakni Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya.

Selain batu nisan, ia juga menerima pesanan untuk mengukir prasasti, yang pemesannya kebanyakan berasal dari lembaga pemerintahan dengan prasasti termahal yang pernah diukirnya seharga Rp 1.000.000, yang dipesan untuk sebuah taman di Kota Meulaboh. Ia juga sering mendapat pesanan untuk mengukir keterangan kematian untuk batu nisan etnis Tionghoa.


Sudah Dipesan, tak Kunjung Datang

Mizuar banyak mencecap manis dan pahit selama membuka usahanya. Tidak jarang terdapat para pemesan yang komplain karena penulisan ejaan nama atau keterangan lain pada batu nisan pesanan mereka salah.

Kesalahan ini bisa berasal dari dua penyebab. Mizuar terkadang kurang teliti sehingga kelupaan —atau kelebihan— dalam menulis huruf atau angka, di samping adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh pemesan sendiri.

"Kebanyakan salah penulisan. Namun, terkadang orang yang pesan yang salah," akuan ayah tiga anak yang memiliki rumah pribadi di Gampong Gampa ini.

Jika sudah begitu, ia mesti mencetak ulang batu nisan-batu nisan tersebut. Namun, kesalahan terkadang masih bisa diperbaiki dengan cara memanipulasi huruf atau angka yang salah tadi secara manual atau dipahat, dengan syarat huruf atau angka tersebut memiliki bentuk atau lekuk yang berdekatan, misal, huruf I masih bisa dibentuk menjadi huruf O, atau R menjadi huruf B.

Batu Nisan di Aceh BaratDua buah natu nisan yang ditancap di depan tempat usaha pembuatan batu nisan bernama Indah Marmer milik Mizuar, 51 tahun. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Ada juga pemesan yang urung datang mengambil batu nisan pesanan mereka sementara batu nisan tersebut sudah jadi. Maka tidak heran terdapat banyak sekali batu nisan yang terduduk serta menumpuk di dalam rukonya.

Baca juga: Nestapa Pemulung Aceh Diusir Camat Hingga Tak Terima Bantuan

Pengalaman ini mendorong Mizuar untuk memberlakukan aturan baru, yakni harus memberi uang kes terlebih dahulu ketika memesan. Dengan begitu, ia tidak akan rugi sekalipun pemesan tidak kunjung datang mengambil batu nisan yang sudah dipesan tadi.

"Kecuali orang kenal, itu lain. Boleh tidak bayar di muka," tambahnya.

Adapun keuntungan yang didapat Mizuar mencapai Rp 4.000.000 lebih dalam sebulan. Ini sudah termasuk uang untuk mengupahi seorang pekerja yang masih kerabat dekatnya, sebanyak Rp 125.000 dalam satu hari.

"Keluh kesah, pasang surut tetap ada. Waktu surut, kita penyesuaian. Tapi saya tetap akan bertahan di sini," ucap pemilik usaha Indah Marmer itu. []

Berita terkait
Kue Bolu Permintaan Anak Aceh yang Dibunuh Pemerkosa Ibu
Rangga, anak berusia 9 tahun yang dibunuh oleh pemerkosa ibunya di Aceh Timur ternyata memiliki permintaan terakhir yang tak sempat dipenuhi.
Kucing Mahal Milik Mantan Relawan Tsunami Aceh
Kucing menjadi hewan peliharaan favorit sebagain warga Aceh, termasuk seorang mantan relawan kemanusiaan saat tsunami tahun 2004.
Pencari Kerang di Aceh Barat, 3 Tahun Dalam Gelap
Seorang pencari kerang di Kabupaten Aceh Barat harus tinggal di tepi sungai di gubuk reot tanpa aliran listrik.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.